Thursday, September 07, 2006

Sikap Ibnu Taimiyah terhadap Tafsir Tercela

Kamis, 07 September 2006 - 09:25:19 WIB
Ibnu Taimiyah, adalah ulama yang bersikap kritis terhadap penafsiran secara sembarangan. Sejarah di zaman Syaikhul Islam itu sama hal nya dengan kondisi kita sekarang ini. [edisi pertama]

Oleh: Fahmi Salim, Lc *)


Ada situasi yang sama antara zaman Ibnu Taimiyah dengan kondisi sekarang. Saat itu, dunia intelektual Islam dan umat Islam juga mengalami banyak kekalahan di bidang (politik, ekonomi, budaya dan militer). Sama halnya dengan saat ini di mana, ada hegemoni Barat. Paralel dengan pembusukan imperium Islam saat berhadapan dengan tentara Salib dan pasukan Jengis Khan.

Yang kedua, wajah dunia Islam yang carut-marut di bidang intelektual dan budaya, yang ditandai dengan gejala erosi identitas umat Islam atau apa yang disebut ‘Abd al-Hamîd Abû Sulaimân sebagai 'Krisis Akal Muslim', juga dapat kita lihat padanannya dengan krisis intelektual dunia Islam saat Ibnu Taimiyah berkarya dan berpolemik dengan beberapa elit intelektual Muslim saat itu.

Ia pernah menyerang ulama yang terbius dengan metode logika Aristotelian dalam menguraikan pokok agama Islam dalam buku al-Radd 'alâ al-Manthiqiyyîn, Nashîhat Ahl al-Îmân li Radd 'alâ Manthiq al-Yûnân dan Naqdl al-Manthiq.

Menghadapi arus Asy'arianisme yang sangat dominan dan menghegemoni saat itu ia menyusun buku Majmû'at al-Rasâil al-Kubrâ dan al-Fatwâ al-Hamawiyyah al-Kubrâ. Selain itu ia juga menyusun Minhâj al-Sunnah al-Nabawiyyah yang mengoreksi dasar-dasar akidah Syiah dan menelanjangi kebobrokan sekte Qadariyyah.

Untuk menghindari keraguan atas klaim berseberangannya wahyu dengan akal manusia ia menyusun buku al-Nubuwwât, Ma’ârij al-Wushûl dan Dar'u Ta'ârudl al-'Aql wa al-Naql yang mesti diposisikan sebagai ensiklopedi luar biasa yang mendokumentasikan perdebatan ahli kalam dan filosof Muslim sejak al-Fârâbî hingga al-Râzî.

Ketiga, hemat penulis kita memerlukan semacam spirit besar untuk mengahadapi gelombang arus pemikiran yang dahsyat dengan mengambil inspirasi dari tokoh sekaliber Ibnu Taimiyah yang memiliki 'nafas panjang' dan stamina luar biasa ketika mengkritisi seluruh bangunan pemikiran Islam.

Tak heran jika Prof. Ismâ’îl R. al-Fârûqî, tokoh intelektual Muslim terkemuka di Amerika yang menjabat direktur pertama International Institute of Islamic Thought (IIIT) yang getol menyuarakan Islamisasi ilmu pengetahuan, ketika ditanya oleh kolega dan murid-muridnya; dari mana beliau menguasai konstruksi pemikiran Islam dan mengeksiskannya di tengah arus kemodernan? Ia menjawab singkat "...Saya banyak belajar dari karya-karya Ibnu Taimiyah!.."

Keempat, produktifitas intelektual Syaikhul Islam dalam wacana nalar kritis tafsir merambah dua aspek kelemahan khazanah tafsir klasik yaitu ma’tsûr dan ra’yu. Satu hal yang amat jarang dijumpai pada tokoh lain dalam sejarah pemikiran Islam. Ditambah lagi dengan keberhasilannya membangun madrasah pemikiran yang banyak menelurkan para sarjana Muslim yang kritis dalam sejarah pemikiran Islam seperti Ibnu Qayyim, Ibnu Katsîr, Ibnu ‘Abd al-Hâdî, Syams al-Dîn al-Dzahabî dan lain-lain yang banyak berjasa di bidang tafsir, hadis, sejarah dan filsafat bahasa serta kesusasteraan. Di abad modern tercatat Muhammad ‘Abduh, Rasyîd Ridlâ, Muhammad Iqbâl dan Ismâ’îl al-Fârûqî diantara sekian deretan intelektual Muslim yang banyak diilhami oleh ide-ide dan pemikirannya.

Ibnu Taimiyah dan Tafsir Al-Qur’an

Dalam wacana nalar kritis tafsir Al-Qur’an ia telah menyusun bebarapa karya ilmiah seputar metode penafsiran Al-Qur’an seperti: Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr, al-Iklîl fî al-Mutasyâbih wa al-Ta’wîl, Aqsâm al-Qur’ân, Risâlah fî ‘Ilm al-Bâthin wa al-Dhâhir dan al-Furqân bayn al-Haq wa al-Bâthil, yang selain menyuguhkan kaidah-kaidah penafsiran secara jernih dan brilian juga membantah asumsi bahwa Al-Qur’an memiliki makna lahir dan batin sebagaimana dipahami para dedengkot tasawuf falsafi, yang sekarang laku keras bak kacang goreng.

Di samping itu menurut penulis karya-karya polemis Ibnu Taimiyah yang disinggung di atas dapat penulis kategorikan sebagai “Tafsîr Mawdlû’î”. Dalam karya-karyanya itu selain mengkritisi bangunan pemikiran tradisional ia menghadirkan pemahaman Islam yang progresif dengan pijakan tafsir Al-Qur’an yang brilian dan orisinil.

Menurut beliau, penafsiran yang sesuai kaidah agama dan kebahasaan tidak tercakup dalam lingkup yang tercela. Tafsir yang tercela adalah yang berdasarkan pandangan akal semata atau periwayatan yang tidak jujur. Karena kegigihannya menghadang setiap upaya penafsiran Al-Qur’an dengan pendapat akal spekulatif dan riwayat-riwayat yang tidak bertanggung jawab, kajian-kajian Ibnu Taimiyah tentang Al-Qur’an menurut sementara ahli merupakan embrio lahirnya Ilmu Dakhîl (Metode Kritik Tafsir). (baca al-Dakhîl fî al-Tafsîr, Prof. Dr. Ibrâhîm Khalîfah, Vol 1, hlm.12)

Diantaranya, beliau menolak mentah-mentah penafsiran Al-Qur’an berdasarkan periwayatan lemah atau dusta yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya seperti Isrâiliyyât sebagaimana hadis Nabi yang berbunyi “Apabila Ahli Kitab meriwayatkan kepada kalian maka jangan kalian membenarkannya dan jangan pula mendustakannya karena bisa jadi mereka membawa kebenaran sementara kalian mendustakan dan bisa jadi mereka membawa kebatilan sementara kalian membenarkan”. [baca kelanjutnya tentang tiga bentuk penyelewangan tafsir]

Menurut Ibnu Taimiyah, ada tiga bentuk penyelewengan tafsir; Pertama, kesalahan dalam pemahaman ‘dalil’ (penanda) dan ‘madlûl’ (petanda). Penyimpangan ini sering terjadi karena sebagian mufasir memiliki preyudis dalam memahami pokok-pokok kepercayaan kemudian mengkatrol Al-Qur’an sebagai pembenarannya dan untuk mendukung hal itu dia menafsirkan redaksi Al-Qur’an agar sesuai dengan kehendaknya. Adigium ‘Ja’l al-Qur’ân Tâbi’an wa al-Mazhab Matbû’an’ cocok dengan kondisi ini. Kekeliruan ini sering dilakukan oleh sekte-sekte keagamaan yag sesat.

Kedua, kesalahan dalam memahami ‘dalil’ saja. Bisa jadi seorang mufasir ketika memahami sebuah ayat berhasil menghimpun makna dan pemahaman yang benar akan tetapi teks Al-Qur’an tidak menunjukkan kepada pemahaman tersebut. Hal ini sering dialami oleh penafsiran esoterisme sufi.

Ketiga, kesalahan yang diakibatkan oleh kekakuan memahami arti-arti konvensional suatu kata dalam Al-Qur’an tanpa memperhatikan konteks pembicaraannya. Karena kosakata Arab yang digunakan Alquran telah kehilangan maknanya yang lama dan mengandung pengertian baru. Atau terulangnya suatu kata di beberapa tempat dalam Al-Qur’an yang masing-masing memiliki arti yang berbeda. Sehingga ketiga corak penyimpangan tersebut dapat menafikan sesuatu yang pada dasarnya dikehendaki oleh Alquran atau sebaliknya mengafirmasi sesuatu yang sebenarnya tidak dikehendakinya.

Antara Harmonisasi Wahyu dan Akal

Ibnu Taimiyah mengembangkan ide pembatalan dualisme yang santer didengungkan mengenai adanya polarisasi antara Naql dan ‘Aql. Beliau menepis persengketaan antara wahyu Tuhan dan akal manusia. Ini bisa dibaca dalam karya-karyanya; Dar’u Ta’ârudl al-‘Aql wa al-Naql, al-Nubuwwât, Ma’ârij al-Wushûl dan lain-lain.

Beliau sampai pada kesimpulan bahwa korelasi antara keduanya bersifat ‘ekuivalen’ (talâzum) dengan mengintegrasikan akal ke dalam pengertian syari’at untuk menghindari klaim permusuhan tersebut. Dengan cara itu beliau mampu menghindari ‘rasionalisme’ Mu’tazilah dan ‘skripturalisme’ ahli hadis kepada apa yang bisa kita sebut sebagai “Rasionalisme Legal” (‘Aqlâniyyah Syar’iyyah) atau sebaliknya.

Dengan ide ini sebenarnya beliau telah jauh melampaui gagasan al-Ghazâlî dan Ibnu Rusyd dalam upaya keduanya mempertemukan agama dan filsafat yang masih terkesan setengah hati. Berangkat dari sini beliau menolak paradigma alternatif yang disodorkan ahli kalam dalam mengolah akidah dan konsepsi Islam yang memarginalkan metode penarikan kesimpulan Al-Qur’an yang legal dus rasional, serta tidak mentolelir hilangnya kekhasan metode Al-Qur’an. Sehingga metode ta’wîl, ta’thîl (disrupsi) dan tasybîh (antropomorphisme) tidak mendapat tempat dalam kerangka keilmuan Ibnu Taimiyah.

Di saat yang sama ia memperingatkan bahaya skripturalisme ahli hadis yang, menurutnya, tidak berusaha mengungkapkan bukti-bukti rasional dalam mengafirmasi konsep-konsep teologis, profetik dan eskatologis. Hal ini, dalam pandangannya telah menjadikan keimanan terhadap Rasul sebagai sesuatu yang besemayam di dalam hati tanpa perlu pembuktian yang absah. Jadi jelaslah bahwa konvergensi akal dan wahyu menjadi titik berat perhatiannya dalam mengupas problem keagamaan yang diuraikan oleh Al-Qur’an.

“Pembuktian terhadap kebenaran dengan penciptaan manusia dalam bentuknya yang paling sempurna adalah metode rasional yang legal. Ia legal karena Al-Qur’an yang menujukkannya kepada manusia dan mengarahkannya. Dus rasional karena eksistensi manusia yang tadinya nihil menjadi ada melalui proses nuthfah, ‘alaqah dan seterusnya hanya dapat diketahui melalui pembuktian empiris dan rasional, terlepas dari nuktah-nuktah agama mengabarkannya atau tidak? Banyak kalangan yang bertikai melupakan metode ini. Allah berfirman “Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda kebesaran kami di alam raya dan dari diri-diri mereka sehingga menjadi jelas bagi mereka bahwa Alquran itu benar” (Q.s. Fusshilat: 53), seterusnya penggalan ayat itu berbunyi “Tidakkah cukup dengan Tuhanmu sebagai saksi ata segala sesuatu?”. Jadi di sana diterangkan bahwa tanda-tanda kebesaran yang diperlihatkan kepada manusia hingga mereka mengetahui kebenaran Al-Qur'an merupakan bukti-bukti rasional. Di samping ia juga merupakan bukti-bukti legal karena ditunjukkan oleh syara’. Di dalam Al-Qur'an penuh dengan ayat-ayat yang dibuktikan oleh rasio tapi bersifat syar’i karena agama lah yang menuntun dan mengarahkannya”, tandas beliau.

Kalau dahulu para tokoh yang mengkritisi khazanah tafsir berhadapan dengan dongeng-dongeng Isrâiliyyât, gelombang filsafat Hellenisme dan kejumudan berfikir umat Islam, di abad ini, kita sedang menyaksikan suatu fenomena baru yang lebih dahsyat. Yakni, lahirnya Isrâiliyyât modern, dan virus sepilis (sekularisme, pluralisme dan liberalisme) yang dilahirkan dari orientalisme. Fenomena seperti inilah yang kini sedang dipuja-puja aktivis liberal.

Fenomega keberagamaan baru ini untuk sementara akan dianggap banyak orang seolah-olah bersikap agamis, meski aslinya ingin menjauhkan manusia dari sang Pencipta-nya. Sebab yang sekarang terjadi bukan hanya pemahaman Al-Qur’an yang dipelintir sedemikian rupa dengan memakai analisis hermeneutika dan dialektika marxisme. Bahkan otentisitas Al-Qur’an sudah mulai otak-atik untuk “diragukan” dengan dalih metode kritik historis.

Para cendekiawan Muslim kita sekarang ini tidak lagi hanya berhadapan dengan “dakhîl” tafsir Al-Qur’an berupa tawaran-tawaran menyesatkan tapi juga “dakhîl’ yang menyerang eksistensi Al-Qur’an itu sendiri. Boleh jadi, inilah yang dimaksud oleh Ibnu Taimiyah sebagai tafsir-tafsir “tercela”.

Penulis adalah mahasiswa program pascasarjana (S-2) Jurusan Tafsir dan Ilmu Al-Qur’an, Universitas Al-Azhar Mesir dan kontributor buku "Otentisitas Al-Qur’an" yang dipublikasikan oleh FORDIAN, April 2003

No comments: