Wednesday, September 27, 2006

Ibnu Arabi dan Pluralisme

Ibnu Arabi dan Pluralisme
Beberapa kalangan mengutip dan mencatut nama Ibnu Arabi. Sayangnya, mereka kemudian memanipulasi pendapatnya, untuk digunakan merusak aqidah Islam


Oleh: Dr Syamsuddin Arif *)


Di bulan suci Ramadhan ini, sebuah perkumpulan di bilangan Utan Kayu, Jakarta menggelar kajian pemikiran Ibnu Arabi (w. 638 H/ 1240 M). Tokoh asal Andalusia, Spanyol, yang bernama lengkap Muhyiddin Abu Abdillah Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Abdillah al-Hatimi at-Tha’i ini sengaja dipilih karena -menurut mereka- ia merupakan sosok “sufi liberal”.

Memang, sejak beberapa dasawarsa terakhir, tokoh yang telah menulis lebih dari 400 karya ini oleh sebagian kalangan acapkali diklaim sebagai pelopor paham pluralisme agama. Namanya dicatut dan dijadikan bemper untuk membenarkan konsep ‘agama perennial’ atau religio perennis yang dipopulerkan oleh Frithjof Schuon, Seyyed Hossein Nasr dan William C. Chittick dalam tulisan-tulisan mereka.

Sebagai dalih dikutiplah tiga bait puisi Ibn Arabi yang berbunyi:


“Hatiku telah mampu menerima aneka bentuk dan rupa;

ia merupakan padang rumput bagi menjangan,

biara bagi para rahib, kuil anjungan berhala,

ka‘bah tempat orang bertawaf,

batu tulis untuk Taurat,

dan mushaf bagi al-Qur’an.

Agamaku adalah agama cinta, yang senantiasa kuikuti kemana pun langkahnya;

itulah agama dan keimananku:”


Berdasarkan puisi ini, Nasr mendakwa Ibn Arabi konon “menyadari bahwa jalan-jalan yang diturunkan Tuhan mengantarkan ke satu puncak yang sama (came to realize that the divinely revealed paths lead to the same summit).”

Meski sekilas tampak meyakinkan, pemaparan golongan ini jika dikaji lebih teliti sebenarnya jauh panggang daripada api. Ibn Arabi bukanlah seorang pluralis atau transendentalis sebagaimana mereka khayalkan. Maksud ungkapannya itu telah ia jelaskan dalam kitab yang ditulisnya sendiri: Dzakha’ir al-A‘laq syarh Tarjuman al-Asywaq. Di sana jelas dikatakan bahwa ‘agama cinta’ yang ia maksud ialah agama Nabi Muhammad SAW, merujuk kepada firman Allah SWT dalam al-Quran, surah Al Imran, ayat 31, yang artinya: “Katakanlah [hai Muhammad!], kalau kalian betul-betul mencintai Allah, maka ikutilah aku! --niscaya Allah akan mencintai kalian.” (Lihat: kitab Dzakha’ir al-A‘laq syarh Tarjuman al-Asywaq, ed. Muhammad Salim al-Unsi (Beirut, 1312 H), hlm. 39-40 = ed. Dr. Muhammad ‘Alamuddin as-Syaqiri (Kairo: Ein for Human and Social Studies, 1995), hlm. 245-6)

Pengertian cinta dalam ayat tersebut juga diterangkannya dalam kitab al-Futuhat al-Makkiyyah (bab 178, fi maqam al-mahabbah), dimana ia mengurai empat jenis cinta. Yaitu pertama, cinta kepada Tuhan (hubb ilahi). Kedua, cinta spiritual (hubb ruhani). Ketiga, cinta kodrati (hubb thabi‘i). Dan keempat, cinta material (hubb ‘unshuri). Setelah menjelaskannya satu persatu, Ibn Arabi lantas menegaskan bahwa cinta kepada Tuhan harus dibuktikan dengan mengikuti syari‘at dan sunnah Rasul-Nya saw (al-ittibā‘ li-rasulihi shallallahu ‛alayhi wa sallam fima syara‘a).

Jadi, ‘agama cinta’ yang dimaksud Ibn Arabi adalah Islam, yaitu agama syari‘at dan sunnah Nabi Muhammad saw, dan bukan la religion du coeur versi Schuon dan para pengikutnya itu.

Selain bait puisi di atas, kaum transendentalis juga giat mencari pernyataan-pernyataan Ibn Arabi yang dapat diplintir sesuka-hati. Ini biasanya disertai dengan interpretasi yang bersifat rekaan. Lebih teruk lagi, dan ini yang perlu cermati, adalah praktek menggunting dan membuang bagian dari teks asli yang tidak mendukung asumsi mereka.

Sebagai contoh, mari kita lihat buku Chittick yang berjudul Imaginal Worlds: Ibn Arabi and the Problem of Religious Diversity (1994). Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul: Dunia Imajinal Ibn Arabi: Kreativitas Imajinasi dan Persoalan Diversitas Agama. Sayang, penerjemahnya tidak memberikan kritik terhadap Chittick, tetapi justru memberi kata pengantar berjudul “Titik Temu Agama dalam Realitas Ketuhanan,” yang isinya mengesankan seolah-olah Ibn Arabi memang menganut ide “kesatuan agama”.

Buku Chittick ini sangat perlu dikritisi. Sebagai contoh, ketika ia mengutip sebuah paragraf dari Futuhat (bab 339) yang mengungkap pendapat Ibn Arabi mengenai status agama-agama lain dalam hubungannya dengan Islam, Chittick tidak memuatnya secara utuh. Ia seakan sengaja memotong bagian-bagian penting yang tidak sesuai dengan asumsinya: “All the revealed religions (shara’i‘) are lights. Among these religions, the revealed religion of Muhammad is like the light of the sun among the lights of the stars. When the sun appears, the lights of the stars are hidden, and their lights are included in the light of the sun. Their being hidden is like the abrogation of the other revealed religions that takes place through Muhammad’s revealed religion. Nevertheless, they do in fact exist, just as the existence of the light of the stars is actualized. This explains why we have been required in our all-inclusive religion to have faith in the truth of all the messengers and all the revealed religions. They are not rendered null (batil) by abrogation---that is the opinion of the ignorant.” (op.cit., hlm. 125).

Dengan sengaja berhenti di situ, Chittick memberi kesan seolah-olah Ibnu Arabi menolak pendapat mayoritas kaum Muslimin bahwa semua agama samawi pra-Islam dengan sendirinya terabrogasi dengan datangnya Islam. Padahal maksud pernyataan Ibn Arabi adalah semua agama dan kitab suci yang dibawa oleh para rasul pada zaman dahulu harus diakui kebenarannya dalam konteks sejarahnya masing-masing, yakni sebelum Nabi Muhammad SAW muncul. Dan ini merupakan bagian dari rukun iman. Namun demikian tidak berarti bahwa validitas agama-agama tersebut berkelanjutan setelah kedatangan Rasulullah SAW atau bahkan sampai sekarang.

Dalam Futuhat (bab 36), Ibn Arabi dengan tegas menyatakan bahwa “Nabi Isa (Jesus) pun, seandainya turun sekarang ini, niscaya tidak akan mengimami kita kecuali dengan mengikuti sunnah kita [Ummat Muhammad], dan tidak akan memutuskan suatu perkara kecuali dengan syari‘at kita (wa hadza ‘Isa idza nazala ma ya’ummuna illa minna, ay bi-sunnatina, wa la yahkumu fina illa bi-syar‘ina).

Lebih jauh, dengan kutipan yang tidak komplit itu Chittick berusaha memberi kesan dan menggiring para pembaca agar meyakini seolah-olah Ibn Arabi itu adalah transendentalis yang menganut pluralisme agama seperti dirinya. Sambungan pernyataan Ibnu Arabi yang dipotong oleh Chittick dalam kutipan tersebut di atas berbunyi: “Maka berbagai jalan [agama] semuanya bermuara pada jalan [agama] Nabi [Muhammad] saw. Karena itu, seandainya para rasul berada di zaman beliau, niscaya mereka mengikuti beliau sebagaimana syari‘at mereka ikut syari‘at beliau (Fa-raja‘at at-thuruq kulluha nazhiratan ila thariq an-Nabiyy shallallahu ‘alayhi wa sallama, fa-law kanat ar-rusul fi zamanihi la-tabi‘uhu kama tabi‘at syara’i‘uhum syar‘ahu).”

Bagaimana dengan ayat yang mengatakan bahwa Allah telah menciptakan syari‘at dan jalan untuk masing-masing kalian (QS al-Ma’idah 48: likullin ja‘alna minkum syir‘atan wa minhajan)? Menurut Ibn Arabi, kata ganti orang kedua plural (kum) dalam konteks ayat tersebut merujuk kepada para Nabi, bukan umat mereka. Sebab, jika ia ditujukan kepada umat mereka, niscaya Allah tidak mengutus lebih dari seorang rasul untuk suatu umat. Lagi pula, jika kata “kalian” di situ difahami sekaligus untuk para rasul serta umat mereka, maka kita telah menta’wilkannya secara gegabah. Jadi maksud ayat tersebut, menurut Ibn Arabi, bukan membenarkan semua jalan menuju Tuhan, atau menyamakan status semua agama.

Sebaliknya, terdapat garis demarkasi yang jelas antara hak dan batil, iman dan kufur, tawhid dan syirik, dan seterusnya. Jika tidak, lanjut Ibn Arabi, niscaya Nabi SAW tidak akan berdakwah mengajak orang masuk Islam, niscaya orang yang pindah agama (yartadid ‘an dīni-hi) tidak akan disebut kafir (QS 2:217) dan niscaya tidak akan keluar perintah untuk membunuh orang yang murtad (hadits: “man baddala dīnahu fa-qtulūhu”). Oleh sebab itu, Ibn Arabi menambahkan, orang Yahudi atau Nasrani yang masuk Islam tidak dikatakan murtad, karena ajaran murni agama mereka memang mengharuskan beriman kepada dan mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW. (Untuk detailnya lihat: Futuhat, bab 495: (fi Ma‘rifati hal qutb kana manziluhu “wa man yartadid minkum ‘an dinihi fa-yamut wa huwa kafir”).

Menurut Ibn Arabi, riwayat itu menunjukkan, bahwa pengikut Nabi Isa a.s. yang murni dan sejati tidak hanya mengimani kenabian Muhammad SAW tetapi juga beribadah menurut syari‘at Islam. Sebab, dengan kedatangan sang Nabi terakhir, syari'at agama-agama sebelumnya otomatis tidak berlaku lagi. Fa inna syari‘ata Muhammadin shallallahu ‛alayhi wa sallama nasikhah, tegas Ibn ‘Arabi seraya mengutip hadits Rasūlullāh SAW, “Seandainya Nabi Mūsā hidup saat ini, maka beliau pun tidak dapat tidak, mesti mengikutiku (law kana Musa hayyan ma wasi‘ahu illa an yattabi‘ani).” Di sini nampak cukup jelas sikap dan posisi Ibn Arabi terhadap agama lain sebelum Islam. (Lihat Futuhat, bab 36: fi ma‘rifat al-‛Isawiyyin wa aqtabihim wa ushulihim). Terlepas dari kontroversi dan polemik seputar Ibn Arabi sendiri, adalah tidak etis mencatut nama seorang pakar atau ulama dengan memanipulasi pendapatnya, apalagi jika digunakan untuk merusak aqidah Islam.

*) Penulis peneliti INSISTS, sedang mengadakan penelitian di Johann Wolfgang Goethe-Universitdt, Frankfurt am Main , Jerman, untuk PhD keduanya

No comments: