Sunday, August 05, 2007

Demi Masa

Demi Masa Sesungguhnya Manusia dalam Kerugian,
Kecuali mereka yang beriman dan berbuat kebaikan...

Sunday, December 10, 2006

Istri Shalihah, Keutamaan dan Sifat-Sifatnya

Istri Shalihah, Keutamaan dan Sifat-Sifatnya
Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah
Apa yang sering diangankan oleh kebanyakan laki-laki tentang wanita yang bakal menjadi pendamping hidupnya?Cantik, kaya, punya kedudukan, karir bagus, dan baik pada suami.Inilah keinginan yang banyak muncul.Sebuah keinginan yang lebih tepat disebut angan-angan, karena jarang ada wanita yang memiliki sifat demikian.Kebanyakan laki-laki lebih memperhatikan penampilan dzahir, sementara unsur akhlak dari wanita tersebut kurang diperhatikan.Padahal akhlak dari pasangan hidupnya itulah yang akan banyak berpengaruh terhadap kebahagiaan rumah tangganya.Seorang muslim yang shalih, ketika membangun mahligai rumah tangga maka yang menjadi dambaan dan cita-citanya adalahagar kehidupan rumah tangganya kelak berjalan dengan baik, dipenuhi mawaddah wa rahmah, sarat dengan kebahagiaan,adanya saling ta‘awun (tolong menolong), saling memahami dan saling mengerti.Dia juga mendamba memiliki istri yang pandai memposisikan diri untuk menjadi naungan ketenangan bagi suami dan tempat beristirahat dari ruwetnya kehidupan di luar.Ia berharap dari rumah tangga itu kelak akan lahir anak turunannya yang shalih yang menjadi qurratu a‘yun (penyejuk mata) baginya.Demikian harapan demi harapan dirajutnya sambil meminta kepada Ar-Rabbul A‘la (Allah Yang Maha Tinggi) agar dimudahkan segala urusannya.Namun tentunya apa yang menjadi dambaan seorang muslim ini tidak akan terwujud dengan baik terkecuali bila wanita yang dipilihnya untuk menemani hidupnya adalah wanita shalihah.Karena hanya wanita shalihah yang dapat menjadi teman hidup yang sebenarnya dalam suka maupun lara, yang akan membantu dan mendorong suaminya untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.Hanya dalam diri wanita shalihah tertanam aqidah tauhid, akhlak yang mulia dan budi pekerti yang luhur.Dia akan berupaya ta‘awun dengan suaminya untuk menjadikan rumah tangganya bangunan yang kuat lagi kokoh guna menyiapkan generasi Islam yang diridhai Ar-Rahman.Sebaliknya, bila yang dipilih sebagai pendamping hidup adalah wanita yang tidak terdidik dalam agama1 dan tidak berpegang dengan agama,maka dia akan menjadi duri dalam daging dan musuh dalam selimut bagi sang suami.Akibatnya rumah tangga selalu sarat dengan keruwetan, keributan, dan perselisihan.Istri seperti inilah yang sering dikeluhkan oleh para suami, sampai-sampai ada di antara mereka yang berkata:Aku telah berbuat baik kepadanya dan memenuhi semua haknya namun ia selalu menyakitiku.Duhai kiranya wanita itu tahu betapa besar hak suaminya, duhai kiranya dia tahu akibat yang akan diperoleh dengan menyakiti dan melukai hati suaminya….Namun dari mana pengetahuan dan kesadaran itu akan didapatkan bila dia jauh dari pengajaran dan bimbingan agamanya yang haq? Wallahu Al-Musta‘an.Keutamaan wanita shalihahAbdullah bin Amr radhiallahu 'anhuma meriwayatkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:“Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan2 dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim no. 1467)Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Umar ibnul Khaththab radhiallahu 'anhu:Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri shalihah yang bila dipandang akan menyenangkannya3, bila diperintah4 akan mentaatinya5, dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga dirinya.” (HR. Abu Dawud no. 1417. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata dalam Al-Jami’ush Shahih 3/57: “Hadits ini shahih di atas syarat Muslim.”)Berkata Al-Qadhi ‘Iyyadh rahimahullah:Tatkala Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menerangkan kepada para sahabatnya bahwa tidak berdosa mereka mengumpulkan harta selama mereka menunaikan zakatnya, beliau memandang perlunya memberi kabar gembira kepada mereka dengan menganjurkan mereka kepada apa yang lebih baik dan lebih kekal yaitu istri yang shalihah yang cantik (lahir batinnya) karena ia akan selalu bersamamu menemanimu.Bila engkau pandang menyenangkanmu, ia tunaikan kebutuhanmu bila engkau membutuhkannya.Engkau dapat bermusyawarah dengannya dalam perkara yang dapat membantumu dan ia akan menjaga rahasiamu.Engkau dapat meminta bantuannya dalam keperluan-keperluanmu, ia mentaati perintahmu dan bila engkau meninggalkannya ia akan menjaga hartamu dan memelihara/mengasuh anak-anakmu.” (‘Aunul Ma‘bud, 5/57)Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah pula bersabda:Empat perkara termasuk dari kebahagiaan, yaitu wanita (istri) yang shalihah, tempat tinggal yang luas/ lapang, tetangga yang shalih, dan tunggangan (kendaraan) yang nyaman. Dan empat perkara yang merupakan kesengsaraan yaitu tetangga yang jelek, istri yang jelek (tidak shalihah), kendaraan yang tidak nyaman, dan tempat tinggal yang sempit.” (HR. Ibnu Hibban dalam Al-Mawarid hal. 302, dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/57 dan Asy-Syaikh Al Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 282)Ketika Umar ibnul Khaththab radhiallahu 'anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, harta apakah yang sebaiknya kita miliki?Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:Hendaklah salah seorang dari kalian memiliki hati yang bersyukur, lisan yang senantiasa berdzikir dan istri mukminah yang akan menolongmu dalam perkara akhirat.” (HR. Ibnu Majah no. 1856, dishahihkan Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahih Ibnu Majah no. 1505)Cukuplah kemuliaan dan keutamaan bagi wanita shalihah dengan anjuran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bagi lelaki yang ingin menikah untuk mengutamakannya dari yang selainnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:Wanita itu dinikahi karena empat perkara yaitu karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya.Maka pilihlah olehmu wanita yang punya agama, engkau akan beruntung.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 1466)Empat hal tersebut merupakan faktor penyebab dipersuntingnya seorang wanita dan ini merupakan pengabaran berdasarkan kenyataan yang biasa terjadi di tengah manusia,bukan suatu perintah untuk mengumpulkan perkara-perkara tersebut, demikian kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah.Namun dzahir hadits ini menunjukkan boleh menikahi wanita karena salah satu dari empat perkara tersebut, akan tetapi memilih wanita karena agamanya lebih utama. (Fathul Bari, 9/164)Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata:maknanya: yang sepatutnya bagi seorang yang beragama dan memiliki muruah (adab) untuk menjadikan agama sebagai petunjuk pandangannya dalam segala sesuatu terlebih lagi dalam suatu perkara yang akan tinggal lama bersamanya (istri).Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk mendapatkan seorang wanita yang memiliki agama di mana hal ini merupakan puncak keinginannya.” (Fathul Bari, 9/164)Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:Dalam hadits ini ada anjuran untuk berteman/ bersahabat dengan orang yang memiliki agama dalam segala sesuatu karena ia akan mengambil manfaat dari akhlak mereka (teman yang baik tersebut),berkah mereka, baiknya jalan mereka, dan aman dari mendapatkan kerusakan mereka. (Syarah Shahih Muslim, 10/52)Sifat-sifat Istri ShalihahAllah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:Wanita (istri) shalihah adalah yang taat lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada dikarenakan Allah telah memelihara mereka.” (An-Nisa: 34)Dalam ayat yang mulia di atas disebutkan di antara sifat wanita shalihah adalah taat kepada Allah dan kepada suaminya dalam perkara yang ma‘ruf6 lagi memelihara dirinya ketika suaminya tidak berada di sampingnya.Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullah berkata: Tugas seorang istri adalah menunaikan ketaatan kepada Rabbnya dan taat kepada suaminya,karena itulah Allah berfirman: Wanita shalihah adalah yang taat, yakni taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, “Lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada.Yakni taat kepada suami mereka bahkan ketika suaminya tidak ada (sedang bepergian,), dia menjaga suaminya dengan menjaga dirinya dan harta suaminya.(Taisir Al-Karimir Rahman, hal.177)Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menghadapi permasalahan dengan istri-istrinya sampai beliau bersumpah tidak akan mencampuri mereka selama sebulan,Allah Subhanahu wa Ta'ala menyatakan kepada Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam:Jika sampai Nabi menceraikan kalian,7 mudah-mudahan Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kalian, muslimat, mukminat, qanitat, taibat, ‘abidat, saihat dari kalangan janda ataupun gadis. (At-Tahrim: 5)Dalam ayat yang mulia di atas disebutkan beberapa sifat istri yang shalihah yaitu:a. Muslimat: wanita-wanita yang ikhlas (kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala), tunduk kepada perintah Allah ta‘ala dan perintah Rasul-Nya.b. Mukminat: wanita-wanita yang membenarkan perintah dan larangan Allah Subhanahu wa Ta'alac. Qanitat: wanita-wanita yang taatd. Taibat: wanita-wanita yang selalu bertaubat dari dosa-dosa mereka, selalu kembali kepada perintah (perkara yang ditetapkan) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam walaupun harus meninggalkan apa yang disenangi oleh hawa nafsu mereka.e. ‘Abidat: wanita-wanita yang banyak melakukan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala (dengan mentauhidkannya karena semua yang dimaksud dengan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam Al-Qur’an adalah tauhid, kata Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma).f. Saihat: wanita-wanita yang berpuasa. (Al-Jami‘ li Ahkamil Qur’an, 18/126-127, Tafsir Ibnu Katsir, 8/132)Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan:Apabila seorang wanita shalat lima waktu, puasa sebulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya: Masuklah engkau ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau sukai.” (HR. Ahmad 1/191, dishahihkan Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ no. 660, 661)Dari dalil-dalil yang telah disebutkan di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa sifat istri yang shalihah adalah sebagai berikut:1. Mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan mempersembahkan ibadah hanya kepada-Nya tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.2. Tunduk kepada perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala, terus menerus dalam ketaatan kepada-Nya dengan banyak melakukan ibadah seperti shalat, puasa, bersedekah, dan selainnya.Membenarkan segala perintah dan larangan Allah Subhanahu wa Ta'ala.3. Menjauhi segala perkara yang dilarang dan menjauhi sifat-sifat yang rendah.4. Selalu kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bertaubat kepada-Nya sehingga lisannya senantiasa dipenuhi istighfar dan dzikir kepada-Nya. Sebaliknya ia jauh dari perkataan yang laghwi, tidak bermanfaat dan membawa dosa seperti dusta, ghibah, namimah, dan lainnya.5. Menaati suami dalam perkara kebaikan bukan dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan melaksanakan hak-hak suami sebaik-baiknya.6. Menjaga dirinya ketika suami tidak berada di sisinya. Ia menjaga kehormatannya dari tangan yang hendak menyentuh, dari mata yang hendak melihat, atau dari telinga yang hendak mendengar. Demikian juga menjaga anak-anak, rumah, dan harta suaminya.Sifat istri shalihah lainnya bisa kita rinci berikut ini berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan setelahnya:1. Penuh kasih sayang, selalu kembali kepada suaminya dan mencari maafnya.Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :Maukah aku beritahukan kepada kalian, istri-istri kalian yang menjadi penghuni surga yaitu istri yang penuh kasih sayang, banyak anak, selalu kembali kepada suaminya.Di mana jika suaminya marah, dia mendatangi suaminya dan meletakkan tangannya pada tangan suaminya seraya berkata: “Aku tak dapat tidur sebelum engkau ridha.(HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa no. 257. Silsilah Al-Ahadits Ash Shahihah, Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah, no. 287)2. Melayani suaminya (berkhidmat kepada suami) seperti menyiapkan makan minumnya, tempat tidur, pakaian, dan yang semacamnya.3. Menjaga rahasia-rahasia suami, lebih-lebih yang berkenaan dengan hubungan intim antara dia dan suaminya. Asma’ bintu Yazid radhiallahu 'anha menceritakan dia pernah berada di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika itu kaum lelaki dan wanita sedang duduk.Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya:Barangkali ada seorang suami yang menceritakan apa yang diperbuatnya dengan istrinya (saat berhubungan intim), dan barangkali ada seorang istri yang mengabarkan apa yang diperbuatnya bersama suaminya?Maka mereka semua diam tidak ada yang menjawab.Aku (Asma) pun menjawab: Demi Allah! Wahai Rasulullah, sesungguhnya mereka (para istri) benar-benar melakukannya, demikian pula mereka (para suami).Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:Jangan lagi kalian lakukan, karena yang demikian itu seperti syaithan jantan yang bertemu dengan syaitan betina di jalan, kemudian digaulinya sementara manusia menontonnya. (HR. Ahmad 6/456, Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Adabuz Zafaf (hal. 63) menyatakan ada syawahid (pendukung) yang menjadikan hadits ini shahih atau paling sedikit hasan)4. Selalu berpenampilan yang bagus dan menarik di hadapan suaminya sehingga bila suaminya memandang akan menyenangkannya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri shalihah yang bila dipandang akan menyenangkannya, bila diperintah akan mentaatinya dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga dirinya”. (HR. Abu Dawud no. 1417. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata dalam Al-Jami’ush Shahih 3/57: “Hadits ini shahih di atas syarat Muslim.”)5. Ketika suaminya sedang berada di rumah (tidak bepergian/ safar), ia tidak menyibukkan dirinya dengan melakukan ibadah sunnah yang dapat menghalangi suaminya untuk istimta‘ (bernikmat-nikmat) dengannya seperti puasa, terkecuali bila suaminya mengizinkan.Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:“Tidak halal bagi seorang istri berpuasa (sunnah) sementara suaminya ada (tidak sedang bepergian) kecuali dengan izinnya”. (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)6. Pandai mensyukuri pemberian dan kebaikan suami, tidak melupakan kebaikannya, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda: “Diperlihatkan neraka kepadaku, ternyata aku dapati kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita yang kufur.Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab: “Mereka mengkufuri suami dan mengkufuri (tidak mensyukuri) kebaikannya. Seandainya salah seorang dari kalian berbuat baik kepada seorang di antara mereka (istri) setahun penuh, kemudian dia melihat darimu sesuatu (yang tidak berkenan baginya) niscaya dia berkata: “Aku tidak pernah melihat darimu kebaikan sama sekali.” (HR. Al-Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907)Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah bersabda:Allah tidak akan melihat kepada seorang istri yang tidak bersyukur kepada suaminya padahal dia membutuhkannya.” (HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa. Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 289)7. Bersegera memenuhi ajakan suami untuk memenuhi hasratnya, tidak menolaknya tanpa alasan yang syar‘i, dan tidak menjauhi tempat tidur suaminya, karena ia tahu dan takut terhadap berita Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak (enggan) melainkan yang di langit murka terhadapnya hingga sang suami ridha padanya.” (HR. Muslim no.1436)“Apabila seorang istri bermalam dalam keadaan meninggalkan tempat tidur suaminya, niscaya para malaikat melaknatnya sampai ia kembali (ke suaminya).” (HR. Al-Bukhari no. 5194 dan Muslim no. 1436)Demikian yang dapat kami sebutkan dari keutamaan dan sifat-sifat istri shalihah, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta'ala memberi taufik kepada kita agar dapat menjadi wanita yang shalihah, amin.1 Atau ia belajar agama namun tidak mengamalkannya2 Tempat untuk bersenang-senang (Syarah Sunan An-Nasai oleh Al-Imam As-Sindi rahimahullah, 6/69)3 Karena keindahan dan kecantikannya secara dzahir atau karena bagusnya akhlaknya secara batin atau karena dia senantiasa menyibukkan dirinya untuk taat dan bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala (Ta‘liq Sunan Ibnu Majah, Muhammad Fuad Abdul Baqi, Kitabun Nikah, bab Afdhalun Nisa, 1/596, ‘Aunul Ma‘bud, 5/56)4 Dengan perkara syar‘i atau perkara biasa (‘Aunul Ma‘bud, 5/56)5 Mengerjakan apa yang diperintahkan dan melayaninya (‘Aunul Ma‘bud, 5/56)6 Bukan dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq.7 Allah Subhanahu wa Ta'ala Maha Mengetahui bahwasanya Nabi-Nya tidak akan menceraikan istri-istrinya (ummahatul mukminin), akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan kepada ummahatul mukminin tentang kekuasaan-Nya, bila sampai Nabi menceraikan mereka, Dia akan menggantikan untuk beliau istri-istri yang lebih baik daripada mereka dalam rangka menakuti-nakuti mereka.Ini merupakan pengabaran tentang qudrah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan ancaman untuk menakut-nakuti istri-istri Nabi ?,bukan berarti ada orang yang lebih baik daripada shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (Al-Jami‘ li Ahkamil Qur’an, 18/126) dan bukan berarti istri-istri beliau tidak baik bahkan mereka adalah sebaik-baik wanita.Al-Qurthubi rahimahullah berkata: Permasalahan ini dibawa kepada pendapat yang mengatakan bahwa penggantian istri dalam ayat ini merupakan janji dari Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam, seandainya beliau menceraikan mereka di dunia Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menikahkan beliau di akhirat dengan wanita-wanita yang lebih baik daripada mereka.” (Al-Jami‘ li Ahkamil Qur’an, 18/127)taken from milist : muslimah_sholihah

Wednesday, November 22, 2006

PENELITIAN DEPAG SOAL LIBERALISME


“Hasil Penelitian Depag tentang Faham Liberal Keagamaan”


Senin, 20 November 2006
Menyedihkan hasil penelitian Depag terbaru tentang pluralisme agama. Al-Quran, katanya "produk budaya". Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-170

Oleh: Adian Husaini
Departemen Agama, melalui Badan Litbang dan Diklatnya, telah melakukan penelitian tentang ‘Faham-faham keagamaan liberal pada masyarakat perkotaan’. Hasil penelitian itu dipresentasikan pada 15 November 2006 di Jakarta, di hadapan sejumlah peneliti, perwakilan berbagai ormas keagamaan, dan lembaga swadaya masyarakat. Penelitian dilakukan di sejumlah kota besar: Jakarta, Medan, Yogyakarta, Bandung, Makassar, dan Surabaya. Untuk kalangan Kristen, dilakukan penelitian di Nusa Tenggara Timur dan Menado, dan untuk kasus Hindu dilakukan penelitian di Denpasar Bali.
Ketika melakukan penelitian perkembangan paham keagamaan liberal di lingkungan masyarakat Muslim, para peneliti Depag menfokuskan penelitiannya di seputar lingkungan UIN/IAIN. Di Medan, misalnya, penelitian dilakukan dengan melakukan wawancara dengan sejumlah dosen IAIN Sumatera Utara. Ada sejumlah masalah yang dijadikan indikator dalam penelitian, seperti (1) masalah hubungan antara agama dengan negara, (2) masalah Pluralisme Agama, (3) masalah hak beragama, (4) kebebasan berpikir (berijtihad), (5) perkawinan beda agama dan masalah poligami, (6) masalah kebenaran, (7) Hak asasi manusia (8) masalah jender, (9) masalah demokrasi.
Ditulis dalam hasil penelitian ini: “Mengenai masalah pluralisme, mereka tidak sependapat dengan MUI sebab kalau semua agama itu sama, berarti bukan plural lagi. Plural itu artinya banyak, paham yang mengakui adanya perbedaan dalam kelompok dan masyarakat. Dengan mengembangkan paham pluralisme, menjadikan pandangan keagamaan seseorang tidak ekstrem, longgar tetapi tidak sampai menganggu keimanannya, kepanatikan berkurang dan menghargai orang lain. Memang implikasi sikap pluralisme tersebut bisa membuat iman seseorang berkurang. Untuk itu dalam mengajarkan ajaran agama untuk tingkat TK/SD ditanamkan emosi dan rasa keagamaan. Untuk tingkat SMA diajarkan tentang kemajemukan, sehingga mereka menghargai antara faham yang satu dengan faham yang lain. Menurut Amiur Nuruddin, pluralisme agama berarti semua agama mempunyai dasar dan keyakinan yang dianut oleh masing-masing penganut, dan kita menghargai masing-masing agama untuk mengembangkan ajaran agama masing-masing, jadi pluralisme tidak menganggap semua agama sama. Dalam Islam harus menerima keragaman paham keagamaan secara internal dan tidak boleh mamaksakan suatu faham kepada kelompok lain. Kalau hal ini dikembangkan akan terjadi konflik horisontal diantara umat Islam. Maka Pak Amiur tidak setuju terhadap tindakan suatu kelompok yang mengeksekusi terhadap kelompok yang dianggap sempalan.”
Itulah hasil penelitian Departemen Agama terhadap persepsi sejumlah dosen IAIN Sumatera Utara terhadap paham Pluralisme Agama. Yang disebut Pak Amiur Nuruddin adalah Dekan Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara. Tampak dalam penelitian itu, bahwa Dekan Fakultas Syariah itu setuju dengan paham Pluralisme Agama, dan tidak memahami masalah paham Pluralisme Agama, sebagaimana dibahas dalam studi agama-agama di dunia saat ini. Dia mendefinisikan Pluralisme Agama sebagai “paham yang mengakui adanya perbedaan dalam kelompok dan masyarakat.”
Sehingga dengan mengembangkan paham pluralisme, menjadikan pandangan keagamaan seseorang tidak ekstrem, longgar tetapi tidak sampai menganggu keimanannya, kepanatikan berkurang dan menghargai orang lain.
Kesimpulan ini sangat aneh. Pluralisme Agama, sebagaimana didefinisikan dan biasa dikaji dalam studi agama-agama, bukanlah paham yang seperti itu. Dalam fatwa MUI pun sudah ditegaskan, bahwa Islam mengakui dan menghormati perbedaan. Hanya saja, itu disebut sebagai ‘pluralitas’.
Tetapi, dalam Pluralisme Agama, -- sebagaimana sering kita bahas dalam Catatan ini – agama-agama memang dipandang sama-sama sah sebagai jalan menuju Tuhan yang sama. Dalam bahasa Nurcholish Madjid, agama-agama adalah ibarat jari-jari roda yang menuju kepada pusat roda (tuhan) yang sama. Dalam bahasa Huston Smith dan Seyyed Hossen Nasr, agama-agama diibaratkan sebagai jalan yang berbeda-beda menuju ke puncak (tuhan) yang sama.
Jadi, MUI tidak salah ketika mendefinisikan bahwa Pluralisme Agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
Karena itu, kita patut merasa heran dengan pandangan Dekan Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara itu tentang paham Pluralisme Agama, sebagaimana diungkap dalam hasil penelitian Depag tersebut. Ditambah lagi, redaksi yang digunakan pun bertentangan satu dengan lainnya. Pada satu kalimat dikatakan, bahwa dengan mengembangkan paham Pluralisme, maka tidak sampai mengganggu keimanannya. Tetapi pada kalimat berikutnya ditulis, bahwa implikasi sikap pluralisme tersebut bisa membuat iman seseorang berkurang.
Masalah Pluralisme Agama merupakan tantangan sangat serius bagi agama-agama yang ada, sehingga para tokoh agama dan cendekiawan agama-agama, baik dari kalangan Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan sebagainya, telah melakukan kajian yang serius tentang masalah ini.
Karena itu, kita sangat amat layak untuk bersedih hati menyimak pendapat seorang profesor doktor dari IAIN Sumatera Utara yang juga Dekan Fakultas Syariah itu tentang paham Pluralisme Agama.
Hasil penelitian di Kota Medan ini ditutup dengan rekomendasi peneliti Depag tersebut: “untuk kelompok yang mengembangkan pemikiran baru di Kota Medan ini alangkah baiknya kalau membentuk semacam lembaga, seperti JIL di Jakarta, LKIs di Yogyakarta, atau Paramadina, sehingga bisa disusun agenda diskusi, sehingga nantinya dapat menghasilkan produk pemikiran yang terdokumentasikan, sehingga bisa juga dinikmati orang lain. Kepada MUI agar berhati-hati mengeluarkan statemennya, agar tidak mematikan semangat berpikir yang tumbuh di kalangan generasi muda, yang sedang mekar-mekarnya.”
Berdasarkan rekomendasi penelitian di Kota Medan itu, kita memahami, bahwa si peneliti Depag itu sudah memiliki kerangka pikir liberal dan menganjurkan agar di Kota Medan juga dibentuk lembaga penyebar paham keagamaan liberal. Tentu saja, ini PR berat bagi Menteri Agama saat ini yang dikenal cukup kritis terhadap paham-paham liberalisme keagamaan.
Bahwa diantara anak buahnya, justru menganjurkan disebarkannya paham liberal. Bagi umat Islam, tentu ini musibah dan tantangan besar.
Kita lanjutkan menelaah hasil penelitian di Kota Yogyakarta, yang diberi judul “Faham Islam Liberal Masyarakat Kota Yogyakarta”. Menjelaskan sejumlah faham liberal, diantaranya tentang “Memaknai teks al-Quran dan al-Hadits secara liberal dengan mengutamakan semangat religio etik”, penelitian ini mencatat:
“Al-Quran bukan lagi dianggap sebagai wahyu suci dari Allah SWT kepada Muhammad saw, melainkan merupakan produk budaya (muntaj tsaqafi) sebagaimana yang digulirkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid. Metode tafsir yang digunakan adalah hermeneutika, karena metode tafsir konvensional dianggap sudah tidak sesuai dengan zaman. Amin Abdullah mengatakan bahwa sebagian tafsir dan ilmu penafsiran yang diwarisi umat Islam selama ini dianggap telah melenggengkan status quo dan kemerosotan umat Islam secara moral, politik, dan budaya. Hermeneutika kini sudah menjadi kurikulum resmi di UIN/IAIN/STAIN seluruh Indonesia. Bahkan oleh perguruan tinggi Islam dinusantara ini hermeneutika makin digemari. Terhadap Al-Hadits tetap harus ada kritik terhadap perawi-perawi hadits, kritik terhadap hadits-hadits mutawatir, bahkan terhadap ideologi Islam. Menurut Zuly Qadir bahwa yang menjadi salah satu kunci dari penafsiran agama adalah tidak ada tafsir dan pemahaman absolut terhadap agama. Dalam menyikapi perbedaan, Islam Liberal tidak menjustifikasi benar atau salah.”
Membaca kutipan hasil penelitian itu, kita bisa melihat, bagaimana parahnya cara berpikir kaum liberal yang berkutat di sekitar UIN Yogya tersebut. Mereka tidak lagi menganggap Al-Quran sebagai wahyu suci. Mereka sudah menggeser ilmu tafsir dan mengganti dengan hermeneutika yang ujung-ujungnya menghasilkan pemahaman relativisme tafsir. Mereka juga tidak menentukan sikap terhadap yang benar dan yang salah.
Jika kita membaca pandangan mereka, berdasarkan hasil penelitian ini, maka sungguh kita amat sangat patut khawatir terhadap anak-anak kita yang sekarang sedang menuntut ilmu di Yogyakarta dan dicekoki dengan paham-paham yang menggerus keyakinan Islam secara sistematis tersebut. Sampai-sampai antara yang benar dan yang salah pun sudah tidak bisa membedakan lagi.
Padahal, sebagai Muslim, kita diwajibkan menjalankan amar ma’ruf nahi munkar: memperjuangkan yang benar dan melawan kemunkaran. Jika seorang yang masih mengaku Muslim tetapi sudah tidak mengakui kesucian Al-Quran, tidak mengakui kebenaran hadits mutawatir, tidak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah, lalu, apa lagi yang tersisa dari sebuah makna keislaman?
Tentang masalah ‘kebebasan beragama’ dilaporkan dalam penelitian ini bahwa Islam Liberal berpendapat: “Semua agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama, memiliki tujuan dan mengabdi pada Tuhan yang sama, dan kebenaran itu ada pada semua agama... Mengklaim agama sendiri paling benar akan menempatkan seseorang pada sikap eksklusif partikular dan hanya akan menimbulkan disharmoni antar umat beragama.”
Juga ditulis dalam laporan ini, bahwa dalam masalah theologi, Islam Liberal berpendapat : ‘’Tuhan apapun yang disembah oleh umat, tidak menjadi masalah. Di sisi lain Tuhan tidak berhak menghukum manusia karena tidak menyembahnya (atheis), karena hal ini bukan wewenang Tuhan untuk mengatur manusia, karena sudah masuk dalam ruang privat.”
Dalam masalah ritual ditulis: “Manusia meyakini akan kebenaran adanya Tuhan. Karena kebenaran berada bukan pada satu keyakinan dan agama, maka cara untuk “menyapa” dan mendekatkan diri pada Tuhan juga mengalami keberagaman. Umat Islam memiliki ritual sendiri. Demikian pula Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan agama-agama lainnya. Yang terpenting adalah bahwa semua agama sama dan tujuan peribadatan agama-agama itu adalah satu tujuan, Tuhan Yang Satu.”
Tentang nikah beda agama, dicatat dalam penelitian ini: “Larangan nikah beda agama menurut Islam Liberal dipandang sudah tidak relevan lagi, karena sesuai dengan tuntunan Al-Quran bahwa Al-Quran mnganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama.”
Salah satu kesimpulan dari penelitian di Yogya ini menyatakan:
‘’Arus perkembangan pemikiran Islam Liberal di Kota Yogyakarta bermula dari Kampus IAIN Sunan Kalijaga (kini UIN Sunan Kalijaga) pada dekade tahun 1980-an oleh para dosen dan akademisi kampus melalui kajian-kajian keislaman yang diikuti oleh para mahasiswa. Materi hermeneutika dan pemikiran orientalis barat sudah menjadi kajian resmi di UIN Sunan Kalijaga. Hermeneutika dianggap sebagai sebuah kebenaran yang harus disampaikan kepada umat.’’
Itulah beberapa contoh hasil penelitian Departemen Agama tentang faham liberal keagamaan di Yogyakarta. Membaca paham yang dikembangkan oleh mereka yang berpaham liberal tersebut, kita berharap, semoga kita tidak termasuk bagian dari mereka. Mudah-mudahan umat Islam diselamatkan dari fitnah yang disebarkan oleh mereka. Sebab, tentulah musibah besar, jika dari kampus yang berlabel Islam dan bernaung di bawah Departemen Agama justru lahir dan disebarkan paham-paham yang secara jelas sangat destruktif terhadap aqidah dan syariat Islam.
Jika ada yang menyatakan semua agama sama, semua manusia boleh menyembah tuhan apa saja, boleh melakukan ritual dengan cara apa saja, maka apa yang masih bisa kita komentari dari pernyataan yang amat sangat bodoh dan keterlaluan dalam melecehkan Allah itu ? Untuk menghadap kepala sekolah saja ada aturannya. Untuk menemui George Bush pun ada aturannya. Lalu, kaum Liberal mengatakan, untuk menghadap Allah boleh dan sah dengan menggunakan cara apa saja! Bukankah ini sangat keterlaluan?
Tapi itulah mereka. Kita tentu tidak setuju dengan pendapat itu. Kita meyakini, Allah telah mengutus utusan-Nya yang terakhir, yaitu Nabi Muhammad saw, untuk menjelaskan kepada kita, siapa Allah sebenarnya, sifat-sifat dan nama-Nya, dan juga bagaimana cara kita menyembah Allah SWT dengan benar.
Maka, jika seseorang tidak mengimani kenabian Muhammad saw, sangatlah mustahil dia dapat mengenal dan menyembah Allah dengan benar. Karena itulah, syahadat adalah rukun islam yang pertama dan pintu gerbang untuk masuk Islam.
Maka, membaca hasil penelitian Depag ini, kita semakin jelas melihat, di mana sebenarnya posisi Islam Liberal! Tentu kita berharap, Depag akan sangat serius menangani masalah ini. Apalagi, jika gagasan itu disebarkan oleh lembaga atau pegawai-pegawai yang ada di bawah naungannya. Wallahu a’lam. [Depok, 17 November 2006/www.hidayatullah.com].
Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

Wednesday, November 15, 2006

Salafi dimata Syiah

Membaca Salafi, Wahabi dan Khawarij
Friday, June 23 2006

Oleh: Muchtar Luthfi

Dalam melihat faktor kemunculan pemikiran untuk kembali kepada pendapat Salaf menurut Imam Ahmad bin Hambal dapat diperhatikan dari kekacauan zaman saat itu. Sejarah membuktikan, saat itu, dari satu sisi, kemunculan pemikiran liberalisme yang diboyong oleh pengikut Muktazilah yang meyakini keturutsertaan dan kebebasan akal secara ekstrim dan radikal dalam proses memahami agama. Sedang disisi lain, munculnya pemikiran filsafat yang banyak diadopsi dari budaya luar agama, menyebabkan munculnya rasa putus asa dari beberapa kelompok ulama Islam, termasuk Ahmad bin Hambal. Untuk lari dari pemikiran-pemikiran semacam itu, lantas Ahmad bin Hambal memutuskan untuk kembali kepada metode para Salaf dalam memahami agama, yaitu dengan cara tekstual.

--------------------------------------------------------------
AKHIR-AKHIR INI, di Tanah Air kita muncul banyak sekali kelompok-kelompok pengajian dan studi keislaman yang mengidentitaskan diri mereka sebagai pengikut dan penyebar ajaran para Salaf Saleh. Mereka sering mengatasnamakan diri mereka sebagai kelompok Salafi. Dengan didukung dana yang teramat besar dari negara donor, yang tidak lain adalah negara asal kelompok ini muncul, mereka menyebarkan akidah-akidah yang bertentangan dengan ajaran murni keislaman baik yang berlandaskan al-Quran, hadis, sirah dan konsensus para salaf maupun khalaf.

Dengan menggunakan ayat-ayat dan hadis yang diperuntukkan bagi orang-orang kafir, zindiq dan munafiq, mereka ubah tujuan teks-teks tersebut untuk menghantam para kaum muslimin yang tidak sepaham dengan akidah mereka. Mereka beranggapan, bahwa hanya akidah mereka saja yang mengajarkan ajaran murni monoteisme dalam tubuh Islam, sementara ajaran selainnya, masih bercampur syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul yang harus dijauhi, karena sesat dan menyesatkan. Untuk itu, dalam makalah ringkas ini akan disinggung selintas tentang apa dan siapa mereka. Sehingga dengan begitu akan tersingkap kedok mereka selama ini, yang mengaku sebagai bagian dari Ahlusunnah dan penghidup ajaran Salaf Saleh.

DEFINISI SALAFI

Jika dilihat dari sisi bahasa, Salaf berarti yang telah lalu.[2] Sedang dari sisi istilah, salaf diterapkan untuk para sahabat Nabi, tabi'in dan tabi' tabi'in yang hidup di abad-abad permulaan kemunculan Islam.[3] Jadi, salafi adalah kelompok yang ‘mengaku’ sebagai pengikut pemuka agama yang hidup dimasa lalu dari kalangan para sahabat, tabi'in dan tabi' tabi'in. Baik yang berkaitan dengan akidah, syariat dan prilaku keagamaan.[4] Bahkan sebagian menambahkan bahwa Salaf mencakup para Imam Mazhab, sehingga salafi adalah tergolong pengikut mereka dari sisi semua keyakinan keagamaannya.[5] Muhammad Abu Zuhrah menyatakan bahwa Salafi adalah kelompok yang muncul pada abad ke-empat hijriyah, yang mengikuti Imam Ahmad bin Hambal. Kemudian pada abad ketujuh hijriyah dihidupkan kembali oleh Ibnu Taimiyah.[6]

Pada hakekatnya, kelompok yang mengaku sebagai salafi yang dapat kita temui di Tanah Air sekarang ini, mereka adalah golongan Wahabi yang telah diekspor oleh pamuka-pemukanya dari dataran Saudi Arabia. Dikarenakan istilah Wahabi begitu berkesan negatif, maka mereka mengatasnamakan diri mereka dengan istilah Salafi, terkhusus sewaktu ajaran tersebut diekspor keluar Saudi. Kesan negatif dari sebutan Wahabi buat kelompok itu bisa ditinjau dari beberapa hal, salah satunya adalah dikarenakan sejarah kemunculannya banyak dipenuhi dengan pertumpahan darah kaum muslimin, terkhusus pasca kemenangan keluarga Saud -yang membonceng seorang rohaniawan menyimpang bernama Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi- atas semua kabilah di jazirah Arab atas dukungan kolonialisme Inggris. Akhirnya keluarga Saud mampu berkuasa dan menamakan negaranya dengan nama keluarga tersebut. Inggris pun akhirnya dapat menghilangkan dahaga negaranya dengan menyedot sebagian kekayaan negara itu, terkhusus minyak bumi. Sedang pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab, resmi menjadi akidah negara tadi yang tidak bisa diganggu gugat. Selain menindak tegas penentang akidah tersebut, Muhammad bin Abdul Wahab juga terus melancarkan aksi ekspansinya ke segenap wilayah-wilayah lain diluar wilayah Saudi.[7]

Sayyid Hasan bin Ali as-Saqqaf, salah satu ulama Ahlusunnah yang sangat getol mempertahankan serangan dan ekspansi kelompok wahabisme ke negara-negara muslim, dalam salah satu karyanya yang berjudul "as-Salafiyah al-Wahabiyah" menyatakan: "Tidak ada perbedaan antara salafiyah dan wahabiyah. Kedua istilah itu ibarat dua sisi pada sekeping mata uang. Mereka (kaum salafi dan wahabi) satu dari sisi keyakinan dan pemikiran. Sewaktu di Jazirah Arab mereka lebih dikenal dengan al-Wahhabiyah al-Hambaliyah. Namun, sewaktu diekspor keluar (Saudi), mereka mengatasnamakan dirinya sebagai Salafy". Sayyid as-Saqqaf menambahkan: "Maka kelompok salafi adalah kelompok yang mengikuti Ibnu Taimiyah dan mengikuti ulama mazhab Hambali. Mereka semua telah menjadikan Ibnu Taimiyah sebagai imam, tempat rujukan (marja'), dan ketua. Ia (Ibnu Taimiyah) tergolong ulama mazhab Hambali. Sewaktu mazhab ini berada di luar Jazirah Arab, maka tidak disebut dengan Wahabi, karena sebutan itu terkesan celaan". Dalam menyinggung masalah para pemuka kelompok itu, kembali Sayyid as-Saqqaf mengatakan: "Pada hakekatnya, Wahabiyah terlahir dari Salafiyah. Muhammad bin Abdul Wahab adalah seorang yang menyeru untuk mengikuti ajaran Ibnu Taimiyah dan para pendahulunya dari mazhab Hambali, yang mereka kemudian mengaku sebagai kelompok Salafiyah". Dalam menjelaskan secara global tentang ajaran dan keyakinan mereka, as-Saqqaf mengatakan: "Al-Wahabiyah atau as-Salafiyah adalah pengikut mazhab Hambali, walaupun dari beberapa hal pendapat mereka tidak sesuai lagi (dan bahkan bertentangan) dengan pendapat mazhab Hambali sendiri. Mereka sesuai (dengan mazhab Hambali) dari sisi keyakinan tentang at-Tasybih (Menyamakan Allah dengan makhluk-Nya), at-Tajsim (Allah berbentuk mirip manusia), dan an-Nashb yaitu membenci keluarga Rasul saw (Ahlul-Bait) dan tiada menghormati mereka".[8] Jadi, menurut as-Saqqaf, kelompok yang mengaku Salafi adalah kelompok Wahabi yang memiliki sifat Nashibi (pembenci keluarga Nabi saw), mengikuti pelopornya, Ibnu Taimiyah.

PELOPOR PEMIKIRAN “KEMBALI KE METODE AJARAN SALAF”

Ahmad bin Hambal adalah sosok pemuka hadis yang memiliki karya terkenal, yaitu kitab “Musnad”. Selain sebagai pendiri mazhab Hambali, ia juga sebagai pribadi yang menggalakkan ajaran kembali kepada pemikiran Salaf Saleh. Secara umum, metode yang dipakai oleh Ahmad bin Hambal dalam pemikiran akidah dan hukum fikih, adalah menggunakan metode tekstual. Oleh karenanya, ia sangat keras sekali dalam menentang keikutsertaan dan penggunaan akal dalam memahami ajaran agama. Ia beranggapan, kemunculan pemikiran logika, filsafat, ilmu kalam (teologi) dan ajaran-ajaran lain –yang dianggap ajaran diluar Islam yang kemudian diadobsi oleh sebagian muslim- akan membahayakan nasib teks-teks agama.

Dari situ akhirnya ia menyerukan untuk berpegang teguh terhadap teks, dan mengingkari secara total penggunaan akal dalam memahami agama, termasuk proses takwil rasional terhadap teks. Ia beranggapan, bahwa metode itulah yang dipakai Salaf Saleh dalam memahami agama, dan metode tersebut tidak bisa diganggu gugat kebenaran dan legalitasnya. Syahrastani yang bermazhab ‘Asyariyah dalam kitab “al-Milal wa an-Nihal” sewaktu menukil ungkapan Ahmad bin Hambal yang menyatakan: “Kita telah meriwayatkan (hadis) sebagaimana adanya, dan hal (sebagaimana adanya) itu pula yang kita yakini”.[9] Konsekwensi dari ungkapan Ahmad bin Hambal di atas itulah, akhirnya ia beserta banyak pengikutnya –termasuk Ibnu Taimiyah- terjerumus kedalam jurang kejumudan dan kaku dalam memahami teks agama. Salah satu dampak konkrit dari metode di atas tadi adalah, keyakinan akan tajsim (anthropomorphisme) dan tasybih dalam konsep ketuhanan, lebih lagi kelompok Salafi kontemporer, pendukung ajaran Ibnu Taimiyah al-Harrani yang kemudian tampuk kepemimpinannya dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi.

Suatu saat, datang seseorang kepada Ahmad bin Hambal. Lantas, ia bertanya tentang beberapa hadis. Hingga akhirnya, pertanyaan sampai pada hadis-hadis semisal: “Tuhan pada setiap malam turun ke langit Dunia”, “Tuhan bisa dilihat”, “Tuhan meletakkan kaki-Nya kedalam Neraka” dan hadis-hadis semisalnya. Lantas ia (Ahmad bin Hambal) menjawab: “Kita meyakini semua hadis-hadis tersebut. Kita membenarkan semua hadis tadi, tanpa perlu terhadap proses pentakwilan”.[10]

Jelas metode semacam ini tidak sesuai dengan ajaran al-Quran dan as-Sunnah itu sendiri. Jika diperhatikan lebih dalam lagi, betapa al-Quran dalam ayat-ayatnya sangat menekankan penggunaan akal dan pikiran dalam bertindak.[11] Begitu juga hadis-hadis Nabi saw. Selain itu, pengingkaran secara mutlak campur tangan akal dan pikiran manusia dalam memahami ajaran agama akan mengakibatkan kesesatan dan bertentangan dengan ajaran al-Quran dan as-Sunnah itu sendiri. Dapat kita contohkan secara singkat penyimpangan yang terjadi akibat penerapan konsep tadi. Jika terdapat ayat semisal “Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy”,[12] atau seperti hadis yang menyatakan “Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia pada setiap malam”[13], lantas, disisi lain kita tidak boleh menggunakan akal dalam memahaminya, bahkan cukup menerima teks sebagaimana adanya, maka kita akan terbentur dengan ayat lain dalam al-Quran seperti ayat “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia”.[14] Apakah ayat dari surat Thoha tadi berartikan bahwa Allah bertengger di atas singgasana Arsy sebagaimana Ibnu Taimiyah duduk di atas mimbar, atau turun ke langit dunia sebagaimana Ibnu Taimiyah turun dari atas mimbarnya, yang itu semua berarti bertentangan dengan ayat dari surat as-Syuura di atas. Jadi akan terjadi kontradiksi dalam memahami hakekat ajaran agama Islam. Mungkinkah Islam sebagai agama paripurna akan terdapat kontradiksi? Semua kaum muslimin pasti akan menjawabnya dengan negatif, apalagi berkaitan dengan al-Quran sebagai sumber utama ajaran Islam.

Melihat kelemahan metode dasar yang ditawarkan oleh Ahmad bin Hambal semacam ini, meniscayakan adanya pengeroposan ajaran-ajaran yang bertumpu pada metode tadi. Dalam masalah ini, kembali as-Sahrastani mengatakan: “Berbagai individu dari Salaf telah menetapkan sifat azali Tuhan, semisal; sifat Ilmu, Kemampuan (Qudrat)…dan mereka tidak membedakan antara sifat Dzati dan Fi’li. Sebagaimana mereka juga telah menetapkan sifat khabariyah buat Tuhan, seperti; dua tangan dan wajah Tuhan. Mereka tidak bersedia mentakwilnya, dan mengatakan: itu semua adalah sifat-sifat yang terdapat dalam teks-teks agama. Semua itu kita sebut sebagai sifat khabariyah”. Dalam kelanjutan dari penjelasan mengenai kelompok Salafi tadi, kembali as-Sahrastani mengatakan: “Para kelompok Salafi kontemporer meyakini lebih dari para kelompok Salaf itu sendiri. Mereka menyatakan, sifat-sifat khabari bukan hanya tidak boleh ditakwil, namun harus dimaknai secara zahir. Oleh karenanya, dari sisi ini, mereka telah terjerumus kedalam murni keyakinan tasybih. Tentu, permasalahan semacam ini bertentangan dengan apa yang diyakini oleh para salaf itu sendiri”.[15] Jadi sesuai dengan ungkapan Syahrastani, bahwa mayoritas para pengikut kelompok Salafi kontemporer telah menyimpang dari keyakinan para Salaf itu sendiri. Itu jika kita telaah secara global tentang konsep memahami teks. Akibatnya, mereka akan terjerumus kepada kesalahan fatal dalam mengenal Tuhan, juga dalam permasalahn-permasalahan lainnya. Padahal, masih banyak lagi permasalahan-permasalahan lain yang jelas-jelas para Salaf meyakininya, sedang pengaku pengikut salaf kontemporer (salafi) justru mengharamkan dengan alasan syirik, bidah, ataupun khurafat. Perlu ada tulisan tersendiri tentang hal-hal tadi, dengan disertai kritisi pendapat dan argumentasi para pendukung kelompok Wahabisme.[16] Itulah yang menjadi alasan bahwa para pengikut Salafi (kontemporer) itu sudah banyak menyimpang dari ajaran para Salaf itu sendiri, termasuk sebagian ajaran imam Ahmad bin Hambal sendiri.[17]

FAKTOR MUNCULNYA KELOMPOK SALAFI

Dalam melihat faktor kemunculan pemikiran untuk kembali kepada pendapat Salaf menurut Imam Ahmad bin Hambal dapat diperhatikan dari kekacauan zaman saat itu. Sejarah membuktikan, saat itu, dari satu sisi, kemunculan pemikiran liberalisme yang diboyong oleh pengikut Muktazilah yang meyakini keturutsertaan dan kebebasan akal secara ekstrim dan radikal dalam proses memahami agama. Sedang disisi lain, munculnya pemikiran filsafat yang banyak diadopsi dari budaya luar agama, menyebabkan munculnya rasa putus asa dari beberapa kelompok ulama Islam, termasuk Ahmad bin Hambal. Untuk lari dari pemikiran-pemikiran semacam itu, lantas Ahmad bin Hambal memutuskan untuk kembali kepada metode para Salaf dalam memahami agama, yaitu dengan cara tekstual.

Syeikh Abdul Aziz ‘Izzuddin as-Sirwani dalam menjelaskan factor kemunculan pemikiran kembali kepada metode Salaf, mengatakan: “Dikatakan bahwa penyebab utama untuk memegang erat metode itu –yang sangat nampak pada pribadi Ahmad bin Hambal- adalah dikarenakan pada zamannya banyak sekali dijumpai fitnah-fitnah, pertikaian dan perdebatan teologis. Dari sisi lain, berbagai pemikiran aneh, keyakinan-keyakinan yang bermacam-macam dan beraneka ragam budaya mulai bermunculan. Bagaimana mungkin semua itu bisa muncul di khasanah kelimuan Islam. Oleh karenanya, untuk menyelamatkan keyakinan-keyakinan Islam, maka ia menggunakan metode kembali kepemikiran Salaf”.[18] Hal semacam itu pula yang dinyatakan oleh as-Syahrastani dalam kitab al-Milal wa an-Nihal.

Fenomena semacam ini juga bisa kita perhatikan dalam sejarah hidup Abu Hasan al-Asy’ari pendiri mazhab al-Asyariyah. Setelah ia mengumumkan diri keluar dari ajaran Muktazilah yang selama ini ia dapati dari ayah angkatnya, Abu Ali al-Juba’i seorang tokoh Muktazilah dizamannya. Al-Asy’ari dalam karyanya yang berjudul “al-Ibanah” dengan sangat jelas menggunakan metode mirip yang digunakan oleh Ahmad bin Hambal. Namun karena ia melihat bahwa metode semacam itu terlampau lemah, maka ia agak sedikit berganti haluan dengan mengakui otoritas akal dalam memahami ajaran agama, walau dengan batasan yang sangat sempit. Oleh karenanya, dalam karya lain yang diberi judul “al-Luma’ ” nampak sekali betapa ia masih mengakui campur tangan dan keturutsertaan akal dalam memahami ajaran agama, berbeda dengan metode Ahmad bin Hambal yang menolak total keikutsertaan akal dalam masalah itu. Dikarenakan al-Asy’ari hidup di pusat kebudayaan Islam kala itu, yaitu kota Baghdad, maka sebutan Ahlusunnah pun akhirnya didentikkan dengan mazhabnya. Sedang mazhab Thohawiyah dan Maturidiyah yang kemunculannya hampir bersamaan dengan mazhab Asyariyah dan memiliki kemiripan dengannya, menjadi kalah pamor dimata mayoritas kaum muslimin, apalagi ajaran Ahmad bin Hambal sudah tidak lagi dilirik oleh kebanyakan kaum muslimin. Lebih-lebih pada masa kejayaan Ahlusunnah, kemunculan kelompok Salafi kontemporer yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyah yang sebagai sempalan dari mazhab imam Ahmad bin Hambal, pun tidak luput dari ketidaksimpatian kelompok mayoritas Ahlusunnah. Ditambah lagi dengan penyimpangan terhadap akidah Salaf yang dilakukan Salafi kontemporer (pengikut Ibnu Taimiyah) -yang dikomandoi oleh Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi- serta tindakan arogansi yang dilancarkan para pengikut Salafi tersebut terhadap kalompok lain yang dianggap tidak sependapat dengan pemikiran mereka.

KECURANGAN KELOMPOK SALAFI

Setiap golongan bukan hanya berusaha untuk selalu mempertahankan kelangsungan golongannya, namun mereka juga berusaha untuk menyebarkan ajarannya. Itu merupakan suatu hal yang wajar. Akan tetapi, tingkat kewajarannya bukan hanya bisa dinilai dari sisi itu saja, namun juga harus dilihat dari cara dan sarana yang dipakai untuk mempertahankan kelangsungan dan penyebaran ajaran golongan itu. Dari sisi ini, kelompok Salafi banyak melakukan beberapa kecurangan yang belum banyak diketahui oleh kelompok muslim lainnya. Selain kelompok Ahlusunnah biasa, kelompok Ahli Tasawwuf dari kalangan Ahlusunnah dan kelompok Syiah (di luar Ahlusunnah) merupakan kelompok-kelompok di luar Wahabi (Salafi) yang sangat gencar diserang oleh kelompok Salafi. Kelompok Salafi tidak segan-segan melakukan hal-hal yang tidak ‘gentle’ dalam menghadapi kelompok-kelompok selain Salafi, terkhusus Syiah. Menuduh kelompok lain dari saudara-saudaranya sesama muslim sebagai ahli bid’ah, ahli khurafat, musyrik adalah kebiasaan buruk kaum Salafi, walaupun kelompok tadi tergolong Ahlusunnah. Disisi lain, mereka sendiri terus berusaha untuk disebut dan masuk kategori kelompok Ahlusunnah. Berangkat dari sini, kaum Salafi selalu mempropagandakan bahwa Syiah adalah satu kelompok yang keluar dari Islam, dan sangat berbeda dengan pengikut Ahlusunnah. Mereka benci dengan usaha-usaha pendekatan dan persatuan Sunnah-Syiah, apalagi melalui forum dialog ilmiah. Mereka berpikir bahwa dengan mengkafirkan kelompok Syiah, maka mereka akan dengan mudah duduk bersama dengan kelompok Ahlusunnah. Padahal realitanya tidaklah semacam itu. Karena mereka selalu menuduh kelompok Ahlusunnah sebagai pelaku Bid’ah, Khurafat, Takhayul dan Syirik. Mereka berpikir, sewaktu seorang pengikut Ahlusunnah melakukan ziarah kubur, tahlil, membaca shalawat dan pujian terhadap Nabi, istighotsah, bertawassul dan mengambil berkah (tabarruk) berarti ia telah masuk kategori pelaku syirik atau ahli bid’ah yang telah jelas konsekwensi hukumnya dalam ajaran Islam.

Singkat kata, kebencian itu bukan hanya dilancarkan kepada Ahlusunnah, namun terlebih pada kelompok Syiah. Kebencian kaum Salafi terhadap Syiah, bahkan dilakukan dengan cara-cara tidak ilmiah bahkan cenderung arogan dan premanisme, sebagaimana yang dilakukannya di beberapa tempat. Mereka tahu bahwa kelompok Syiah sangat produktif dalam penerbitan buku-buku, terkhusus buku-buku agama. Karya-karya ulama Syiah mampu mengikuti perkembangan zaman dan dapat memberi masukan dalam menyelesaikan problem intelektual yang sedang dibutuhkan oleh masyarakat. Ulama Syiah mampu mengikuti wacana yang sedang berkembang, plus cara penyampaiannya pun dilakukan dengan cara ilmiah. Hal itulah yang menyebabkan kecemburuan kelompok Salafi terhadap Syiah kian menjadi. Akhirnya, sebagai contoh perbuatan licik yang mereka lakukan, sewaktu diadakan pameran Internasional Book-Fair di Mesir, dimana kelompok Syiah pun turut memeriahkan dengan membuka beberapa stand di pameran tersebut, melihat hal itu, kelompok Salafi (Wahabi) memborong semua kitab-kitab Syiah di stand-stand yang ada, yang kemudian membakar semua kitab yang dibelinya.[19]

Jika mereka berani bersaing dengan kelompok Syiah dari sisi keilmiahan, kenapa mereka melakukan hal itu? Perlakuan mereka semacam itu sebagai salah satu bukti kuat, bahwa mereka tidak terlalu memiliki basis ilmiah yang cukup mumpuni sehingga untuk menghadapi Syiah, mereka tidak memiliki jalan lain kecuali harus menggunakan cara-cara emosional yang terkadang cenderung arogan itu. Cara itu juga yang mereka lakukan terhadap para pengikut tasawuf dan tarekat yang banyak ditemui dalam tubuh Ahlusunnah sendiri, khususnya di Indonesia.

Segala bentuk makar dan kebohongan untuk mengahadapi rival akidahnya merupakan hal mubah dimata pengikut Salafi (Wahabi), karena kelompok Salafi masih terus beranggapan bahwa selain kelompoknya masih dapat dikategorikan pelaku syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul. Perlakuan mereka terhadap kaum muslimin pada musim haji merupakan bukti yang tidak dapat diingkari.

Yang lebih parah dari itu, para pendukung kelompok Salafi –yang didukung dana begitu besar- berani melakukan perubahan pada kitab-kitab standart Ahlusunnah, demi untuk menguatkan ajaran mereka, yang dengan jelas tidak memiliki akar sejarah dan argumentasi (tekstual dan rasional) yang kuat. Dengan melobi para pemilik percetakan buku-buku klasik agama yang menjadi standart ajaran –termasuk kitab-kitab hadis dan tafsir- mereka berani mengeluarkan dana yang sangat besar untuk merubah beberapa teks (hadis ataupun ungkapan para ulama) yang dianggap merugikan kelompok mereka. Kita ambil contoh apa yang diungkapkan oleh Syeikh Muhammad Nuri ad-Dirtsawi, beliau mengatakan: “Merubah dan menghapus hadis-hadis merupakan kebiasaan buruk kelompok Wahabi. Sebagai contoh, Nukman al-Alusi telah merubah tafsir yang ditulis oleh ayahnya, Syeikh Mahmud al-Alusi yang berjudul Ruh al-Ma’ani. Semua pembahasan yang membahayakan kelompok Wahabi telah dihapus. Jika tidak ada perubahan, niscaya tafsir beliau menjadi contoh buat kitab-kitab tafsir lainnya. Contoh lain, dalam kitab al-Mughni karya Ibnu Qodamah al-Hambali, pembahasan tentang istighotsah telah dihapus, karena hal itu mereka anggap sebagai bagian dari perbuatan Syirik. Setelah melakukan perubahan tersebut, baru mereka mencetaknya kembali. Kitab Syarah Shohih Muslim pun (telah dirubah) dengan membuang hadis-hadis yang berkaitan dengan sifat-sifat (Allah), kemudian baru mereka mencetaknya kembali”.[20]

Namun sayang, banyak saudara-saudara dari Ahlusunnah lalai dengan apa yang mereka lakukan selama ini. Perubahan-perubahan semacam itu, terkhusus mereka lakukan pada hadis-hadis yang berkaitan dengan keutamaan keluarga (Ahlul-Bait) Nabi. Padahal, salah satu sisi kesamaan antara Sunni-Syiah adalah pemberian penghormatan khusus terhadap keluarga Nabi. Dari sinilah akhirnya pribadi seperti sayyid Hasan bin Ali as-Saqqaf menyatakan bahwa mereka tergolong kelompok Nashibi (pembenci keluarga Rasul).

Dalam kitab tafsir Jami’ al-Bayan, sewaktu menafsirkan ayat 214 dari surat as-Syu’ara: “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabat-mu yang terdekat”, disitu, Rasulullah mengeluarkan pernyataan berupa satu hadis yang berkaitan dengan permulaan dakwah. Dalam hadis yang tercantum dalam kitab tafsir tersebut disebutkan, Rasul bersabda: “Siapakah diantara kalian yang mau menjadi wazir dan membantuku dalam perkara ini -risalah- maka akan menjadi saudaraku…(kadza…wa…kadza)...”. Padahal, jika kita membuka apa yang tercantum dalam tarikh at-Thabari kata “kadza wa kadza” (yang dalam penulisan buku berbahasa Indonesia, biasa digunakan titik-titik) sebagai ganti dari sabda Rasul yang berbunyi; “Washi (pengganti) dan Khalifah-ku”. Begitu pula hadis-hadis semisal, “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya” yang dulu tercantum dalam kitab Jaami’ al-Ushul karya Ibnu Atsir, kitab Tarikh al-Khulafa’ karya as-Suyuthi dan as-Showa’iq al-Muhriqoh karya Ibnu Hajar yang beliau nukil dari Shohih at-Turmudzi, kini telah mereka hapus. Melakukan peringkasan kitab-kitab standard, juga sebagai salah satu trik mereka untuk tujuan yang sama. Dan masih banyak usaha-usaha licik lain yang mereka lancarkan, demi mempertahankan ajaran mereka, terkhusus ajaran kebencian terhadap keluarga Nabi. Sementara sudah menjadi kesepakatan kaum muslimin, bahwa mencintai keluarga Nabi adalah suatu kewajiban, sebagaimana Syair yang pernah dibawakan oleh imam Syafi’i:
“Jika mencintai keluarga Muhammad adalah Rafidhi (Syiah), maka saksikanlah wahai ats-Tsaqolaan (jin dan manusia) bahwa aku adalah Rofidhi”.[21]

SALAFI (WAHABI) DAN KHAWARIJ

Tidak berlebihan kiranya jika sebagian orang beranggapan bahwa kaum Wahabi (Salafi) memiliki banyak kemiripan dengan kelompok Khawarij. Melihat, dari sejarah yang pernah ada, kelompok Khawarij adalah kelompok yang sangat mirip sepak terjang dan pemikirannya dengan kelompok Wahabi. Oleh karenanya, bisa dikatakan bahwa kelompok Wahabi adalah pengejawantahan kelompok Khawarij di masa sekarang ini. Disini, secara singkat bisa disebutkan beberapa sisi kesamaan antara kelompok Wahabi dengan golongan Khawarij yang dicela melalui lisan suci Rasulullah saw, dimana Rasul memberi julukan golongan sesat itu (Khawarij) dengan sebutan “mariqiin”, yang berarti ‘lepas’ dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya.[22]

Paling tidak ada enam kesamaan antara dua golongan ini yang bisa disebutkan. Pertama, sebagaimana kelompok Khawarij dengan mudah menuduh seorang muslim dengan sebutan kafir, kelompok Wahabi pun sangat mudah menuduh seorang muslim sebagai pelaku syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul. Yang semua itu adalah ‘kata halus’ dari pengkafiran, walaupun dalam beberapa hal memiliki kesamaan dari konsekwensi hukumnya. Abdullah bin Umar dalam mensifati kelompok Khawarij mengatakan: “Mereka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir, lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman”.[23] Ciri-ciri semacam itu juga akan dengan mudah kita dapati pada pengikut kelompok Salafi (Wahabi) berkaitan dengan saudara-saudaranya sesama muslim. Bisa dilihat, betapa mudahnya para rohaniawan Wahabi (muthowi’) menuduh para jamaah haji sebagai pelaku syirik dan bid’ah dalam melakukan amalan yang dianggap tidak sesuai dengan akidah mereka.

Kedua, sebagaimana kelompok Khawarij disifati sebagaimana yang tercantum dalam hadis Nabi: “Mereka membunuh pemeluk Islam, sedang para penyembah berhala mereka biarkan”,[24] maka sejarah telah membuktikan bahwa kelompok Wahabi pun telah melaksanakan prilaku keji semacam itu. Sebagaimana yang pernah dilakukan pada awal penyebaran Wahabisme oleh pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab. Pembantaian berbagai kabilah dari kaum muslimin mereka lakukan dibeberapa tempat, terkhusus diwilayah Hijaz dan Iraq kala itu.

Ketiga, sebagaimana kelompok Khawarij memiliki banyak keyakinan yang aneh dan keluar dari kesepakatan kaum muslimin, seperti keyakinan bahwa pelaku dosa besar dihukumi kafir, kaum Wahabi pun memiliki kekhususan yang sama.

Keempat, seperti kelompok Khawarij memiliki jiwa jumud (kaku), mempersulit diri dan mempersempit luang lingkup pemahaman ajaran agama, maka kaum Wahabi pun mempunyai kendala yang sama.

Kelima, kelompok Khawarij telah keluar dari Islam dikarenakan ajaran-ajaran yang menyimpang, maka Wahabi pun memiliki penyimpangan yang sama. Oleh karenanya, ada satu hadis tentang Khawarij yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya, yang dapat pula diterapkan pada kelompok Wahabi. Rasul bersabda: “Beberapa orang akan muncul dari belahan Bumi sebelah timur. Mereka membaca al-Quran, tetapi (bacaan tadi) tidak melebihi batas temggorokan. Mereka telah keluar dari agama (Islam), sebagaimana terkeluarnya (lepas) anak panah dari busurnya. Tanda-tanda mereka, suka mencukur habis rambut kepala”.[25] Al-Qistholani dalam mensyarahi hadis tadi mengatakan: “Dari belahan bumi sebelah timur” yaitu dari arah timur kota Madinah semisal daerah Najd.[26] Sedang dalam satu hadis disebutkan, dalam menjawab perihal kota an-Najd: “Di sana terdapat berbagai goncangan, dan dari sana pula muncul banyak fitnah”.[27] Atau dalam ungkapan lain yang menyebutkan: “Disana akan muncul qorn setan”. Dalam kamus bahasa Arab, kata qorn berartikan umat, pengikut ajaran seseorang, kaum atau kekuasaan.[28]

Sedang kita tahu, kota Najd adalah tempat lahir dan tinggal Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi, pendiri Wahabi. Kota itu sekaligus sebagai pusat Wahabisme, dan dari situlah pemikiran Wahabisme disebarluaskan kesegala penjuru dunia.
Banyak tanda zahir dari kelompok tersebut. Selain mengenakan celana atau gamis hingga betis, mencukur rambut kepala sedangkan jenggot dibiarkan bergelayutan tidak karuan adalah salah satu syiar dan tanda pengikut kelompok ini.

Keenam, sebagaimana kelompok Khawarij meyakini bahwa “negara muslim” (Daar al-Salam) jika penduduknya banyak melakukan dosa besar, maka dapat dikategorikan “negara zona perang” (Daar al-Harb), kelompok radikal Wahabi pun meyakini hal tersebut. Sekarang ini dapat dilihat, bagaimana kelompok-kelompok radikal Wahabi –seperti al-Qaedah- melakukan aksi teror diberbagai tempat yang tidak jarang kaum muslimin juga sebagai korbannya.

Tulisan ringkas ini mencoba untuk mengetahui tentang apa dan siapa kelompok Salafi (Wahabi). Semoga dengan pengenalan ringkas ini akan menjadi kejelasan akan kelompok yang disebut-sebut sebagai Salafi ini, yang mengaku penghidup kembali ajaran Salaf Saleh. Sehingga kita bisa lebih berhati-hati dan mawas diri terhadap aliran sesat dan menyesatkan yang telah menyimpang dari Islam Muhammadi tersebut.


Penulis: Adalah mahasiswa pasca sarjana Perbandingan Agama dan Mazhab di Universitas Imam Khomaini Qom, Republiks Islam Iran.


Rujukan:
[2] Lisan al-Arab Jil:6 Hal:330
[3] As-Salafiyah Marhalah Zamaniyah Hal:9, karya Dr. M Said Ramadhan Buthi
[4] As-Shohwat al-Islamiyah Hal:25, karya al-Qordhowi
[5] Al-Aqoid as-Salafiyah Hal: 11, karya Ahmad bin Hajar Aali Abu Thomi
[6] Al-Madzahib al-Islamiyah Hal:331, karya Muhammad Abu Zuhrah
[7] Untuk lebih jelasnya, dapat ditelaah lebih lanjut kitab tebal karya penulis Arab al-Ustadz Nasir as-Sa’id tentang sejarah kerajaan Arab Saudi yang diberi judul “Tarikh aali Sa’ud”. Karya ini berulang kali dicetak. Disitu dijelaskan secara detail sejarah kemunculan keluarga Saud di Jazirah Arab hingga zaman kekuasaan raja Fahd. Dalam karya tersebut, as-Said menetapkan bahwa keluarga Saud (pendiri) kerajaan Arab Saudi masih memiliki hubungan darah dan emosional dengan Yahudi Arab.
[8] Selengkapnya silahkan lihat: As-Salafiyah al-Wahabiyah, karya Hasan bin Ali as-Saqqaf, cet: Daar al-Imam an-Nawawi, Amman-Yordania
[9] Al-Milal wa an-Nihal Jil:1 Hal:165, karya as-Syahrastani
[10] Fi ‘Aqo’id al-Islam Hal:155, karya Muhammad bin Abdul Wahab (dalam kumpulan risalah-nya)
[11] Ayat-ayat al-Quran yang bebunyi “afalaa ta’qiluun” (Apakah kalian tidak memakai akal) atau “Afalaa tatafakkarun” (Apakah kalian tidak berpikir) dan semisalnya akan sangat mudah kita dapati dalam al-Quran. Ini semua salah satu bukti konkrit bahwa al-Quran sangat menekankan penggunaan akal dan mengakui keturutsertaan akal dalam memahami kebenaran ajaran agama.
[12] Q S Thoha:5
[13] Al-Washiyah al-Kubra Hal:31 atau Naqdhu al-Mantiq Hal:119 karya Ibnu Taimiyah
[14] Q S as-Syura:11
[15] Al-Milal wa an-Nihal Jil:1 Hal:84
[16] Banyak hal yang terbukti dengan argumen teks yang mencakup ayat, riwayat, ungkapan dan sirah para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in diperbolehkan, namun paea kelompok Salafi (Wahabi) mengharamkannya, seperti masalah; membangun dan memberi cahaya lampu pada kuburan, berdoa disamping makam para kekasih Ilahi (waliyullah), mengambil berkah dari makam kekasih Allah, menyeru atau meminta pertolongan dan syafaat dari para kekasih Allah pasca kematian mereka, bernazar atau sumpah atas nama para kekasih Allah, memperingati dan mengenang kelahiran atau kematian para kekasih Allah, bertawassul, dan melaksanakan tahlil (majlis fatehah)…semua merupakan hal yang diharamkan oleh para kelompok Salafi, padahal banyak ayat dan riwayat, juga prilaku para Salaf yang menunjukkan akan diperbolehkannya hal-hal tadi.
[17] Salah satu bentuk penyimpangan kelompok Wahabi terhadap ajaran imam Ahmad bin Hambal adalah pengingkaran Ibnu Taimiyah terhadap berbagai hadis berkaitan dengan keutamaan keluarga Rasul, yang Imam Ahmad sendiri meyakini keutamaan mereka dengan mencantumkannya dalam kitab musnadnya. Dari situ akhirnya Ibnu Taimiyah bukan hanya mengingkari hadis-hadis tersebut, bahkan melakukan pelecehan terhadap keluarga Rasul, terkhusus Ali bin Abi Thalib. (lihat: Minhaj as-Sunnah Jil:8 Hal:329) Dan terbukti, kekhilafahan Ali sempat “diragukan” oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “Minhaj as-Sunnah” (lihat: Jil:4 Hal:682), dan ia termasuk orang yang menyebarluaskan keraguan itu. Padahal, semua kelompok Ahlusunnah “meyakini” akan kekhilafahan Ali. Lantas, masihkah layak Ibnu Taimiyah beserta pengikutnya mengaku sebagai pengikut Ahlussunnah?
[18] al-Aqidah li al-Imam Ahmad bin Hambal Hal:38
[19] As-Salafiyah baina Ahlusunnah wa al-Imamiyah Hal:680
[20] Rudud ‘ala Syubahaat as-Salafiyah Hal:249
[21] Diwan as-Syafi’i Hal:55
[22] Musnad Ahmad Jil:2 Hal:118
[23] Sohih Bukhari Jil:4 Hal:197
[24] Majmu’ al-Fatawa Jil:13 Hal:32, karya Ibnu Taimiyah
[25] Shahih Bukhari, kitab at-Tauhid Bab:57 Hadis ke-7123
[26] Irsyad as-Saari Jil:15 Hal:626
[27] Musnad Ahmad Jil:2 Hal:81 atau Jil:4 Hal:5
[28] Al-Qomuus Jil:3 Hal:382 kata: Qo-ro-na

Friday, October 06, 2006

Ibnu Arabi dan Wahdatul Wujud

Ibnu Arabi dan Wahdatul Wujud


Kepercayaan Tuhan menjelma di mana-mana atau ‘manunggaling kawula lan gusti’ tak pernah surut. Nabi sendiri tidak pernah memposisikan dirinya lebih dari ‘hamba Tuhan’
Oleh: Dr. Syamsuddin Arif *)
Suatu hari, seorang pengembara mengetuk pintu rumah Junayd, tokoh sufi terkemuka pada zamannya. “Siapa di situ?” tanyanya. Si tamu menjawab: “Aku Sang Kebenaran (ana l-haqq)!” Mendengar itu Junayd berkata: “Anta bi l-Haqq. Engkau bakal membinasakan kayu bakar”. Ramalan Junayd terbukti. Pada hari Selasa 24 Dzulqa’dah 309 Hijriah bertepatan dengan 26 Maret 922 Masehi, sang pengembara yang tidak lain adalah Abu l-Mughits al-Husayn ibn Manshur al-Hallaj dihukum mati di alun-alun kota Baghdad. Ucapan-ucapannya –yang tertuang dalam bentuk prosa maupun puisi- dinilai menyimpang dan mengelirukan karena mengajarkan pantheisme dan manunggaling kawula lan gusti.

Pantheisme ialah kepercayaan bahwa Tuhan menjelma di mana-mana, bahwa segala yang wujud di alam ini adalah perwujudannya. Sedangkan ‘manunggaling kawula lan gusti’ secara literal berarti menyatu hamba dan Tuhan. Ajaran mistis ini pernah menggegerkan Kerajaan Islam Demak sehingga Syekh Siti Jenar (Lemah Abang) dieksekusi oleh para Wali Sanga. Sesudahnya pernah juga heboh kasus Haji Mutamakkin yang menganggap ibadah-ibadah zahir tidak perlu bagi orang yang sudah menyatu dengan Tuhan (Lihat: P.J. Zoetmulder, Pantheïsme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, terj. Dick Hartoko, Jakarta: Gramedia, 1991 dan Subardi, The Book of Cabolek, The Hague: Martinus Nijhoff, 1975).
Kasus-kasus tersebut di atas tidak pernah -untuk tidak mengatakan mustahil- terjadi ketika Nabi SAW masih hidup. Di zaman Rasulullah, kenyelenehan paling jauh yang kita ketahui ialah dakwaan Musailamah si pendusta. Penguasa Yamamah (Najd) dan kepala suku Bani Hanifah ini memang memproklamirkan diri sebagai nabi, namun ia tidak pernah mengaku bersatu (ittihad) dengan Tuhan dan tidak pula mendaku Tuhan masuk, berada atau bersemayam (hulul) dalam dirinya.
Mustahil, sebab Nabi Muhammad SAW sendiri tidak pernah memposisikan dirinya lebih dari sekadar ‘hamba Tuhan’ (‘abdullah) dan utusanNya (rasuluhu). Tidak terdapat satu hadis pun yang mengabarkan pada kita tentang ucapan-ucapan mengarut (syathahat) semisal “Maha suci aku”, “Tuhan ada dalam jubahku” dan sebagainya keluar dari mulut beliau. Rasulullah SAW selalu menggunakan kata ganti orang kedua tunggal (dhamir al-mukhathab al-mufrad) dan kata ganti orang ketiga tunggal (dhamir al-gha’ib al-mufrad) apabila beliau berkata tentang dan kepada Tuhan. Misalnya: “Maha suci Engkau. Tak terhitung pujian bagiMu. Engkau sebagaimana Kau puji diriMu” (subhanak allahumma la nuhshi tsana’an ‘alayka anta kama atsnayta ‘ala nafsika), atau “Maha suci Tuhanku yang maha tinggi” (subhana rabbiya l-a‘la). Semua ini tentu saja sesuai dengan petunjuk Allah SWT dalam firman-Nya (e.g. QS 2:32, 17:1, 21:87, 36:83, 37:180).
Selain al-Hallaj, tokoh sufi favorit yang kerap dikaitkan dengan pantheisme ialah Ibnu Arabi (w. 638 H/ 1240 M). Kepada pemikir kontroversial asal Murcia, Andalusia ini telah disematkan label ‘sufi liberal’ dan ‘pluralis’. Kepadanya jua dinisbatkan doktrin wahdatu l-wujud yang telah menimbulkan polemik tak berkesudahan di kalangan ulama maupun ‘sufaha’ hingga hari ini. (Lihat: al-Biqa‘i, Masra‘ al-Tashawwuf, aw, Tanbih al-Ghabi ila Takfir Ibn ‘Arabi, ed. ‘Abd ar-Rahman al-Wakil (Bilbis: Dar al-Taqwa, 1989) dan al-Suyuthi, Tanbih al-Ghabi fi Takhti’ati Ibn ‘Arabi, ed. ‘Abd ar-Rahman Hasan Mahmud (Kairo: Maktabat al-Adab, 1990). Peliknya, istilah ‘wahdatu l-wujud’ sendiri tidak ditemukan dalam karya-karya Ibnu Arabi. Menurut William Chittick, istilah ini kemungkinan besar pertama kali diperkenalkan oleh Shadruddin al-Qunawi (w. 637 H/1274 M), murid setia sekaligus anak tiri Ibnu Arabi, dan dipopulerkan oleh penulis-penulis sesudahnya semisal Ibn Sab‘in (w. 646 H/1248 M) dan Afifuddin at-Tilimsani (w. 690 H/1291).
Konotasi negatif yang melekat pada istilah wahdatul-wujud kian menguat sesudah dikritik habis oleh Ibnu Taymiyyah (w. 728 H/1328 M). Bagi ulama yang wafat dalam penjara Damaskus ini, wahdatul wujud bukanlah tawhid, melainkan pantheisme terselubung yang mengingkari eksistensi Tuhan karena menganggap Tuhan ada dimana-mana dan menganggap alam semesta (termasuk manusia) sebagai manifestasinya: “ma tsamma mawjud illa hadza l-‘alam al-masyhud”. Inti paham ini, tegasnya, mengidentikkan wujud Tuhan dengan dengan wujud segala yang ada: “anna wujuda l-ka’inat huwa ‘aynu wujudillah” (Lihat: Dar’u t-Ta‘arudh al-‘Aql wa n-Naql, ed. M. Rasyad Salim, Dar al-Kunuz al-Adabiyyah, 3:163 dan Majmu‘at Rasa’il Ibn Taymiyyah, ed. S.M. Rasyid Ridha, Kairo 1349 H, 4:4 dan 1:71).
Dikenal pemberani, jujur dan bernalar tajam, Ibnu Taimiyah tidak asal tuduh. Sebagai bukti ditunjuknya dua bait puisi Ibn Arabi dalam pembukaan kitab al-Futuhat al-Makkiyah (paragraf 6) yang berbunyi: “Tuhan adalah benar-nyata, tetapi hamba juga benar-nyata. Aduhai lantas siapa yang dibebani kewajiban? Jika engkau katakan ‘hamba’, dialah ‘Tuhan’. Tapi jika engkau katakan ‘Tuhan’, mengapa pula dibebani kewajiban?” (Ibn Taymiyyah, op.cit., 1:73). Itu baru satu bukti, belum lagi ungkapan-ungkapan senada yang bertaburan dalam kitab Fushus al-Hikam. Contohnya: “Maha suci Tuhan yang mewujudkan segala sesuatu dan menjadi esensinya (Subhâna man azh-hara al-asy-yâ’a wa huwa ‘aynuhâ)” dan “Sang Kebenaran adalah ciptaan dari perspektif ini maka pahamilah, akan tetapi juga bukan ciptaan dari perspektif itu maka ingatlah!” (Lihat Fushus al-Hikam, ed. A. al-‘Afifi, Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1946, hlm. 79 dan A.E. Afifi, The Mystical Philosophy of Muhyid Din Ibnul Arabi, Cambridge: Cambridge University Press, 1939, hlm. 135).
Golongan yang mengatakan Tuhan ada dimana-mana kerap berdalih dengan dua ayat al-Qur’an. Pertama, dengan ayat 16 surah Qaf: “Sungguh Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”. Banyak ulama tafsir memahami frasa “Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” sebagai pernyataan figuratif metaforis. “Ini merupakan perumpamaan kedekatan (hadza matsal fi farth al-qurb),” tegas Imam al-Biqa‘i (w. 885 H/1480 M) dalam tafsirnya, Nazhmu d-Durar fi Tanasub al-Ayat wa s-Surar. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Imam al-Qurthubi (w. 671 H/1273 M) dalam al-Jami‘ li-Ahkami l-Qur’an.
Sebagian mufassir seperti Imam Ibn Katsir (w. 774 H/1373 M) mengatakan bahwa yang dimaksud adalah kedekatan para malaikat Allah, sesuai dengan konteks ayat sesudahnya yang menyebut malaikat pengawas-pencatat Raqib dan ‘Atid. Walhasil, kedekatan tersebut bukan kedekatan jarak fisikal sebagaimana dikhayalkan oleh penganut manunggaling kawula gusti.
Kedua, dengan ayat 4 surah al-Hadid: “Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘arsy. Dia mengetahui segala yang masuk ke dalam bumi dan segala yang keluar darinya, segala yang turun dari langit dan segala yang naik ke sana, dan Dia beserta kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (Huwa al-ladzi khalaqa as-samawati wa al-ardha fi sittati ayyamin tsumma istawa ‘ala al-‘arsy, ya‘lamu ma yaliju fi al-ardhi wama yakhruju minha wama yanzilu min as-sama’i wama ya‘ruju fiha wa Huwa ma‘akum aynama kuntum wa Allahu bima ta‘maluna bashir). Tidak sedikit orang yang tergelincir ketika menafsirkan ayat ambigu ini.
Penafsiran Ibnu Arabi sendiri terhadap ungkapan yang digarisbawahi di atas dapat kita ikuti dalam kitab al-Futuhat Makkiyyah (bab 272) ketika ia menguraikan isi kandungan ayat 7 surat 58 (al-Mujadalah): “Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada [pembicaraan antara] lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada [pula pembicaraan antara jumlah] yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada beserta mereka di manapun mereka berada (ma yakunu min najwa tsalatsatin illa Huwa rabi‘uhum, wa la khamsatin illa Huwa sadisuhum, wa la adna min dzalika wa la aktsara illa Huwa ma‘ahum aynama kanu).”
Seorang pembaca yang cermat, kata Ibnu Arabi, dapat dengan mudah menangkap bahwa maksud ungkapan “wa la adna min dzalika ” adalah dua orang, sedangkan “wa la aktsara” berarti tujuh orang atau lebih. Ibnu Arabi kemudian mengajukan pertanyaan: Kenapa dalam ayat tersebut dikatakan “jika ada tiga individu maka Allah adalah yang keempatnya, dan jika ada lima maka Allah yang keenam”? Kenapa bukan “jika ada empat maka Dia kelimanya, ataupun jika ada enam maka Dia ketujuhnya”?
Jawabannya, imbuh Ibnu Arabi, adalah karena Allah hendak menegaskan keesaan-Nya (annahu yuridu al-ifrad), bahwa hanya Dialah yang berdiri sendiri, yang wujudNya diperlukan namun tidak memerlukan yang lain. Dalam setiap jumlah tersebut, Allah menjadi penggenap akan tetapi tidak termasuk di dalamnya (yasyfa‘uha [ya‘ni an-najwa] bima laysa minha). Dengan begitu, tambahnya, Allah juga menunjukkan status keberbedaanNya. Artinya, tak seorangpun dapat independen sendiri melainkan wujudnya digenapkan oleh al-Haqq, karena ketunggalan dan keesaan hanya milikNya semata (hatta la takuna al-ahadiyyatu illa lahu). Oleh karena makhluk mustahil dapat menggenapkanNya, tetapi sebaliknya Dia yang menggenapkan makhluk, maka berfirmanlah Dia: wa Huwa ma‘akum aynama kuntum.
Menarik untuk dipertanyakan, lanjut Ibnu Arabi, mengapa bukan sebaliknya. Mengapa Allah tidak mengatakan: wa antum ma‘aHu aynama kana? Jawabannya, karena mustahil bagi makhluk dapat beserta denganNya, walaupun tidak mustahil bagiNya untuk beserta kita (fa-ya‘lamu subhanahu kayfa yash-habuna wa la na‘rifu kayfa nash-habuHu). Singkatnya, tafsir dari surat al-Hadid ayat 4 tersebut di atas menurut Ibnu Arabi ialah: Kebesertaan hanya mungkin bagiNya, tetapi mustahil bagi kita (fa al-ma‘iyyah lahu tsabitah fina, manfiyyah ‘anna fihi). Terlepas dari benar-tidaknya, uraian Ibnu Arabi ini setidaknya menjelaskan pada kita posisinya yang tidak sehaluan dengan ajaran manunggaling kawula lan gusti.
Namun di sinilah tampak jelas ambivalensi Ibnu Arabi. Di satu sisi terkesan menganut pantheisme dan di sisi lain terkesan menolaknya. Sikap mendua ini juga ditangkap oleh Ibnu Taimiyah: “Ibnu Arabi lebih dekat ke Islam dan paling indah kata-katanya … sehingga banyak dikutip orang.” (op.cit. 1:176). Wallahu a‘lam.
*) Penulis peneliti INSISTS, sedang mengadakan penelitian di Johann olfgang Goethe-Universität, Frankfurt am Main , Jerman, untuk PhD keduanya