Wednesday, August 30, 2006

Mitos Holocaust di Sinema Barat

Mitos Holocaust di Sinema Barat

Ketika perang dunia kedua berakhir dengan kekalahan para serdadu Jerman setelah Berlin dikuasai pasukan Rusia dan AS, saat itu Perancis dilanda berbagai problema ekonomi dan sosial. Inggris yang juga menderita kerugian besar akibat perang khususnya terhadap bangunan permukiman dan perindustrian. Oleh sebab itulah, Inggris untuk sementara waktu menyerahkan nasib anak haramnya yaitu Rezim Zionis Israel kepada AS. Kondisi saat itu, sangat ideal bagi AS. Dengan jumlah kerugian dan korban jiwa yang sangat kecil dibandingkan dengan negara-negara Eropa lainnya, AS dan Rusia merupakan pemenang mutlak Perang Dunia Kedua. Setelah itu, muncul undang-undang baru di negara-negara Barat yang akan menghukum berat warga yang meragukan keotentikan mitos Holocaust.
Holocaust diambil dari bahasa Inggris yang artinya pembunuhan massal. Namun, Holocaust sudah menjadi sebutan untuk peristiwa pembantaian enam juta orang Yahudi oleh pasukan Nazi pada Perang Dunia Kedua. Holocaust juga dijadikan senjata bagi para pemikir Zionis untuk menodong ganti rugi dari negara-negara seperti Jerman dan Austria dengan alasan sebagai korban perang. Hingga kini ratusan buku sudah dicetak, ribuan film, drama, dan serial televisi yang sudah dipentaskan. Sejak puluhan tahun lalu, mitos Holocaust dijadikan sebagai alasan untuk menjustifikasi kejahatan yang dilakukan AS dan Eropa di negara-negara dunia ketiga khususnya negara Islam.
Di dunia sinema, Holocaust ditayangkan dalam tiga model: film Holocaust pertama ditayangkan dalam kemasan berita. Film-film itu menggambarkan penderitaan dan kerja paksa para tahanan di kamp Nazi. Dalam film itu diperlihatkan jenazah-jenazah tahanan yang mati karena kelaparan. Di bagian lain, diperlihatkan pula kereta-kereta yang dijejali orang-orang dengan wajah kelaparan. Tujuan utama penayangan film-film tersebut tak lain bertujuan menunjukkan kepada masyarakat internasional tentang penderitaan, ketertindasan, dan aksi pembataian yang menimpa kaum Yahudi.
Propaganda Holocaust di media massa Barat ini, sangat beperan penting dalam proses pembentukan Rezim Zionis Israel di bumi Palestina. Pemerintah Jerman juga harus membayar ganti rugi kepada kaum Yahudi akibat propaganda Holocaust. Setelah sukses di dunia berita, Holocaust mulai merambah ke dunia sinema. Pada tahap awal, dibuat dalam format film-film dokumentasi yang melibatkan para tentara yang bertugas di lokasi atau para saksi hidup PD II yang semuanya mengemukakan masalah Holocaust meski tak secara eksplisit. Dan dalm film-film tersebut perlu digaris-bawahi bahwa AS selalu beperan sebagai penyelamat kaum Yahudi.
Akhir dekade 40-an, Hollywood memproduksi film-film bernuansa Holocaust baik bertemakan peperangan atau tidak. Film pertama yang menganggkat isu anti-Semitisme, berjudul Crossfire produksi tahun 1947. Film ini menceritakan kasus pembunuhan seorang Yahudi di sebuah hotel kota New York. Robert Young, pemeran utama dan berlakon sebagai detektif dalam film ini tidak punya bukti apapun. Ia hanya mencurigai tiga tentara. Di akhir film terbukti bahwa pembunuhan itu terjadi secara tidak sengaja. Yang menarik dalam naskah asli film, sama tidak disinggung agama korban, namun sutradara menekankan bahwa korban beragama Yahudi. Film Crossfire mengawali lahirnya film dari berbagai genre yang bernuansa ketertindasan kaum Yahudi.
Film yang kontroversial lainnya produksi tahun 1947 adalah Gentleman’s Agreement, yang disutradarai Elia Kazan. Film ini menceritakan upaya seorang jurnalis sebuah majalah yang diperani Geogry Peck, dalam mengungkap akar anti-Semitisme. Namun ia menemui banyak kesulitan dalam hal ini. Singkat cerita, di akhir film itu, anti-Semitisme disetarakan dengan anti-AS. Film Gentleman’s Agreement mungkin terlampau sensitif dan kuno, namun film ini penting diperhatikan dalam menulusuri perjalanan mitos Holocaust di dunia sinema Barat. Pada tahun 1952 Elia Kazan berada di puncak ketenarannya setelah ia mengungkap sekelompok artis dan seniman yang dituding menganut aliran marksisme. Tak heran jika setelah peristiwa itu, Elia Kazan banyak mendapat dukungan dari para pemodal yang mendukung Zionisme. Pada masa-masa itu pula, masalah pengungsi Perang Dunia Kedua dan kepulangan mereka ke negara masing-masing juga marak digunjing. Masalah ini menjadi salah satu slogan orang-orang Zionis di dunia Sinema. Filem berjudul The Search karya sutradara Fred Zinnemann, produksi tahun 1948, mengekspos nasib anak yatim dan para pengungsi Perang Dunia Kedua. Dalam film itu, ditunjukkan seorang anak kecil Yahudi asal Chekoslovakia yang tak mau berbicara. Disampingnya juga ada anak-anak lainnya yang perlahan-lahan menyadari bahwa kedua orang tua mereka telah meninggal. Di bagian akhir film, anak-anak kecil dan remaja Yahudi dibawa ke Palestina yang disebut-sebut dengan ‘Tanah yang Dijanjikan’ seraya menyanyikan lagu berbahasa Ibrani.
Pada dekade 50-an arus Zionisme di sinema semakin meluas hingga ke masalah budaya. Salah satunya adalah dengan mengemukakan sejarah dan budaya kuno Yahudi dan pemahaman distorsif dari cerita-cerita dalam kitab suci serta mengaitkannya dengan peristiwa saat itu. Banyak film historis-religius ynag diproduksi pada era 50-an yang seluruhnya sarat harapan terbentuknya negara baru kaum Yahudi di bumi Palestina. Salah satunya adalah film berjudul Samson and Delilah, produksi 1949 karya sutradara Yahudi bernama Cecil B. DeMille. Film itu dimulai dengan pendahuluan tentang pembebasan jiwa. Samson atau Shamoun adalah salah satu ketua qabilah bani Israel yang diberikan kekuatan luar biasa oleh Tuhan. Ia ingin menikahi seorang perempuan Palestina. Namun ia tertipu dan diperlakukan semena-mena oleh musuh hingga buta. Di akhir cerita ia berhasil mengembalikan seluruh kekuatannya dan bangkit memberantas kezaliman.
Pembuatan film ini menelan biaya sekitar tiga juta dolar. Ketika ditanya mengenai kecocokan cerita film ini dengan fakta historis Zionis, Cecil menjawab: “Saya berharap melalui film ini, saya dapat membangkitkan kembali kekuatan dan keyakinan kaum Yahudi yang menjelma pada diri Samson dan dapat meruntuhkan pemerintahan Palestina. Pembentukan negara Israel pasca runtuhnya Rezim Nazi Jerman, sangat berkaitan erat dengan film ini.”

Mitos Holocaust di Sinema Barat
Pada bagian lalu, telah kita bahas bersama tahap awal masuknya Holocaust di dunia sinema Barat. Masalah ini bermula sejak sejumlah pemodal dan produsen filem sinema berpendapat bahwa, pada abad 20 sinema merupakan sarana terbaik untuk mempropagandakan rasisme dan ekstrimisme mereka. Topik filmnya pun selalu berkaitan dengan Perang Dunia Kedua guna membangkitkan gelombang Zionisme. Mereka juga berupaya mengaitkan Zionisme itu dengan agama Yahudi dan jika ada pihak yang menentang Zionisme, akan dicap anti-Semitisme.
Namun, proses ini mengalami perubahan secara gradual. Para produsen filem tidak terlalu memperhatikan agama Yahudi dan lebih menekankan pada propaganda Zionisme. Hal itu dimaksudkan untuk menyebar makna Holocaust di benak opini umum. Pada bagian ini, kita akan menyimak aktivitas para produsen filem dalam hal ini.
Mengada-adakan mitos dan pemalsuan fakta historis merupakan salah satu trik seluruh kekuatan imperialis untuk tetap eksis di muka bumi. Holocaust merupakan yang paling heboh untuk jenis penipuan sejarah di bidang mitos. Sejak era 60 hingga 70-an, banyak filem diproduksi dengan topik cerita Perang Dunia Kedua dan pembantaian orang-orang Yahudi. Misalnya filem berjudul The Diary of Anne Frank, produksi tahun 1959 karya sutradara George Stevens dan putranya, Exodus produksi tahun 1960 karya sutradara Otto Preminger, Night and Fog produksi tahun 1955 karyat sutradara Alain Resnais, dan Judgement at Nuremberg produksi tahun 1961 karya sutradara Stanley Kramer. Pembuatan filem-filem tersebut dilakukan di Italia, Perancis, Polandia, hongaria, Romania, dan Chekoslovakia. Pemeran utamanya pun adalah para artis Yahudi. Namun setelah tahun 1962, para peminat sinema disuguhi filem-filem bertemakan Holocaust yang dikemas dengan sangat cerdik. Artinya, Holocaust tak lagi menjadi topik utama filem melainkan lapisan kedua yang disisipkan di dalamnya.
Sejak era 70-an, para politisi Zionis seperti Menakhim Begin, memanfaatkan isu Holocaust untuk menjustifikasi berbagai tindak kejahatan Israel termasuk aksi bombardir terhadap Lebanon pada tahun 1982. Dengan demikian, propaganda Holocaust di dunia sinema memasuki tahap baru. Saat ini, tentu kita mengenal sutradara zionis kesohor bernama Steven Spielberg dengan karyanya yang paling kontroversialnya Schindler’s List produksi tahun 1993. Spielberg yang terjun ke dunia sinema sejak tahun 1971, dalam karyanya itu menghidupkan kembali nostalgia perfileman Holocaust pada era 50 hingga 70-an.
Adegan filem Schindler’s List diawali dengan cahaya sebuah lilin yang menerangi acara doa orang-orang Yahudi. Schindler adalah seorang pengusaha Austria berhati dingin dan hanya mengambil keuntungan dari membantu orang-orang Yahudi dari penyiksaan dan maut. Ia adalah anggota Partai Nasional Sosialis Jerman yang siap melakukan apa saja demi kepentingan ekonominya. Di bagian akhir filem karakter Schindler berubah menjadi malaikat penyelamat orang-orang Yahudi dan ia sudah tak lagi memikirkan profit yang dikantonginya. Adegan filem ditutup dengan barisan panjang orang-orang Yahudi di Israel yang memperingati kepahlawanan Schindler di makamnya di Isarel.
Dukungan adan apresiasi dari kelompok Zionis AS kepada Spielberg tidak hanya terbatas pada penghadiahan tujuh piala Oscar saja, melainkan hingga bantuan finansial. Misalnya, Chase Manhattan Bank bersedia memberikan pinjaman lunak sebesar 3 milyar dolar kepada perusahaan milik Spielberg. Tak lama kemudian, tepatnya tahun 1995, komunitas zionis AS merilis pernyataan yang berisi imbauan kepada seluruh perusahaan Yahudi untuk mendukung Spielberg secara spirit maupun finansial, dalam usahanya merealisasikan tujuan kaum Yahudi. Besarnya dukungan yang diperoleh Spielberg, membuatnya dinobatkan sebagai seniman Hollywood terkaya masa itu.
Setelah Schindler’s List meraih kesuksesan besar, para tokoh zionis berniat membentuk Dewan Tinggi Sinema yang tugasnya memproduksi filem-filem propaganda zionis. Komisi itu diketuai langsung oleh mantan Presiden Israel saat itu, Ezer Weizman. Anggotanya adalah PM Isarel, sejumlah pejabat tinggi Mossad, para pemilik saham perusahaan Cannon dan ATV dan Spielberg. Komisi ini akan menentukan artis Hollywood yang diperbolehkan ikut serta dalam festival sinema apapun. Komisi itu juga akan mencegah keikutsertaan para artis penentang kebijakan Israel dalam festival monumental sinema apapun. Banyak artis yang menjadi korban kesewenang-wenangan komisi ini, termasuk di antaranya Kevin Costner, Alain Delon, Jean Paul Belmondo, Marlon Brando, dan Isabelle Adjani.
Film berjudul The Pianist produksi tahun 2002 karya sutradara Roman Polanski, merupakan lanjutan dari propaganda Holocaust di Hollywood. Film ini menceritakan nasib seorang pianis Yahudi yang bekerja di radio Warsawa, Polandia. Kehidupan sehari-harinya kacau setelah Perang Dunia Kedua meletus di Eropa. Pedihnya penghinaan dan penistaan ia rasakan hanya karena beragama Yahudi dan ia pun dikirim oleh pasukan Nazi ke kamp Ghetto. Ia dan orang-orang Yahudi lainnya berada di kamp tersebut selama beberapa tahun. Berulang-kali ia mencoba melarikan diri tapi selalu terlacak dan dijebloskan kembali ke kamp Ghetto. Akhirnya ia berhasil kabur dari kamp Nazi itu dan bersembunyi di puing-puing gedung untuk waktu yang cukup lama hingga pasukan sekutu datang menyematkannya.
Berbeda dengan fakta yang sebenarnya, dalam filem itu tak satupun warga Polandia yang tewas akibat perang. Parahnya lagi, orang-orang Yahudi AS ditampilkan sebagai dewa penyelamat. Padahal pada era perang, AS menutup seluruh perbatasannya bagi para imigran dari Eropa timur. Mereka dibiarkan mati kelaparan atau harus pergi menuju Palestina. Poin menarik dalam filem The Pianist adalah pihak gereja dituduh bersekongkol dengan kelompok Fasis.
Lebih mundur lagi, kita akan menemukan filem bertemakan Holocaust lainnya yaitu berjudul Life is Beautiful produksi tahun 1998 karya sutradara Roberto Benigni. Pemeran utama dalam filem ini bernama Guido, warga Yahudi Italia yang pergi dari desa tempat kelahirannya menuju kota dan disana pula ia menikah. Saat Perang Dunia Kedua meletus, Guido dan putranya Giosue ditangkap dan dijebloskan ke kamp konsentrasi hanya karena beragama Yahudi. Sementara Istrinya, Dora, tak ditangkap karena bukan Yahudi. Namun Dora secara sukarela masuk ke kamp konsentrasi itu karena ingin bersama dengan suami dan putranya. Tak lama berada di kamp, Guido dieksekusi karena berusaha membebaskan putranya. Setelah Guido dieksekusi, tentara AS tiba dan menyelamatkan para tahanan termasuk Giosue, putra Guido.
Sutradara filim ini, Roberto Benigni, membawa pulang tiga piala Oscar dan piala festival film Cannes. Film Life is Beautiful memang tergolong kontroversial karena ternyata jangkauan pengaruh para produsen film zionis sudah menjamah Italia. Filem Life is Beautiful, The Pianist, dan Schindler’s list, merupakan bagian dari upaya kelompok Zionis untuk menciptakan sejarah ketertindasan kaum Yahudi. Itu semua bertujuan menjustifikasi kejahatan terbesar yang dilakukan orang-orang Zionis dalam membentuk pemerintahan ilegal di bumi Palestina. Melalui sinema, Israel berusaha meyakinkan opini internasional tentang legalitas eksistensi negara Zionis di Palestina.
From : http://www.irib.ir/worldservice/melayuRADIO/islamalogi/kosmologi.htm)

No comments: