Wednesday, November 22, 2006

PENELITIAN DEPAG SOAL LIBERALISME


“Hasil Penelitian Depag tentang Faham Liberal Keagamaan”


Senin, 20 November 2006
Menyedihkan hasil penelitian Depag terbaru tentang pluralisme agama. Al-Quran, katanya "produk budaya". Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-170

Oleh: Adian Husaini
Departemen Agama, melalui Badan Litbang dan Diklatnya, telah melakukan penelitian tentang ‘Faham-faham keagamaan liberal pada masyarakat perkotaan’. Hasil penelitian itu dipresentasikan pada 15 November 2006 di Jakarta, di hadapan sejumlah peneliti, perwakilan berbagai ormas keagamaan, dan lembaga swadaya masyarakat. Penelitian dilakukan di sejumlah kota besar: Jakarta, Medan, Yogyakarta, Bandung, Makassar, dan Surabaya. Untuk kalangan Kristen, dilakukan penelitian di Nusa Tenggara Timur dan Menado, dan untuk kasus Hindu dilakukan penelitian di Denpasar Bali.
Ketika melakukan penelitian perkembangan paham keagamaan liberal di lingkungan masyarakat Muslim, para peneliti Depag menfokuskan penelitiannya di seputar lingkungan UIN/IAIN. Di Medan, misalnya, penelitian dilakukan dengan melakukan wawancara dengan sejumlah dosen IAIN Sumatera Utara. Ada sejumlah masalah yang dijadikan indikator dalam penelitian, seperti (1) masalah hubungan antara agama dengan negara, (2) masalah Pluralisme Agama, (3) masalah hak beragama, (4) kebebasan berpikir (berijtihad), (5) perkawinan beda agama dan masalah poligami, (6) masalah kebenaran, (7) Hak asasi manusia (8) masalah jender, (9) masalah demokrasi.
Ditulis dalam hasil penelitian ini: “Mengenai masalah pluralisme, mereka tidak sependapat dengan MUI sebab kalau semua agama itu sama, berarti bukan plural lagi. Plural itu artinya banyak, paham yang mengakui adanya perbedaan dalam kelompok dan masyarakat. Dengan mengembangkan paham pluralisme, menjadikan pandangan keagamaan seseorang tidak ekstrem, longgar tetapi tidak sampai menganggu keimanannya, kepanatikan berkurang dan menghargai orang lain. Memang implikasi sikap pluralisme tersebut bisa membuat iman seseorang berkurang. Untuk itu dalam mengajarkan ajaran agama untuk tingkat TK/SD ditanamkan emosi dan rasa keagamaan. Untuk tingkat SMA diajarkan tentang kemajemukan, sehingga mereka menghargai antara faham yang satu dengan faham yang lain. Menurut Amiur Nuruddin, pluralisme agama berarti semua agama mempunyai dasar dan keyakinan yang dianut oleh masing-masing penganut, dan kita menghargai masing-masing agama untuk mengembangkan ajaran agama masing-masing, jadi pluralisme tidak menganggap semua agama sama. Dalam Islam harus menerima keragaman paham keagamaan secara internal dan tidak boleh mamaksakan suatu faham kepada kelompok lain. Kalau hal ini dikembangkan akan terjadi konflik horisontal diantara umat Islam. Maka Pak Amiur tidak setuju terhadap tindakan suatu kelompok yang mengeksekusi terhadap kelompok yang dianggap sempalan.”
Itulah hasil penelitian Departemen Agama terhadap persepsi sejumlah dosen IAIN Sumatera Utara terhadap paham Pluralisme Agama. Yang disebut Pak Amiur Nuruddin adalah Dekan Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara. Tampak dalam penelitian itu, bahwa Dekan Fakultas Syariah itu setuju dengan paham Pluralisme Agama, dan tidak memahami masalah paham Pluralisme Agama, sebagaimana dibahas dalam studi agama-agama di dunia saat ini. Dia mendefinisikan Pluralisme Agama sebagai “paham yang mengakui adanya perbedaan dalam kelompok dan masyarakat.”
Sehingga dengan mengembangkan paham pluralisme, menjadikan pandangan keagamaan seseorang tidak ekstrem, longgar tetapi tidak sampai menganggu keimanannya, kepanatikan berkurang dan menghargai orang lain.
Kesimpulan ini sangat aneh. Pluralisme Agama, sebagaimana didefinisikan dan biasa dikaji dalam studi agama-agama, bukanlah paham yang seperti itu. Dalam fatwa MUI pun sudah ditegaskan, bahwa Islam mengakui dan menghormati perbedaan. Hanya saja, itu disebut sebagai ‘pluralitas’.
Tetapi, dalam Pluralisme Agama, -- sebagaimana sering kita bahas dalam Catatan ini – agama-agama memang dipandang sama-sama sah sebagai jalan menuju Tuhan yang sama. Dalam bahasa Nurcholish Madjid, agama-agama adalah ibarat jari-jari roda yang menuju kepada pusat roda (tuhan) yang sama. Dalam bahasa Huston Smith dan Seyyed Hossen Nasr, agama-agama diibaratkan sebagai jalan yang berbeda-beda menuju ke puncak (tuhan) yang sama.
Jadi, MUI tidak salah ketika mendefinisikan bahwa Pluralisme Agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
Karena itu, kita patut merasa heran dengan pandangan Dekan Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara itu tentang paham Pluralisme Agama, sebagaimana diungkap dalam hasil penelitian Depag tersebut. Ditambah lagi, redaksi yang digunakan pun bertentangan satu dengan lainnya. Pada satu kalimat dikatakan, bahwa dengan mengembangkan paham Pluralisme, maka tidak sampai mengganggu keimanannya. Tetapi pada kalimat berikutnya ditulis, bahwa implikasi sikap pluralisme tersebut bisa membuat iman seseorang berkurang.
Masalah Pluralisme Agama merupakan tantangan sangat serius bagi agama-agama yang ada, sehingga para tokoh agama dan cendekiawan agama-agama, baik dari kalangan Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan sebagainya, telah melakukan kajian yang serius tentang masalah ini.
Karena itu, kita sangat amat layak untuk bersedih hati menyimak pendapat seorang profesor doktor dari IAIN Sumatera Utara yang juga Dekan Fakultas Syariah itu tentang paham Pluralisme Agama.
Hasil penelitian di Kota Medan ini ditutup dengan rekomendasi peneliti Depag tersebut: “untuk kelompok yang mengembangkan pemikiran baru di Kota Medan ini alangkah baiknya kalau membentuk semacam lembaga, seperti JIL di Jakarta, LKIs di Yogyakarta, atau Paramadina, sehingga bisa disusun agenda diskusi, sehingga nantinya dapat menghasilkan produk pemikiran yang terdokumentasikan, sehingga bisa juga dinikmati orang lain. Kepada MUI agar berhati-hati mengeluarkan statemennya, agar tidak mematikan semangat berpikir yang tumbuh di kalangan generasi muda, yang sedang mekar-mekarnya.”
Berdasarkan rekomendasi penelitian di Kota Medan itu, kita memahami, bahwa si peneliti Depag itu sudah memiliki kerangka pikir liberal dan menganjurkan agar di Kota Medan juga dibentuk lembaga penyebar paham keagamaan liberal. Tentu saja, ini PR berat bagi Menteri Agama saat ini yang dikenal cukup kritis terhadap paham-paham liberalisme keagamaan.
Bahwa diantara anak buahnya, justru menganjurkan disebarkannya paham liberal. Bagi umat Islam, tentu ini musibah dan tantangan besar.
Kita lanjutkan menelaah hasil penelitian di Kota Yogyakarta, yang diberi judul “Faham Islam Liberal Masyarakat Kota Yogyakarta”. Menjelaskan sejumlah faham liberal, diantaranya tentang “Memaknai teks al-Quran dan al-Hadits secara liberal dengan mengutamakan semangat religio etik”, penelitian ini mencatat:
“Al-Quran bukan lagi dianggap sebagai wahyu suci dari Allah SWT kepada Muhammad saw, melainkan merupakan produk budaya (muntaj tsaqafi) sebagaimana yang digulirkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid. Metode tafsir yang digunakan adalah hermeneutika, karena metode tafsir konvensional dianggap sudah tidak sesuai dengan zaman. Amin Abdullah mengatakan bahwa sebagian tafsir dan ilmu penafsiran yang diwarisi umat Islam selama ini dianggap telah melenggengkan status quo dan kemerosotan umat Islam secara moral, politik, dan budaya. Hermeneutika kini sudah menjadi kurikulum resmi di UIN/IAIN/STAIN seluruh Indonesia. Bahkan oleh perguruan tinggi Islam dinusantara ini hermeneutika makin digemari. Terhadap Al-Hadits tetap harus ada kritik terhadap perawi-perawi hadits, kritik terhadap hadits-hadits mutawatir, bahkan terhadap ideologi Islam. Menurut Zuly Qadir bahwa yang menjadi salah satu kunci dari penafsiran agama adalah tidak ada tafsir dan pemahaman absolut terhadap agama. Dalam menyikapi perbedaan, Islam Liberal tidak menjustifikasi benar atau salah.”
Membaca kutipan hasil penelitian itu, kita bisa melihat, bagaimana parahnya cara berpikir kaum liberal yang berkutat di sekitar UIN Yogya tersebut. Mereka tidak lagi menganggap Al-Quran sebagai wahyu suci. Mereka sudah menggeser ilmu tafsir dan mengganti dengan hermeneutika yang ujung-ujungnya menghasilkan pemahaman relativisme tafsir. Mereka juga tidak menentukan sikap terhadap yang benar dan yang salah.
Jika kita membaca pandangan mereka, berdasarkan hasil penelitian ini, maka sungguh kita amat sangat patut khawatir terhadap anak-anak kita yang sekarang sedang menuntut ilmu di Yogyakarta dan dicekoki dengan paham-paham yang menggerus keyakinan Islam secara sistematis tersebut. Sampai-sampai antara yang benar dan yang salah pun sudah tidak bisa membedakan lagi.
Padahal, sebagai Muslim, kita diwajibkan menjalankan amar ma’ruf nahi munkar: memperjuangkan yang benar dan melawan kemunkaran. Jika seorang yang masih mengaku Muslim tetapi sudah tidak mengakui kesucian Al-Quran, tidak mengakui kebenaran hadits mutawatir, tidak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah, lalu, apa lagi yang tersisa dari sebuah makna keislaman?
Tentang masalah ‘kebebasan beragama’ dilaporkan dalam penelitian ini bahwa Islam Liberal berpendapat: “Semua agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama, memiliki tujuan dan mengabdi pada Tuhan yang sama, dan kebenaran itu ada pada semua agama... Mengklaim agama sendiri paling benar akan menempatkan seseorang pada sikap eksklusif partikular dan hanya akan menimbulkan disharmoni antar umat beragama.”
Juga ditulis dalam laporan ini, bahwa dalam masalah theologi, Islam Liberal berpendapat : ‘’Tuhan apapun yang disembah oleh umat, tidak menjadi masalah. Di sisi lain Tuhan tidak berhak menghukum manusia karena tidak menyembahnya (atheis), karena hal ini bukan wewenang Tuhan untuk mengatur manusia, karena sudah masuk dalam ruang privat.”
Dalam masalah ritual ditulis: “Manusia meyakini akan kebenaran adanya Tuhan. Karena kebenaran berada bukan pada satu keyakinan dan agama, maka cara untuk “menyapa” dan mendekatkan diri pada Tuhan juga mengalami keberagaman. Umat Islam memiliki ritual sendiri. Demikian pula Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan agama-agama lainnya. Yang terpenting adalah bahwa semua agama sama dan tujuan peribadatan agama-agama itu adalah satu tujuan, Tuhan Yang Satu.”
Tentang nikah beda agama, dicatat dalam penelitian ini: “Larangan nikah beda agama menurut Islam Liberal dipandang sudah tidak relevan lagi, karena sesuai dengan tuntunan Al-Quran bahwa Al-Quran mnganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama.”
Salah satu kesimpulan dari penelitian di Yogya ini menyatakan:
‘’Arus perkembangan pemikiran Islam Liberal di Kota Yogyakarta bermula dari Kampus IAIN Sunan Kalijaga (kini UIN Sunan Kalijaga) pada dekade tahun 1980-an oleh para dosen dan akademisi kampus melalui kajian-kajian keislaman yang diikuti oleh para mahasiswa. Materi hermeneutika dan pemikiran orientalis barat sudah menjadi kajian resmi di UIN Sunan Kalijaga. Hermeneutika dianggap sebagai sebuah kebenaran yang harus disampaikan kepada umat.’’
Itulah beberapa contoh hasil penelitian Departemen Agama tentang faham liberal keagamaan di Yogyakarta. Membaca paham yang dikembangkan oleh mereka yang berpaham liberal tersebut, kita berharap, semoga kita tidak termasuk bagian dari mereka. Mudah-mudahan umat Islam diselamatkan dari fitnah yang disebarkan oleh mereka. Sebab, tentulah musibah besar, jika dari kampus yang berlabel Islam dan bernaung di bawah Departemen Agama justru lahir dan disebarkan paham-paham yang secara jelas sangat destruktif terhadap aqidah dan syariat Islam.
Jika ada yang menyatakan semua agama sama, semua manusia boleh menyembah tuhan apa saja, boleh melakukan ritual dengan cara apa saja, maka apa yang masih bisa kita komentari dari pernyataan yang amat sangat bodoh dan keterlaluan dalam melecehkan Allah itu ? Untuk menghadap kepala sekolah saja ada aturannya. Untuk menemui George Bush pun ada aturannya. Lalu, kaum Liberal mengatakan, untuk menghadap Allah boleh dan sah dengan menggunakan cara apa saja! Bukankah ini sangat keterlaluan?
Tapi itulah mereka. Kita tentu tidak setuju dengan pendapat itu. Kita meyakini, Allah telah mengutus utusan-Nya yang terakhir, yaitu Nabi Muhammad saw, untuk menjelaskan kepada kita, siapa Allah sebenarnya, sifat-sifat dan nama-Nya, dan juga bagaimana cara kita menyembah Allah SWT dengan benar.
Maka, jika seseorang tidak mengimani kenabian Muhammad saw, sangatlah mustahil dia dapat mengenal dan menyembah Allah dengan benar. Karena itulah, syahadat adalah rukun islam yang pertama dan pintu gerbang untuk masuk Islam.
Maka, membaca hasil penelitian Depag ini, kita semakin jelas melihat, di mana sebenarnya posisi Islam Liberal! Tentu kita berharap, Depag akan sangat serius menangani masalah ini. Apalagi, jika gagasan itu disebarkan oleh lembaga atau pegawai-pegawai yang ada di bawah naungannya. Wallahu a’lam. [Depok, 17 November 2006/www.hidayatullah.com].
Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

No comments: