Wednesday, September 27, 2006

Ibnu Arabi dan Pluralisme

Ibnu Arabi dan Pluralisme
Beberapa kalangan mengutip dan mencatut nama Ibnu Arabi. Sayangnya, mereka kemudian memanipulasi pendapatnya, untuk digunakan merusak aqidah Islam


Oleh: Dr Syamsuddin Arif *)


Di bulan suci Ramadhan ini, sebuah perkumpulan di bilangan Utan Kayu, Jakarta menggelar kajian pemikiran Ibnu Arabi (w. 638 H/ 1240 M). Tokoh asal Andalusia, Spanyol, yang bernama lengkap Muhyiddin Abu Abdillah Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Abdillah al-Hatimi at-Tha’i ini sengaja dipilih karena -menurut mereka- ia merupakan sosok “sufi liberal”.

Memang, sejak beberapa dasawarsa terakhir, tokoh yang telah menulis lebih dari 400 karya ini oleh sebagian kalangan acapkali diklaim sebagai pelopor paham pluralisme agama. Namanya dicatut dan dijadikan bemper untuk membenarkan konsep ‘agama perennial’ atau religio perennis yang dipopulerkan oleh Frithjof Schuon, Seyyed Hossein Nasr dan William C. Chittick dalam tulisan-tulisan mereka.

Sebagai dalih dikutiplah tiga bait puisi Ibn Arabi yang berbunyi:


“Hatiku telah mampu menerima aneka bentuk dan rupa;

ia merupakan padang rumput bagi menjangan,

biara bagi para rahib, kuil anjungan berhala,

ka‘bah tempat orang bertawaf,

batu tulis untuk Taurat,

dan mushaf bagi al-Qur’an.

Agamaku adalah agama cinta, yang senantiasa kuikuti kemana pun langkahnya;

itulah agama dan keimananku:”


Berdasarkan puisi ini, Nasr mendakwa Ibn Arabi konon “menyadari bahwa jalan-jalan yang diturunkan Tuhan mengantarkan ke satu puncak yang sama (came to realize that the divinely revealed paths lead to the same summit).”

Meski sekilas tampak meyakinkan, pemaparan golongan ini jika dikaji lebih teliti sebenarnya jauh panggang daripada api. Ibn Arabi bukanlah seorang pluralis atau transendentalis sebagaimana mereka khayalkan. Maksud ungkapannya itu telah ia jelaskan dalam kitab yang ditulisnya sendiri: Dzakha’ir al-A‘laq syarh Tarjuman al-Asywaq. Di sana jelas dikatakan bahwa ‘agama cinta’ yang ia maksud ialah agama Nabi Muhammad SAW, merujuk kepada firman Allah SWT dalam al-Quran, surah Al Imran, ayat 31, yang artinya: “Katakanlah [hai Muhammad!], kalau kalian betul-betul mencintai Allah, maka ikutilah aku! --niscaya Allah akan mencintai kalian.” (Lihat: kitab Dzakha’ir al-A‘laq syarh Tarjuman al-Asywaq, ed. Muhammad Salim al-Unsi (Beirut, 1312 H), hlm. 39-40 = ed. Dr. Muhammad ‘Alamuddin as-Syaqiri (Kairo: Ein for Human and Social Studies, 1995), hlm. 245-6)

Pengertian cinta dalam ayat tersebut juga diterangkannya dalam kitab al-Futuhat al-Makkiyyah (bab 178, fi maqam al-mahabbah), dimana ia mengurai empat jenis cinta. Yaitu pertama, cinta kepada Tuhan (hubb ilahi). Kedua, cinta spiritual (hubb ruhani). Ketiga, cinta kodrati (hubb thabi‘i). Dan keempat, cinta material (hubb ‘unshuri). Setelah menjelaskannya satu persatu, Ibn Arabi lantas menegaskan bahwa cinta kepada Tuhan harus dibuktikan dengan mengikuti syari‘at dan sunnah Rasul-Nya saw (al-ittibā‘ li-rasulihi shallallahu ‛alayhi wa sallam fima syara‘a).

Jadi, ‘agama cinta’ yang dimaksud Ibn Arabi adalah Islam, yaitu agama syari‘at dan sunnah Nabi Muhammad saw, dan bukan la religion du coeur versi Schuon dan para pengikutnya itu.

Selain bait puisi di atas, kaum transendentalis juga giat mencari pernyataan-pernyataan Ibn Arabi yang dapat diplintir sesuka-hati. Ini biasanya disertai dengan interpretasi yang bersifat rekaan. Lebih teruk lagi, dan ini yang perlu cermati, adalah praktek menggunting dan membuang bagian dari teks asli yang tidak mendukung asumsi mereka.

Sebagai contoh, mari kita lihat buku Chittick yang berjudul Imaginal Worlds: Ibn Arabi and the Problem of Religious Diversity (1994). Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul: Dunia Imajinal Ibn Arabi: Kreativitas Imajinasi dan Persoalan Diversitas Agama. Sayang, penerjemahnya tidak memberikan kritik terhadap Chittick, tetapi justru memberi kata pengantar berjudul “Titik Temu Agama dalam Realitas Ketuhanan,” yang isinya mengesankan seolah-olah Ibn Arabi memang menganut ide “kesatuan agama”.

Buku Chittick ini sangat perlu dikritisi. Sebagai contoh, ketika ia mengutip sebuah paragraf dari Futuhat (bab 339) yang mengungkap pendapat Ibn Arabi mengenai status agama-agama lain dalam hubungannya dengan Islam, Chittick tidak memuatnya secara utuh. Ia seakan sengaja memotong bagian-bagian penting yang tidak sesuai dengan asumsinya: “All the revealed religions (shara’i‘) are lights. Among these religions, the revealed religion of Muhammad is like the light of the sun among the lights of the stars. When the sun appears, the lights of the stars are hidden, and their lights are included in the light of the sun. Their being hidden is like the abrogation of the other revealed religions that takes place through Muhammad’s revealed religion. Nevertheless, they do in fact exist, just as the existence of the light of the stars is actualized. This explains why we have been required in our all-inclusive religion to have faith in the truth of all the messengers and all the revealed religions. They are not rendered null (batil) by abrogation---that is the opinion of the ignorant.” (op.cit., hlm. 125).

Dengan sengaja berhenti di situ, Chittick memberi kesan seolah-olah Ibnu Arabi menolak pendapat mayoritas kaum Muslimin bahwa semua agama samawi pra-Islam dengan sendirinya terabrogasi dengan datangnya Islam. Padahal maksud pernyataan Ibn Arabi adalah semua agama dan kitab suci yang dibawa oleh para rasul pada zaman dahulu harus diakui kebenarannya dalam konteks sejarahnya masing-masing, yakni sebelum Nabi Muhammad SAW muncul. Dan ini merupakan bagian dari rukun iman. Namun demikian tidak berarti bahwa validitas agama-agama tersebut berkelanjutan setelah kedatangan Rasulullah SAW atau bahkan sampai sekarang.

Dalam Futuhat (bab 36), Ibn Arabi dengan tegas menyatakan bahwa “Nabi Isa (Jesus) pun, seandainya turun sekarang ini, niscaya tidak akan mengimami kita kecuali dengan mengikuti sunnah kita [Ummat Muhammad], dan tidak akan memutuskan suatu perkara kecuali dengan syari‘at kita (wa hadza ‘Isa idza nazala ma ya’ummuna illa minna, ay bi-sunnatina, wa la yahkumu fina illa bi-syar‘ina).

Lebih jauh, dengan kutipan yang tidak komplit itu Chittick berusaha memberi kesan dan menggiring para pembaca agar meyakini seolah-olah Ibn Arabi itu adalah transendentalis yang menganut pluralisme agama seperti dirinya. Sambungan pernyataan Ibnu Arabi yang dipotong oleh Chittick dalam kutipan tersebut di atas berbunyi: “Maka berbagai jalan [agama] semuanya bermuara pada jalan [agama] Nabi [Muhammad] saw. Karena itu, seandainya para rasul berada di zaman beliau, niscaya mereka mengikuti beliau sebagaimana syari‘at mereka ikut syari‘at beliau (Fa-raja‘at at-thuruq kulluha nazhiratan ila thariq an-Nabiyy shallallahu ‘alayhi wa sallama, fa-law kanat ar-rusul fi zamanihi la-tabi‘uhu kama tabi‘at syara’i‘uhum syar‘ahu).”

Bagaimana dengan ayat yang mengatakan bahwa Allah telah menciptakan syari‘at dan jalan untuk masing-masing kalian (QS al-Ma’idah 48: likullin ja‘alna minkum syir‘atan wa minhajan)? Menurut Ibn Arabi, kata ganti orang kedua plural (kum) dalam konteks ayat tersebut merujuk kepada para Nabi, bukan umat mereka. Sebab, jika ia ditujukan kepada umat mereka, niscaya Allah tidak mengutus lebih dari seorang rasul untuk suatu umat. Lagi pula, jika kata “kalian” di situ difahami sekaligus untuk para rasul serta umat mereka, maka kita telah menta’wilkannya secara gegabah. Jadi maksud ayat tersebut, menurut Ibn Arabi, bukan membenarkan semua jalan menuju Tuhan, atau menyamakan status semua agama.

Sebaliknya, terdapat garis demarkasi yang jelas antara hak dan batil, iman dan kufur, tawhid dan syirik, dan seterusnya. Jika tidak, lanjut Ibn Arabi, niscaya Nabi SAW tidak akan berdakwah mengajak orang masuk Islam, niscaya orang yang pindah agama (yartadid ‘an dīni-hi) tidak akan disebut kafir (QS 2:217) dan niscaya tidak akan keluar perintah untuk membunuh orang yang murtad (hadits: “man baddala dīnahu fa-qtulūhu”). Oleh sebab itu, Ibn Arabi menambahkan, orang Yahudi atau Nasrani yang masuk Islam tidak dikatakan murtad, karena ajaran murni agama mereka memang mengharuskan beriman kepada dan mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW. (Untuk detailnya lihat: Futuhat, bab 495: (fi Ma‘rifati hal qutb kana manziluhu “wa man yartadid minkum ‘an dinihi fa-yamut wa huwa kafir”).

Menurut Ibn Arabi, riwayat itu menunjukkan, bahwa pengikut Nabi Isa a.s. yang murni dan sejati tidak hanya mengimani kenabian Muhammad SAW tetapi juga beribadah menurut syari‘at Islam. Sebab, dengan kedatangan sang Nabi terakhir, syari'at agama-agama sebelumnya otomatis tidak berlaku lagi. Fa inna syari‘ata Muhammadin shallallahu ‛alayhi wa sallama nasikhah, tegas Ibn ‘Arabi seraya mengutip hadits Rasūlullāh SAW, “Seandainya Nabi Mūsā hidup saat ini, maka beliau pun tidak dapat tidak, mesti mengikutiku (law kana Musa hayyan ma wasi‘ahu illa an yattabi‘ani).” Di sini nampak cukup jelas sikap dan posisi Ibn Arabi terhadap agama lain sebelum Islam. (Lihat Futuhat, bab 36: fi ma‘rifat al-‛Isawiyyin wa aqtabihim wa ushulihim). Terlepas dari kontroversi dan polemik seputar Ibn Arabi sendiri, adalah tidak etis mencatut nama seorang pakar atau ulama dengan memanipulasi pendapatnya, apalagi jika digunakan untuk merusak aqidah Islam.

*) Penulis peneliti INSISTS, sedang mengadakan penelitian di Johann Wolfgang Goethe-Universitdt, Frankfurt am Main , Jerman, untuk PhD keduanya

Mengapa Al-Quran Berbahasa Arab 2 tamat

Mengapa Al-Quran Berbahasa Arab?

Setiap saat, lahir orang-orang alim yang mampu menghapal isi kandungan Kitab Suci Al-Quran. Hatta, orang buta atau anak kecil. Itulah bedanya dengan Kitab Suci lain [Lanjutan Universalitas Al-Qur’an bagian 2- habis]

Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi *)


“Mengapa Al-Quran diturunkan kepada seorang Nabi yang miskin dan buta huruf (ummiy)? Mengapa tidak diberikan kepada pembesar Mekkah maupun Tha’if saja?” Pertanyaan seperti ini sering terjadi. Sama hal nya dengan pernyataan, “Mengapa Al-Qur’an berbahasa Arab?” Banyak dalil yang mengungkap hal ini. Diantaranya; QS. 12: 2, 14: 4, 13: 37, 16: 103, 19: 97, 20: 113, 26: 193-195, 26: 198-199, 39: 28, 41: 3, 41: 44, 43: 3, 44: 58, dan 46 : 12. Boleh dikata, hampir semua ayat tersebut menyatakan, bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dalam “bahasa Arab”. Adalah keliru jika karena Allah menurunkan Al-Quran ke dalam bahasa Arab kemudian dikatakan “tidak universal”. Kenapa Allah memilih bahasa Arab? Bukan bahasa lain? Barangkali itu adalah hak Allah. Meski demikian, pilihan Allah mengapa Al-Quran itu dalam bahasa Arab bisa dijelaskan secara ilmiah. Pertama, sampai hari ini, bahasa yang berasal dari rumpun Semit yang masih bertahan sempurna adalah bahasa Arab. Bahkan Bible (Old Testament) yang diklaim bahasa aslinya bahasa Ibrani (Hebrew) telah musnah, sehingga tidak ada naskah asli dari Perjanjian Lama. Meskipun begitu, menurut Isrâ’il Wilfinson, dalam bukunya Târîk al-Lughât al-Sâmiyyah (History of Semitic Language), seperti yang dikutip Prof. Al-A‘zamî, ternyata bahasa asli PL itu tidak disebut Ibrani. Bahasa pra-pengasingan (pre-exilic language) yang digunakan oleh Yahudi adalah dialek Kanaan dan tidak dikenal sebagai Ibrani. Orang-orang Funisia (atau lebih tepatnya, orang-orang Kanaan) menemukan alfabet yang benar pertama kali ± 1500 S.M, berdasarkan huruf-huruf ketimbang gambar-gambar deskriptif. Semua alfabet yang berturut-turut seterusnya adalah utang budi pada, dan berasal dari, pencapaian Kanaan ini. (Prof. Dr. M.M. Al-A‘zamî, The History of The Qur’ânic Text from Revelation to Compilation (edisi Indonesia), terjemah: Sohirin Solihin, dkk., GIP, 2005, hlm. 259).
New Testament (Gospel, Injil) yang diklaim bahasa aslinya adalah bahasa “Yunani” juga sudah hilang, sehingga tidak ada naskah asli dari Injil. Bahkan, ini bertentangan dengan bahasa Yesus, yang sama sekali tidak paham bahasa Yunani. Bukankah ini ‘mencederai’ saktralitas Injil yang diklaim sebagai ‘firman Tuhan’? Kedua, bahasa Arab dikenal memiliki banyak kelebihan: (1) Sejak zaman dahulu kala hingga sekarang bahasa Arab itu merupakan bahasa yang hidup, (2) Bahasa Arab adalah bahasa yang lengkap dan luas untuk menjelaskan tentang ketuhanan dan keakhiratan, (3) Bentuk-bentuk kata dalam bahasa Arab mempunyai tasrif (konjungsi), yang amat luas hingga dapat mencapai 3000 bentuk perubahan, yang demikian itu tak terdapat dalam bahasa lain. (Lihat, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag, edisi revisi, Juli 1989, hlm. 375 (foot-note).

Ketiga, Allah menurunkan Al-Qur’an kepada Rasulullah SAW. dalam bahasa Arab yang nyata (bilisanin ‘Arabiyyin mubinin), agar menjadi: mukjizat yang kekal dan menjadi hidayah (sumber petunjuk) bagi seluruh manusia di setiap waktu (zaman) dan tempat (makan); untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya: dari kegelapan “syirik” kepada cahaya “tauhid”, dari kegelapan “kebodohan” kepada cahaya “pengetahuan”, dan dari kegelapan “kesesatan” kepada cahaya “hidayah”. Tiga poin itu berjalan terus atas izin Allah sampai dunia ini hancur, yakni Risalah (Islam), Rasul (Muhammad SAW) dan Kitab (Al-Qur’an)). (Lihat, Prof. Dr. Thaha Musthafa Abu Karisyah, Dawr al-Azhar wa Jami‘atihi fi Khidmat al-Lughah al-‘Arabiyyah wa al-Turats al-Islamiy, dalam buku Nadwat al-Lughah al-‘Arabiyyah, bayna al-Waqi‘ wa al-Ma’mul, 2001, hlm. 42). Karena Islam itu satu risalah (misi) yang “universal” dan “kekal”, maka mukjizatnya harus retoris (bayaniyyah), linguistik (lisaniyyah) yang kekal. Dan Allah telah berjanji untuk memelihara Al-Qur’an, seperti yang Ia jelaskan, “Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-Dzikra (Al-Qur’an) dan Kami pula yang memeliharanya.” (Qs. 15: 9). Keempat, menurut Syeikhu’l-Islam, Ibnu Taimiyah, “Taurat diturunkan dalam bahasa Ibrani saja. Dan Musa ‘alayhissalam tidak berbicara kecuali dengan bahasa itu. Begitu juga halnya dengan al-Masih: tidak berbicara tentang Taurat dan Injil serta perkara lain kecuali dengan bahasa Ibrani. Begitu juga dengan seluruh kitab. Ia tidak diturunkan kecuali dengan “satu bahasa” (bilisanin wahidin): dengan bahasa yang dengannya diturunkan kitab-kitab tersebut dan bahasa kaumnya yang diseru oleh para rasul. Seluruh para Nabi, menyeru manusia lewat bahasa kaumnya yang mereka ketahui. Setelah itu, kitab-kitab dan perkataan para Nabi itu disampaikan: apakah diterjemahkan untuk mereka yang tidak tahu bahasa kitab tersebut, atau orang-orang belajar bahasa kitab tersebut sehingga mereka mengerti makna-maknanya. Atau, seorang utusan menjelaskan makna-makna apa yang dengannya ia diutus oleh Rasul dengan bahasanya...” (Lihat, Ibnu Taimiyah, al-Jawb al-Shahih liman Baddala Dina’l-Masih (Jawaban Yang Benar, Bagi Perubah Agama Kristus), (Cairo: Dar Ibnu al-Haytsam, 2003, jilid 1 (2 jilid), hlm. 188-189). Sebagaimana Taurat dan Injil, Al-Quran diturunkan dalam satu bahasa, bahasa kaumnya. Bedanya, kenabian yang ada sebelum Islam, hanya diperuntukkan pada kaum tertentu atau zaman tertentu (lokalitas) saja. Nuh misalnya, hanya diutus kepada kaumnya (QS. 7: 59); Hud kepada kaumnya (QS. 7: 65); Shaleh kepada kaumnya (QS. 7: 73); Luth kepada kaumnya (QS. 7: 80); Syu‘aib kepada kaumnya (QS. 7: 85); dan Musa kepada Fir‘aun dan para punggawanya (QS. 7: 103). Dakwah Nabi SAW di “Ummu’l-Qura”, sebagaimana arti yang sudah dijelaskan panjang lebar, bukan hanya dalam pengertian Mekkah semata. Juga bukan hanya untuk orang Quraisy, tidak pula untuk Jazirah Arabia saja, tapi untuk seluruh alam. (Baca QS. 25: 1, 34: 28, 7: 158, dan 9: 33). Jika kalangan Nasrani menganggap Al-Quran tidak universal, maka, seharusnya yang lebih tidak universal justru Bible.

Meski bahasa Arab adalah bahasa yang rumit, namun bukanlah hal susah bagi umat Islam menghapalkannya. Ini berbeda dengan kitab suci lain, sebagaimana Bible misalnya. Keuniversalan Al-Quran lainnya, dibuktikan dengan bagaimana Allah menjaganya melalui orang-orang alim dan yang memiliki kelebihan dalam menghapalkannya (tahfiz). Meski terdiri dari ribuan ayat, dalam sejarah, selalu saja banyak orang mampu menghapalkannya secara cermat dan tepat. Hatta, ia orang buta atau anak kecil sekalipun. Al-Quran, mudah dihapal atau dilantunkan dengan gaya apapun. Diakui atau tidak, ini berbeda dengan Bible atau Injil.

Karena itu, setiap usaha apapun untuk menambah atau mengurangi Al-Quran baik yang dilakukan kalangan orientalis atau orang kafir dalam sepanjang sejarah selalu saja ketahuan. Jangan heran bila banyak umat Islam tiba-tiba ribut gara-gara ada Al-Quran palsu atau sengaja dipalsukan sebagaimana terjadi dalam kasus “The True Furqon.” Barangkali itulah cara Allah menjaganya.

Dan hebatnya, para penghapal Al-Quran, setiap saat selalu saja lahir dan bisa ditemukan di seluruh dunia. Untuk yang seperti ini, di Indonesia, bahkan sudah mulai banyak dijadikan sebagai pesantren-pesantran formal.Sebaliknya, bagi kita, belum pernah terdengar ada orang Kristen atau Yahudi yang hapal keseluruhan kitab suci mereka. Bahkan termasuk pendeta atau pastur sekalipun. Mengapa bisa demikian? Saya kira Anda lebih tahu jawabannya. Wallahu a‘lamu bi al-shawab. []*) Penulis adalah mahasiswa Jurusan Tafsir-Hadits di Universitas Al-Azhar, peminat Qur’anic Studies and Christology.

50 INDIKASI DESTRUKTIF

50 INDIKASI DESTRUKTIF
Demokrasi, Pemilu, dan Partai
Judul Asli
Khomsuuna Mafsadah Jaliyyah min Mafaasidi'd-Dimoqratiyyah wa'l-Intikhobaat wa'l-HizbiyyahPenulis
Syeikh Abdul Majid bin Mahmud Ar-ReimyPenerbit
Daarul GhaitsCetakan Pertama 1414 H

MUQADDDIMAH
Segala puji hanya milik Allah, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya serta orang yang berwala' kepadanya.Amma ba'du.
Ini adalah kajian singkat yang menjelaskan tentang beberapa indikasi destruktif dan bahaya yang ditimbulkan akibat terjun dan berkiprah dalam kancah demokrasi yang banyak orang tertipu dengannya dan menggantungkan harapan mereka kepadanya meskipun hal ini jelas-jelas bertentangan dengan manhaj Allah sebagaimana yang akan dijelaskan dalam kajian yang singkat ini, apalagi banyak sudah pengalaman pahit yang didapat oleh orang yang tertipu dengan permainan ini dan ditampakkan sisi penyimpangan dan kesesatannya.
Penyusun
LIMA PULUH INDIKASI DESTRUKTIF
Dengan memohon taufiq kepada Allah, kami berusaha memaparkan beberapa indikasi destruktif (kerusakan) demokrasi, pemilihan umum dan berpartai:
Demokrasi dan hal-hal yang berkaitan dengannya berupa partai-partai dan pemilihan umum merupakan manhaj jahiliyah yang bertentangan dengan Islam, maka tidak mungkin sistem ini dipadukan dengan Islam karena Islam adalah cahaya sedangkan demokrasi adalah kegelapan.
"Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat dan tidak (pula) kegelapan dengan cahaya." (Surat Faathir: 19-20)Islam adalah hidayah dan petunjuk sedangkan demokrasi adalah penyimpangan dan kesesatan.
"Sungguh telas jelas petunjuk daripada kesesatan." (Surat Al-Baqarah: 256)Islam adalah manhaj rabbani yang bersumber dari langit sedangkan demokrasi adalah produk buatan manusia dari bumi. Sangat jauh perbedaan antara keduanya.
Terjun ke dalam kancah demokrasi mengandung unsur ketaatan kepada orang-orang kafir baik itu orang Yahudi, Nasrani atau yang lainnya, padahal kita telah dilarang untuk menaati mereka dan diperintahkan untuk menyelisihi mereka, sebagaimana hal ini telah diketahui secara lugas dan gamblang dalam dien.Allah Ta'ala berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman jika kalian menaati sekelompok orang-orang yang diberi Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir setelah kamu beriman." (Surat Ali 'Imran: 100)
"Karena itu janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Quran dengan jihad yang besar." (Surat Al-Furqaan: 52)
"Dan janganlah kamu menaati orang-orang yang kafir dan orang-orang munafik itu, janganlah kamu hiraukan gangguan mereka dan bertawakkallah kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pelindung(mu)." (Surat Al-Ahzaab: 48)Dan ayat-ayat yang senada dengan ini sangat banyak dan telah menjadi maklum.
Sistem demokrasi memisahkan antara dien dan kehidupan, yakni dengan mengesampingkan syari'at Allah dari berbagai lini kehidupan dan menyandarkan hukum kepada rakyat agar mereka dapat menyalurkan hak demorkasi mereka --seperti yang mereka katakan-- melalui kotak-kotak pemilu atau melalui wakil-wakil mereka yang duduk di Majelis Perwakilan.
Sistem demokrasi membuka lebar-lebar pintu kemurtadan dan zindiq, karena di bawah naungan sistem thaghut ini memungkinkan bagi setiap pemeluk agaman, madzhab atau aliran tertentu untuk membentuk sebuah partai dan menerbitkan mass media untuk menyebarkan ajaran mereka yang menyimpang dari dienullah dengan dalih toleransi dalam mengeluarkan pendapat, maka bagaimana mungkin setelah itu dikatakan, "Sesungguhnya sistem demokrasi itu sesuai dengan syura dan merupakan satu keistimewaan yang telah hilang dari kaum muslimin sejak lebih dari seribu tahun yang lalu," sebagaimana ditegaskan oleh sejumlah orang jahil, bahkan (ironismua) hal ini juga telah ditegaskan oleh sejumlah partai Islam yang dalam salah satu pernyataan resminya disebutkan:"Sesungguhnya demokrasi dan beragamnya partai merupakan satu-satunya pilihan kami untuk membawa negeri ini menuju masa depan yang lebih baik."
Sistem demokrasi membuka pintu syahwat dan sikap permissivisme (menghalalkan segala cara) seperti minum arak, mabuk-mabukan, bermain musik, berbuat kefasikan, berzina, menjamurnya gedung bioskop dan hal-hal lainnya yang melanggar aturan Allah di bawah semboyan demokrasi yang populer, "Biarkan dia berbuat semaunya, biarkan dia lewat dari mana saja ia mau," juga di bawah semboyan "menjaga kebebasan individu."
Sistem demokrasi membuka pintu perpecahan dan perselisihan, mendukung program-program kolonialisme yang bertujuan memecah-belah dunia Islam ke dalam sukuisme, nasionalisme, negara-negara kecil, fanatisme golongan dan kepartaian. Hal ini bertentangan dengan firman Allah Ta'ala:
"Dan sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Rabbmu, maka bertaqwalah kepada-Ku." (Surat Al-Mukminun: 52)Juga bertentangan dengan firman Allah Ta'ala:
"Dan berpegang teguhlah kamu semua kepada tali (dien) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai." (Surat Ali 'Imran: 103)Dan firman-Nya:
"Dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu gagal dan hilang kekuatanmu." (Surat Al-Anfal: 46)
Sesungguhnya orang yang bergelur dengan sistem demokrasi harus mengakui institusi-institusi dan prinsip-prinsip kekafiran, seperti piagam PBB, deklarasi Dewan Keamanan, undang-undang kepartaian dan ikatan-ikatan lainnya yang menyelisihi syari'at Islam. Jika ia tidak mau mengakuinya, maka ia dilarang untuk melaksanakan aktivitas kepartaiannya dan dituduh sebagai seorang ekstrim dan teroris, tidak mendukung terciptanya perdamaian dunia dan kehidupan yang aman.
Sistem demokrasi memvakumkan hukum-hukum syar'i seperti jihad, hisbah, amar ma'ruf nahi munkar, hukum terhadap orang yang murtad, pembayaran jizyah, perbudakan dan hukum-hukum lainnya.
Orang-orang murtad dan munafiq dalam naungan sistem demokrasi dikategorikan ke dalam warga negara yang potensial, baik dan mukhlis, padahal dalam tinjauan syar'i mereka tidak seperti itu.
Demokrasi dan pemilu bertumpu kepada suara mayoritas tanpa tolak ukur yang syar'i.Sedangkan Allah Ta'ala telah berfirman:
"Dan jika kamu mentaati kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah." (Surat Al-An'am: 116)
"Akan tetapi kebanyakan manusia itu tidak mengetahui." (Surat Al-A'raf: 187)
"Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur." (Surat Saba': 13)
Sistem ini membuat kita lengah akan tabiat pergolakan antara jahiliyah dan Islam, antara haq dan batil, karena keberadaan salah satu di antara keduanya mengharuskan lenyapnya yang lain, selamanya tidak mungkin keduanya akan bersatu. Barangsiapa mengira bahwa dengan melalui pemilihan umum fraksi-fraksi jahiliyah akan menyerahkan semua institusi-institusi mereka kepada Islam, ini jelas bertentangan dengan rasio, nash dan sunan (keputusan Allah) yang telah berlaku atas umat-umat terdahulu.
"Tiadalah yang mereka nanti melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang telah berlaku) atas orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapati perubahan bagi sunnatullah dan sekali-kali tidak (pula) akan mendapati perpindahan bagi sunnatullah itu." (Surat Faathir: 43)
Sistem demokrasi ini akan menyebabkan terkikisnya nilai-nilai aqidah yang benar yang diyakini dan diamalkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya yang mulia, akan menyebabkan tersebarnya bid'ah, tidak dipelajari dan disebarkannya aqidah yang benar ini kepada manusia, karena ajaran-ajarannya menyebabkan terjadi perpecahan di kalangan anggota partai, bahkan dapat menyebabkan seseorang keluar dari partai tersebut sehingga dapat mengurangi jumlah perolehan suara dan pemilihnya.
Sistem demokrasi tidak membedakan antara orang yang alim dengan orang yang jahil, antara orang yang mukmin dengan orang kafir, dan antara laki-laki dengan perempuan, karena mereka semuanya memiliki hak suara yang sama, tanpa dilihat kelebihannya dari sisi syar'i. padahal Allah Ta'ala berfirman:
"Katakanlah! Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui." (Surat Az-Zumar: 9)Dan Allah Ta'ala berfirman:
"Maka apakah orang yang beriman itu sama seperti orang yang fasiq? Mereka tidaklah sama." (Surat As-Sajdah: 18)Dan Allah Ta'ala berfirman:
"Maka apakah Kami patut menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Mengapa kamu berbuat demikian, bagaimanakah kamu mengambil keputusan?" (Surat Al-Qalam: 35-36)Dan Allah Ta'ala berfirman:
"Dan anak laki-laki (yang ia nadzarkan itu) tidaklah seperti anak perempuan (yang ia lahirkan)." (Surat Ali Imran: 38)
Sistem ini menyebabkan terjadinya perpecahan di kalangan para aktivis dakwah dan jamaah-jamaah Islamiyah, karena terjun dan berkiprahnya sebagian dari mereka ke dalam sistem ini (mau tidak mau) akan membuat mereka mendukung dan membelanya serta berusaha untuk mengharumkan nama baiknya yang pada gilirannya akan memusuhi siapa yang dimusuhi oleh sistem ini dan mendukung serta membela siapa yang didukung dan dibela oleh sistem ini, maka ujung-ujungnya fatwa pun akan simpang-siur tidak memiliki kepastian antara yang membolehkan dan yang melarang, antara yang memuji dan yang mencela.
Di bawah naungan sistem demokrasi permasalahan wala' dan bara' menjadi tidak jelas dan samar, oleh karenanya ada sebagian orang yang berkecimpung dan menggeluti sistem ini menegaskan bahwa perselisihan mereka dengan partai sosialis, partai baath dan partai-partai sekuler lainnya hanya sebatas perselisihan di bidang program saja bukan perselisihan di bidang manhaj dan tak lain seperti perselisihan yang terjadi antara empat madzhab, dan mereka mengadakan ikatan perjanjian dan konfederasi untuk tidak mengkafirkan satu sama lain dan tidak mengkhianati satu sama lain, oleh karenanya mereka mengatakan adanya perselisihan jangan sampai merusakkan kasih sayang antar sesama!!
Sistem ini akan mengarah pada tegaknya konfederasi semu dengan partai-partai sekuler, sebagai telah terjadi pada hari ini.
Sangat dominan bagi orang yang berkiprah dalam kancah demokrasi akan rusak niatnya, karena setiap partai berusaha dan berambisi untuk membela partainya serta memanfaatkan semua fasilitas dan sarana yang ada untuk menghimpun dan menggalang massa yang ada di sekitarnya, khususnya sarana yang bernuansa religius seperti ceramah, pemberian nasehat, ta'lim, shadaqah dan lain-lain.
(Terjun ke dalam kancah demokrasi) juga akan mengakibatkan rusaknya nilai-nilai akhlaq yang mulia seperti kejujuran, transparansi (keterusterangan) dan memenuhi janji, dan menjamurnya kedustaan, berpura-pura (basa-basi) dan ingkar janji.
Demikian pula akan melahirkan sifat sombong dan meremehkan orang lain serta bangga dengan pendapatnya masing-masing karena yang menjadi ini permasalahan adalah mempertahankan pendapat. Dan Allah Ta'ala telah berfirman:
"Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada di sisi mereka (masing-masing)." (Surat Al-Mukminun: 53)
Kalau kita mau mencermati dan meneliti dengan seksama, berikrar dan mengakui demokrasi berarti menikam (menghujat) para Rasul dan risalah (misi kerasulan) mereka, karena al-haq (kebenaran) kalau diketahui melalui suara yang terbanyak dari rakyat, maka tidak ada artinya diutusnya para Rasul dan diturunkannya kitab-kitab, apalagi biasanya ajaran yang dibawa oleh para Rasul banyak menyelisihi mayoritas manusia yang menganut aqidah yang sesat dan menyimpang dan memiliki tradisi-tradisi jahiliyah.
Sistem demokrasi membuka pintu keraguan dan syubhat serta menggoncangkan aqidah umat Islam, terlebih lagi kita hidup di masa dimana ulama robbaninya sangat sedikit sedang kebodohan tersebar dimana-mana. Maka lantaran terbatasnya ilmu, banyak orang-orang awam yang jiwanya down dan goncang dalam menghadapi gelombang besar dan arus deras dari berbagai partai, surat kabar, dan pemikiran-pemikiran yang destruktif.
Melalui dewan-dewan perwakilan dapat diketahui bahwa sesungguhnya sistem demokrasi berdiri di atas asas tidak mengakui adanya Al-Hakimiyah Lillah (hak pemilikian hukum bagi Allah), maka terjun ke dalam sistem demokrasi kalau bertujuan untuk menegakkan argumen-argumen dari Al-Quran dan Sunnah maka hal ini tidak mungkin diterima oleh anggota dewan karena yang dijadikan hujjah oleh mereka adalah suara mayoritas dan andapun mau tidak mau harus mengakui suara mayoritas tersebut, maka bagaimana anda akan menegakkan hujjah dengan Al-Quran dan Sunnah sedangkan mereka tidak mengakui keduanya. Meskipun anda menguatkan (argumen anda) dengan berbagai dalil-dalil syar'i maka dalam pandangan mereka hal itu tidak lebih dari sekedar pendapat anda saja, bagi mereka dalil-dalil tersebut tidak memiliki nilai sakral sedikitpun karena mereka menginginkan --seperti yang mereka katakan-- untuk membebaskan diri dari hukum ghaib yang tidak bersumber dari suara mayoritas dan pertama kali yang mereka tentang adalah hukum Allah dan Rasul-Nya. Maka pengakuan anda terhadap prinsip thaghut ini --yakni kebijakan hukum di tangan suara mayoritas dan pengakuan anda akan dal itu demi memenuhi tuntutan massamu-- berarti meruntuhkan prinsip "hak pemilikan dan penentuan hukum mutlaq bagi Allah semata." Dan manakala anda menyepakati bahwa suara mayoritas merupakan hujjah yang dapat menyelesaikan perselisihan maka tidak ada gunanya lagi anda membaca Al-Quran dan hadits karena keduanya bukan hujjah yang disepakati di antara kalian.
Kita tanyakan kepada para aktivis dakwah yang tertipu dengan sistem ini: Jika kalian sudah sampai pada tampuk kekuasaan apakah kalian akan menghapuskan demokrasi dan melarang eksisnya partai-partai sekuler? Padahal kalian telah sepakat dengan partai-partai lain sesuai dengan undang-undang kepartaian bahwa pemerintahan akan dilaksanakan secara demokrasi dengan memberi kesempatan kepada seluruh partai untuk berpartisipasi aktif. Jika kalian mengatakan bahwa sistem demokrasi ini akan dihapus dan partai-partai sekuler dilarang untuk eksis berarti kalian berkhianat dan mengingkari perjanjian kalian merkipun perjanjian tersebut (pada hakekatnya) adalah bathil. Sedangkan Allah Ta'ala telah berfirman:
"Dan jika kamu mengetahui pengkhianatan dari suatu kaum (golongan), maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat." (Surat Al-Anfal: 58)Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda:
"Akan ditancapkan sebuah bendera bagi setiap orang yang ingkar pada hari kiamat kelak." (HR. Bukhary)Adapun hadits yang menyatakan bahwa perang itu adalah tipu daya, tidak termasuk dalam pembahasan ini. Dan jika kalian mengatakan kami akan menegakkan hukum demokrasi dan mentolerir berdirinya partai-partai berarti ini bukanlah pemerintahan yang Islami.
Sistem demokrasi bertentangan dengan prinsip taghyir (perubahan) dalam Islam yang dimulai dari mencabut segala yang berbau jahiliyah dari akar-akarnya lalu mengishlah (memperbaiki) jiwa-jiwa manusia.
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada diri mereka sendiri." (Surat Ar-Ra'du: 11)Maka prinsip perbaikan ekonomi, politik dan sosial adalah mengikuti perbaikan jiwa manusia-manusianya, bukan sebaliknya.
Sistem ini bertentangan dengan nash-nash yang qath'i yang mengharamkan menyerupai orang-orang kafir baik dalam akhlaq, gaya hidup, tradisi ataupun sistem dan perundang-undangan mereka.
Dan yang sangat membahayakan, sistem demokrasi dan pemilu dapat mengestablishkan (mengukuhkan posisi) orang-orang kafir dan munafiq untuk memegang kendali kekuasaan atas kaum muslimin --dengan cara yang syar'i-- menurut perkiraan sebagian orang-orang yang jahil. Padahal Allah Ta'ala telah berfirman:
"Janji-Ku (untuk menjadikan keturunan Nabi Ibrahim sebagai pemimpin) ini tidak mengenai orang-orang dzalim." (Surat Al-Baqarah: 124)Dan Allah Ta'ala berfirman:
"Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman." (Surat An-Nisaa': 141)Berapa banyak orang-orang muslim yang awam tertipu dengan sistem seperti ini sehingga mereka mengira bahwa pemilu adalah cara yang syar'i untuk memilih seorang pemimpin!!
Demokrasi mengaburkan dan meruntuhkan pengertian syura yang benar, karena minimal syura itu berbeda dengan demokrasi dalam tiga prinsip dasar:a. Dalam sistem syura, sebagai pembuat dan penentu hukum adalah Allah sebagaimana firman Allah Ta'ala:
"Menetapkan hukum itu adalah hak Allah." (Surat Al-An'am: 57)Sedangkan demokrasi tidak seperti itu karena penentu hukum dan kebijaksanaan berada pada selain Allah (yakni di tangan suara mayoritas).b. Syura dalam Islam hanya diterapkan dalam masalah-masalah ijtihadi yang tidak ada nashnya ataupun ijma', sedangkan demokrasi tidaklah demikian.c. Syura dalam Islam hanya terbatas dilakukan oleh orang-orang yang termasuk dalam Ahlu'l-Halli wa'l-Aqdi, orang-orang yang berpengalaman dan mempunyai spesifikasi tertentu, sedangkan demokrasi tidak seperti itu sebagaimana telah dijelaskan pada point terdahulu.
Terjun ke dalam kancah demokrasi akan dihadapkan pada perkara-perkara kufur dan menghujat syariat Allah, mengolok-oloknya dan mencemooh orang-orang yang berusaha untuk menegakkannya, karena setiap kali dijelaskan kepada mereka bahwa hukum yang mereka buat bertentangan dengan ajaran Islam, mereka akan mencemooh syariat Islam yang bertentangan dengan undang-undang mereka dan mencemooh orang-orang yang berusaha untuk memperjuangkannya. Maka menutup erat-erat pintu yang menuju ke sana dalam hal ini sangat diperlukan. Allah Ta'ala berfirman:
"Oleh sebab itu berilah peringatan, karena peringatan itu sangat bermanfaat." (Surat Al-A'la: 9)Dan Allah Ta'ala berfirman:
"Dan janganlah kamu memaki-maki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan." (Surat Al-An'am: 108)
Masuk ke dalam kancah demokrasi dapat menyingkap data-data tentang harakah Islamiyah dan sejauh mana peran dan pengaruhnya terhadap rakyat yang pada gilirannya harakah tersebut akan dihabisi dan dimusnahkan sampai ke markasnya. Maka jelas hal ini sangat merugikan dan membahayakan sekali.
Demokrasi akan membuat harakah Islamiyah dikendalikan oleh orang-orang yang tidak kufu' (yang tidak memiliki pengetahunan dan pemahaman tentang Dien yang cukup), karena yang menjadi pemimpin harus sesuai dengan hasil partai dalam sistem kerja maupun pelaksanaan programnya harus sesuai dengan asas pemilu.
Dari hasil kajian dan pemantauan langsung di lapangan telah terbukti gagal dan tidak ada manfaatnya sistem ini, di mana banyak para aktivis dakwah di pelbagai negara seperti Mesir, Aljazair, Tunisia, Yordania, Yaman, dan lain-lain yang telah ikut berperan dalam pentas demokrasi ini, namun hasilnya sama-sama telah diketahui "hanya sekedar mimpi dan fatamorgana" sampai kapan kita masih akan tertipu?
Orang yang mau memperhatikan dan mencermati akan tahu bahwa sistem demokrasi akan menyimpangkan alur shahwah Islamiyah (kebangkitan Islam) dari garis perjalanannya, melalaikan akan tujuan dasarnya dan juga akan menjurus kepada perubahan total yang mendasar dan menyeluruh, yang hanya bertumpu pada prediksi dan khayalan belaka.
(Diberlakukannya sistem demokrasi) berarti menafikan peran ulama dan menghilangkan kedudukan mereka di mata masyarakat padahal merekalah yang memiliki ilmu dan menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, karena mereka sudah tidak lagi ditaati dan dijadikan sebagai pemimpin lantaran kebijaksanaan hukum berada di tangan mayoritas.
Sistem demokrasi memupuskan minat dan semangat untuk mendalami ilmu syar'i dan tafaqquh fi'd-dien dan menyibukkan manusia dalam hal-hal yang tidak bermanfaat.
Sistem demokrasi menyebabkan terhentinya ijtihad, karena tidak ada istilah mujtahid dan muqollid dalam barometer demokrasi, semuanya adalah mujtahid tanpa perlu memiliki perangkat ijtihad atau melihat kepada dalil-dalil syar'i.
Sistem ini dapat menyebabkan hancur dan binasanya harakah Islamiyah, karena sering kali harakah-harakah ini bertikai dan berkonfrontasi dengan orang-orang yang menyelisihi mereka tanpa mempunyai kemampuan dan persiapan untuk menghadapi musuh.
Menurut sebagian aktivis dakwah, tujuan mereka masuk ke dalam sistem ini adalah untuk menegakkan hukum Allah. Padahal mereka tidak akan mewujudkannya kecuali dengan mengakui bahwa rakyat adalah sebagai penentu dan pembuat hukum, ini berarti ia telah menghancurkan tujuan (yang ingin dicapainya) dengan sarana yang dipergunakannya.
Demokrasi adalah sebuah sistem yang menipu rakyat pada hari ini, dengan propagandanya hukum berada di tangan rakyat dan rakyatlah sebagai pemegang keputusan, padahal pada hakekatnya tidaklah demikian.
Demokrasi menyita dan menghabiskan waktu dan tenaga para ulama dan aktivis dakwah, dan membuat mereka lalai dari membina umat dan dari berkonsentrasi untuk mengajarkan dienul Islam kepada manusia.
Dalam sistem demokrasi kekuasaan dibatasi sampai pada masa tertentu, jika masanya telah berakhir maka ia harus turun untuk digantikan dengan yang lainnya., kalau tidak maka akan terjadi pertikaian dan peperangan, padahal bisa jadi sebenarnya dialah yang paling berhak (karena memiliki kemampuan dan kecapakan yang memenuhi persyaratan sebagai seorang pemimpin) namun karena masa jabatannya telah habis ia diganti oleh orang lain yang tidak memiliki kemampuan seperti dirinya. Maka hal ini akan membuka pintu fitnah dan sikap membelot dari penguasa yang sah, padahal telah diketahui bahwa keluar (membelot) dari penguasa itu tidak boleh kecuali jika penguasa tersebut terlihat melakukan kekafiran yang nyata dan pembelotannya dapat mewujudkan kemaslahatan yang berarti serta memiliki kemampuan untuk melakukan hal tersebut.
Dewan-dewan perwakilan adalah dewan-dewan thaghut yang tidak dapat dipercaya untuk mengakui bahwa pemilik dan penentu hukum secara mutlaq adalah Allah, maka tidak boleh duduk bersama mereka di bawah payung demokrasi, karena Allah Ta'ala telah berfirman:
"Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al-Quran, bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan dicemoohkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk bersama mereka sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian) tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam jahannam." (Surat An-Nisaa': 140)Dan juga dalam firman-Nya:
"Dan apabila kamu melihat orang-orang menghina ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini) maka janganlah kamu duduk lagi bersama orang-orang yang dzalim itu sesuadah teringat (akan larangan itu)." (Surat Al-An'am: 68)
Demokrasi pada hakekatnya menikam (menghujat) Allah serta melecehkan hikmah dan syariat-Nya. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:Pertama, kita katakan sesungguhnya Allah telah mengutus para Rasul dan mewajibkan manusia untuk menaati mereka, mengancam orang yang tidak taat dengan neraka dan kebinasaan, menurunkan kitab-kitab suci sebagai pemutus perkara di antara manusia. Dia menghalalkan dan mengharamkan, mewajibkan, memakruhkan dan mensunnahkan, memuji dan mencela, menghinakan dan memuliakan, mengangkat suatu kaum dan menjatuhkan kaum yang lain tanpa memandang dan melihat kondisi dan keadaan yang menyelisihi ajaran para Rasul. Bahkan ketika para Rasul tersebut datang, mayoritas manusia --kalau kita tidak mengatakan semuanya--- dalam kesesatan dan dalam kungkungan kejahiliyahan yang membabi buta. Maka sekiranya demokrasi dan hak membuat dan memutuskan hukum yang berada di tangan rakyat itu benar, berarti semua perbuatan yang telah dilakukan Allah ini sia-sia belaka. Maha Suci Allah atas semua hal ini.Kedua, kita katakan sekiranya demokrasi itu haq (benar), niscaya diturunkannya kitab-kitab suci dan diutusnya para Rasul merupakan tindakan semena-mena dan dzalim serta berbenturan dengan pendapat dan hak manusia untuk menghukumi mereka dengan hukum mereka sendiri. Maha Suci Allah dari segala bentuk kedzaliman.Ketiga, sekiranya demokrasi itu haq, niscaya hukum tentang jihad dan tumpahnya darah orang-orang kafir yang menentang Islam serta hukum membayar jizyah dan perbudakan adalah tindak kedzaliman bagi mereka dan bertentangan dengan pendapat-pendapat mereka yang destruktif. Sikap seperti ini berarti menghujat syari'at Allah Subhanahu wa Ta'ala.Sisi lain, sekiranya demokrasi itu haq, niscaya pengusiran iblis dari surga, pembinasaan kaum Nabi Nuh, ditenggelamkannya Fir'aun dan pasukannya serta kebinasaan yang menimpa kaum Nabi Hud, Shalih, Syu'aib, dan Luth, ini semua merupakan tindak kedzaliman atas mereka karena Allah mengadzab mereka lantaran pemikiran-pemikiran dan aqidah mereka yang destruktif.Sisi lain, sekiranya demokrasi itu haq, niscaya hukuman rajam terhadap orang yang berzina dan hukuman cambuk terhadap orang yang minum arak merupakan tindak kekerasan dan kekejaman, dan mengusik kebebasan individu seperti dikatakan oleh orang-orang dzalim.
"Alangkah busuknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka, mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta." (Surat Al-Kahfi: 5)Maha Tinggi Allah atas apa-apa yang diucapkan oleh orang-orang yang dzalim.
Di bawah naungan sistem demokrasi berbagai bid'ah dan kesesatan dengan berbagai macam pola tumbuh subur dan orang-orang yang menyerukannya dari berbagai thoriqot dan firqoh seperti Syiah, Rafidlah, Sufiah, Mu'tazilah, Kebatinan, dan lain-lainnya pun bermunculan. Bahkan di bawah naungan sistem ini mereka mendapatkan dukungan dan dorongan dari orang-orang munafik yang berada di dalamnya dan juga dari kekuatan-kekuatan yang terselubung dari pihak luar. Dan Allah tetap memiliki urusan terhadap makhluk-makhluk ciptaan-Nya.
Sebaliknya bertubi-tubi tuduhan dan dakwaan yang ditujukan kepada para aktivis dakwah dengan menjelekkan citra mereka di mata masyarakat umum sehingga mereka dijuluki sebagai pencari kedudukan, harta dan jabatan, dan mereka juga dijuluki sebagai penjilat dan masih banyak lagi julukan-julukan dusta lainnya sebagai akibat diberlakukannya asas bebas berbicara dan mengeluarkan pendapat serta menghujat harga diri orang lain.
Orang yang berada di dalam sistem ini dipaksa untuk bergabung dalam satu barisan bersama partai-partai murtad dan zindiq dalam mempertahankan prinsip-prinsip jahiliyah seperti deklarasi-deklarasi internasional, kebebasan pers, kebebasan berpikir, kebebasan etnis Arab,
Sistem ini akan mengakibatkan hancurnya perekonomian dan disia-siakannya harta rakyat, karena anggaran belanja negara akan dialokasikan oleh partai-partai berkuasa demi memenuhi ambisi mereka dengan membangun gedung-gedung dan menjalankan kampanye pemilihan umum sesuai dengan yang mereka rencanakan dan agar partai-partai tersebut dapat mewujudkan pembelian dukungan (penggalangan dan pengumpulan massa) dengan iming-iming materi yang menggiurkan.
Sistem ini memadukan antara haq dan bathil, jahiliyah dan Islam, serta antara ilmu dan kebodohan.
Demokrasi mencabik-cabik jati diri umat Islam dan menjatuhkan kewibawaan mereka melalui penghujatan atas syari'at dan tuduhan bahwa syari'at tersebut sudah tidak relevan lagi dengan kondisi zaman, juga melalui pengebirian sejarah dan hukum Islam dan mengilustrasikan bahwa Islam itu diktator tidak seperti demokrasi. Di samping itu demokrasi berarti meleburkan umat Islam secara membabi buta ke dalam satu wadah bersama orang-orang barat dari golongan Yahudi dan Nasrani yang memendam dendam kesumat kepada umat Islam.
Sistem ini akan membuat labilnya keamanan suatu negeri dan terjadinya persaingan antar partai yang tidak berujung pangkal, maka manakala sistem ini diterapkan di suatu negara, niscaya akan tersebar rasa takut, cemas, persaingan antar penganut aqidah, aliran, fanatisme golongan dan keturunan, sikap oportunis dan bentuk-bentuk persaingan tidak sehat lainnya.
Kalaupun ada kemaslahatan yang dapat dipetik dari berkiprah dalam demokrasi dan pemilihan umum, kemaslahatan ini masih bersifat parsial dan masih samar jika dibandingkan dengan sebagian kerusakan besar yang ditimbulkannya apalagi jika dibandingkan dengan keseluruhannya. Dan orang yang mengamati secara obyektif atas sebagian yang telah disebutkan akan menjadi jelas baginya ketimpangan sistem thoghut ini dan jauhnya dari dienullah bahkan sesungguhnya demokrasi adalah aliran dan sistem yang paling berbahaya yang dipraktekkan di dunia saat ini, ia merupakan induk kekafiran, dimana memungkinkan setiap aliran dan agama baik itu Yahudi, Nasrani, Majusi, Budha, Hindu dan Islam untuk hidup di bawah naungannya. Dalam barometer demokrasi semua pendapat mereka dihargai dan didengar, mereka berhak untuk mempraktekkan dan mengamalkan aqidah mereka dengan seluruh sarana dan fasilitas yang ada. Cukuplah hal ini sebagai tanda zindiq dan keluar dari dien Islam, maka bagaimana mungkin setelah ini dikatakan sesungguhnya demokrasi itu sesuai dengan Islam atau Islam itu adalah sistem demokrasi atau demokrasi itu adalah syura sebagaimana dikatakan oleh sejumlah orang yang menggembar-gemborkan sistem ini sebagai sistem Islam.
PENUTUP
Akhirnya kami mengharap dari setiap saudara yang berambisi untuk memperjuangkan Dienullah untuk benar-benar mencermati serta mengkaji kembali kerusakan-kerusakan ini, dan melihat kepadanya secara obyektif jauh dari fanatik individu, badan, atau institusi tertentu karena kebenaran itu lebih berhak untuk diikuti dan hikmah merupakan barang orang mu'min yang hilang dimanapun ia mendapatkannya maka ia berhak atasnya. Kami memohon kepada Allah Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi dengan nama-nama-Nya yang baik dan sifat-sifat-Nya yang agung agar menyatukan hati-hati kaum muslimin di atas ketaatan kepada-Nya dan menyatukan barisan mereka di atas Al-Haq dan ittiba' (mengikuti tuntunan dan garis perjuangan yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam). Karena Dialah Yang Maha Kuasa atas hal tersebut. Semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada penutup para Nabi dan Rasul Nabi kita Muhammad, segenap keluarganya, sahabat-sahabatnya dan orang-orang yang meniti jejaknya dan mengikuti sunnahnya sampai hari kiamat.

Tuesday, September 26, 2006

Dorongan Untuk Mengikuti Sunnah

Dorongan Untuk Mengikuti Sunnah dan Peringatan Keras Dari Bid’ah Serta Penjelasan Mengenai Bahayanya
Penulis: Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-Abbad Al-BadrPenerjemah: Ummu Hafidz (Santri Ma’had ‘Ilmi Putri Lembaga Bimbingan Islam Al-Atsary)Muroja’ah: Ustadz Abu Salman (Pengajar Ma’had ‘Ilmi)

Muqoddimah
Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya dan memohon pertolongan dan ampunan-Nya. Kami berlindung kepada-Nya dari keburukan diri kami dan kejelekan amalan kami. Barang siapa yang Allah berikan petunjuk, maka tiada yang dapat menyesatkanya, dan barang siapa yang disesatkan-Nya maka tiada yang dapat memberinya petunjuk. Dan aku bersaksi bahwasannya tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwasannya Muhammad –shollallahu’alaihiwasallam- adalah hamba dan rasul-Nya. Allah mengutus beliau dengan petunjuk dan agama yang benar agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama dengan cara menyampaikan risalah dan menunaikan amanah serta menasehati umat. Dan bersungguh-sungguh berjihad di jalan-Nya. Ya Allah, shalawat, salam dan barokah semoga Engkau curahkan atas Nabi, keluarganya, sahabatnya dan siapa saja yang berpedoman dengan petunjuknya dan mengikuti jalannya hingga datangnya hari kiamat.Amma ba’du.Sesungguhnya nikmat Allah ‘azza wa jalla atas hambanya sangat banyak dan tidak terhitung. Dan kenikmatan tertinggi yang Allah berikan kepada manusia dan jin pada akhir zaman ini adalah dengan mengutus Rasul-Nya yang mulia Muhammad shollallahu’alaihiwasallam kepada mereka.
Nabi shollallahu’alaihiwasallam telah menyampaikan setiap risalah (ajaran) yang datang dari Allah kepada mereka dengan lengkap dan sempurna. Imam Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab Azzuhri – rohimahullah - berkata, “Risalah tersebut adalah dari Allah ‘Azza wa jalla dan kewajiban Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam adalah menyampaikannya. Sedang kewajiban kita adalah berserah diri sepenuhnya”. Imam Bukhori telah menjelaskannya pada pembahasan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala QS. Al-Maaidah 5:67 yang tercantum dalam bab Tauhid dalam kitab Shohihnya (Fathul Bari 13/503), Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. Yang artinya:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ
“Wahai Rasul, sampaikan apa-apa yang diturunkan oleh Rabbmu kepadamu dan jika kamu tidak melakukan itu, maka kamu tidak menyampaikan risalah-Nya.” (QS.Al-Maaidah 5:67)
Allah telah mewahyukan risalah-Nya yang agung kepada para rasul-Nya, sebagaimana terdapat dalam firman-Nya,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ
“Sungguh telah Kami utus pada setiap umat seorang Rasul untuk memerintahkan beribadah kepada Allah semata dan menjauhi taghuts”. (QS. An-Nahl 16: 36)
Dan firman-Nya,
لَقَدْ مَنَّ اللّهُ عَلَى الْمُؤمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُّبِينٍ
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika (Allah) mengutus seorang Rasul pada mereka dari kalangan mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya dan mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah. Dan sungguh orang-orang sebelum mereka berada pada kesesatan yang nyata”. (QS.Al-Imron 3: 164)
Sedangkan yang menjadi kewajiban bagi Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam adalah menyampaikan risalah. Dan penyampaian risalah ini telah dilaksanakan secara lengkap dan sempurna dari segala sisinya. Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa jalla,
فَهَلْ عَلَى الرُّسُلِ إِلاَّ الْبَلاغُ الْمُبِينُ
“Bukankah kewajiban para Rasul itu hanyalah menyampaikan (amanah Allah) dengan jelas.” (QS. An-Nahl 16: 35)
dan firman-Nya,
وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلا الْبَلاغُ الْمُبِينُ
“Kewajiban Rasul hanyalah menyampaikan (amanah Allah) dengan jelas.” (QS. An-Nuur 24:54)
Adapun yang menjadi kewajiban atas seorang hamba adalah berserah diri dan tunduk patuh kepada-Nya. Akan tetapi dalam hal ini, manusia terbagi menjadi dua, yaitu manusia yang diberi taufiq oleh Allah sehingga mengikuti jalan yang benar, dan yang kedua, sebaliknya yaitu manusia yang tidak mendapat taufik sehingga mengikuti jalan-jalan yang lain. Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa jalla,
وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan sungguh ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah! Jangan ikuti jalan-jalan lain yang akan mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikanlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa”. (QS. Al-An’am 6: 153)
Syari’at Islam Mempunyai Sifat Kekal, Umum dan Sempurna
Dan syari’at yang Alah turunkan kepada Rasul-Nya yang mulia Muhammad shollallahu’alaihiwasallam untuk disampaikan kepada umatnya mempunyai tiga sifat, yaitu kekal, umum dan sempurna.
Kekekalan Syari’at
Dan syari’at ini kekal hingga hari kiamat. Allah ‘Azza wa jalla berfirman,
ما كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَكِن رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ
“Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi”. (QS. Al-Ahzab 33:40)
Bukhori (71) dan Muslim (1037) dalam kitab Shohih mereka –rohimahumallah- telah meriwayatkan dari Mu’awiyah rodiallahu’anhu, ia berkata, “Aku mendengar Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda,
من يُرد الله به خيراً يفقهه في الدِّين، وإنَّما أنا قاسمٌ والله يُعطي، ولن تزال هذه الأمَّةُ قائمةً على أمر الله، لا يضرُّهم من خالفهم حتى يأتي أمر الله
“Barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan baginya, maka Allah pahamkan ia dalam masalah agama dan sesungguhnya aku hanya menyampaikan dan Allah yang memberi. Dan senantiasa umat ini teguh di atas perintah Allah, tidak membahayakannya siapa pun yang menyelisihinya hingga datang angin yang sepoi-sepoi (hari kiamat).”
Keumuman Syari’at
Dan syari’at islam bersifat umum bagi jin dan manusia yang mereka ini adalah umat Nabi shollallahu’alaihiwasallam yaitu umat yang menjadi objek dakwah. Sesungguhnya seluruh manusia dan jin sejak Nabi shollallahu’alaihiwasallam diutus hingga datangnya hari kiamat adalah umat yang tersentuh dakwah untuk masuk ke dalam agama yang lurus ini, yang karenanya Allah mengutus seorang Rasul yang mulia shollallahu’alaihiwasallam. Sebagaimana dalam firman-Nya ‘Azza wa jalla,
وَاللّهُ يَدْعُو إِلَى دَارِ السَّلاَمِ وَيَهْدِي مَن يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Dan Allah menyeru manusia ke Darus Salam (surga) dan memberikan petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus (Islam).” (QS. Yunus 10: 25)
Pada ayat yang mulia ini diisyaratkan adanya umat da’wah dan umat ‘ijabah. Umat da’wah adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya,
“Dan Allah menyeru (manusia) ke Darus Salam”
yaitu menyeru setiap dari mereka. Dalam ayat ini, objek kalimat yaitu “manusia” tidak disebutkan untuk memberikan makna umum (global).
Adapun umat ‘ijabah adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya, “Dan (Allah) memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus (Islam).”
Dan mereka yang diberi petunjuk oleh Allah kepada jalan yang lurus adalah mereka yang menerima da’wah Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dan masuk ke dalam agama yang lurus, dengan demikian maka jadilah mereka sebagai seorang muslim. Dan sampainya hidayah pada umat ‘ijabah sesungguhnya dikarenakan oleh keutamaan yang diberikan Allah dan taufik dari-Nya. Dan hidayah pada jalan yang lurus ini adalah taufik dari Allah pada mereka yang diberi petunjuk. Dan tidak ada yang memiliki hidayah ini (hidayah taufiq) kecuali Allah ‘Azza wa jalla, seperti dalam firman-Nya,
إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ
“Sungguh engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki”. (QS. Al-Qoshos 28: 56)
Adapun hidayah yang bersifat penjelasan dan bimbingan (hidayatud dilalah wal irsyad) maka sungguh Allah telah menetapkan hal tersebut pada Nabi-Nya shollallahu’alaihiwasallam sebagaimana firman-Nya,
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy-Syuura 42:52)
Maksudnya adalah memberikan petunjuk dan penjelasan kepada manusia. Dan diantara dalil-dalil yang menunjukkan bahwa dakwah Rasulullah meliputi manusia adalah firman Allah ‘Azza wa jalla,
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعاً
“Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai manusia! Sesungguhnya aku ini utusan Allah bagi kamu semua’”. (QS. Al-A’raaf 7: 158)
Dan sabdanya shollallahu’alaihiwasallam,
والذي نفسي بيده! لا يسمع بي أحد من هذه الأمَّة يهودي ولا نصراني، ثم يموت ولم يؤمن بالذي أُرسِلتُ به إلاَّ كان من أصحاب النار
“Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah ada seorang pun dari umat ini yang mendengar berita tentangku, baik umat Yahudi ataupun Nasrani kemudian mereka meninggal dalam keadaan tidak beriman kepada syari’at yang aku bawa kecuali mereka termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim no. 153)
Hadits ini sesuai dengan apa yang ada dalam kitabullah, sebagaimana yang dipahami oleh Sa’id Ibn Jubair – rohimahullah – dalam firman Allah ‘Azza wa jalla,
وَمَن يَكْفُرْ بِهِ مِنَ الأَحْزَابِ فَالنَّارُ مَوْعِدُهُ
“Barang siapa yang mengingkarinya (Al-Qur’an) di antara kelompok-kelompok (Quraisy) maka nerakalah tempat yang diancamkan baginya.” (QS. Hud 11:17)
Ibnu Katsir juga telah menjelaskan tafsir QS. Hud ayat 17 di atas dalam kitab Tafsirnya.
Dan dari dalil-dalil yang menunjukkan bahwa dakwah Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam juga meliputi para jin adalah firman Allah ‘Azza wa jalla,
وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَراً مِّنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآنَ فَلَمَّا حَضَرُوهُ قَالُوا أَنصِتُوا فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَى قَوْمِهِم مُّنذِرِينَ * قَالُوا يَا قَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا كِتَاباً أُنزِلَ مِن بَعْدِ مُوسَى مُصَدِّقاً لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ وَإِلَى طَرِيقٍ مُّسْتَقِيمٍ * يَا قَوْمَنَا أَجِيبُوا دَاعِيَ اللَّهِ وَآمِنُوا بِهِ يَغْفِرْ لَكُم مِّن ذُنُوبِكُمْ وَيُجِرْكُم مِّنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ * وَمَن لا يُجِبْ دَاعِيَ اللَّهِ فَلَيْسَ بِمُعْجِزٍ فِي الأَرْضِ وَلَيْسَ لَهُ مِن دُونِهِ أَولِيَاء أُوْلَئِكَ فِي ضَلالٍ مُّبِينٍ
“Dan ingatlah ketika Kami hadapkan kepadamu (Muhammad) serombongan jin yang mendengarkan (bacaan) Al-Qur’an, maka ketika mereka menghadiri (pembacaan)nya mereka berkata, ”Diamlah kamu! (untuk mendengarkannya)” Maka ketika telah selesai, mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan (29) Mereka berkata, “Wahai kaum kami! Sungguh, kami telah mendengarkan Al-Kitab (Al-Qur’an) yang diturunkan setelah Musa, membenarkan (kitab-kitab) yang datang sebelumnya, membimbing kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. (30) Wahai kaum kami! Terimalah (seruan) orang (Muhammad) yang menyeru kepada Allah. Dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Dia akan mengampuni dosa-dosamu, dan melepaskan kamu dari azab yang pedih. (31) Dan barang siapa tidak menerima (seruan) orang yang menyeru kepada Allah maka dia tidak akan dapat melepaskan diri dari siksaan Allah di bumi, padahal tidak ada pelindung baginya selain Allah. Mereka berada dalam kesesatan yang nyata. (32) (QS. Al-Ahqof 46: 29 – 32)
Dan Allah ‘Azza wa jalla berfirman dalam surat Ar-Rohman 55: 16,
فَبِأَيِّ آلاء رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
Firman Allah di atas ditujukan kepada manusia dan jin. Ayat ini juga disebutkan dalam surat tersebut sebanyak 31 kali.
Pada Sunan Tirmidzi (3291) dari Jabir rodiallahu’anhu ia berkata,
خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم على أصحابه فقرأ عليهم سورة الرحمن من أوَّلِها إلى آخرها فسكتوا، فقال: لقد قرأتها على الجنِّ ليلة الجنِّ فكانوا أحسنَ مردوداً منكم؛ كنتُ كلَّما أتيتُ على قوله: ((فَبِأَيِّ آلاء رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ))، قالوا: لا بشيء من نعمك ربَّنا نكذِّب، فلك الحمد
“Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam menemui sahabatnya dan membacakan kepada mereka surat Ar-Rohman dari awal sampai akhir dan mereka terdiam. Kemudian Beliau berkata,“Sungguh aku telah membacakan kepada jin di suatu malam. Maka respon mereka lebih baik dari kalian. Setiap kali aku membaca ayat, ‘Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?’ mereka berkata, ‘Tidaklah ada satupun dari nikmat-Mu wahai Robb yang kami dustakan, Maka segala puji bagi-Mu”. (Hadits ini mempunyai penguat dari Ibn Umar yang diriwayatkan oleh Ibn Jabir. Silahkan lihat takhrijnya pada Silsilah Shohihah Al-Bani no. 2150). Dan diantara surat-surat yang terdapat dalam Al-Qur’an adalah surat Jin, dimana dalam surat tersebut, Allah menceritakan beberapa perkataan mereka.
Kesempurnaan Syari’at
Adapan sifat yang ketiga dari sya’riat ini adalah sifat sempurna.
Allah ‘Azza wa jalla berfirman dalam Kitab-Nya yang agung,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku bagimu dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu” (QS. Al-Maidah 5:3)
Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda,
تركتكم على مثل البيضاء، ليلها كنهارها، لا يزيغ عنها إلاَّ هالك
“Kutinggalkan kalian dalan keadaan yang terang benderang, malamnya seperti siangnya. Tidaklah menyimpang darinya kecuali ia akan binasa.”
Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ibn Abu ‘Ashim dalam Sunnah (48) dari ‘Irbadh Ibn Sariyah rodiallahu’anhu dan juga diriwayatkan pula hadist (47) dari Abu Darda rodiallahu’anhu. Dan dalam Shahih Muslim (262) dari Salman rodiallahu’anhu, ia berkata, “Diceritakan kepada Salman, ‘Sungguh nabi kalian telah mengajarkan kepada kalian segala hal, hingga masalah buang hajat”. Maka Salman berkata, ‘Benar! Sungguh kami dilarang menghadap kiblat ketika buang air besar dan kencing, serta beristinja (membersihkan kotoran) dengan tangan kanan, dengan batu kurang dari tiga, dengan kotoran binatang atau tulang’”. Hadits ini menunjukkan kesempurnaan syari’at Islam dan di dalamnya tercakup segala hal yang dibutuhkan oleh umat ini, bahkan adab buang hajat sekalipun.
Dan dalam Shahih Muslim (1844) dari ‘Abdullah Ibn ‘Amr Ibn Ash rodiallahu’anhu, “Sungguh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda, ‘Sesungguhnya tidak seorang nabi pun sebelumku kecuali wajib atasnya untuk menunjukkan kepada umatnya tentang kebaikan yang diketahuinya dan memperingatkan mereka dari keburukan yang diketahuinya’”.
Imam Bukhori meriwayatkan dalam Shahihnya (5598) dari Abu Juwairiah, ia berkata, “Aku bertanya pada Ibn Abbas tentang Al-Badziq. Maka ia berkata, ‘Muhammad shollallahu’alaihiwasallam telah menjelaskan tentang badziq (salah satu minuman yang memabukkan –pent), maka setiap yang memabukkan adalah haram’. Abu Juwairiah bertanya, ‘Apakah itu minuman yang halal dan baik’. Ibn Abbas menjawab, ‘Tidak ada setelah halal yang baik kecuali haram yang buruk’”.Badziq adalah satu jenis minuman yang memabukkan, maknanya bahwa badziq tidak ada di zaman Nabi shollallahu’alaihiwasallam akan tetapi syari’at yang dibawa Rasul shollallahu’alaihiwasallam telah mencakup hal tersebut ataupun yang selainnya. Itu adalah keumuman dari sabdanya shollallahu’alaihiwasallam, “Setiap yang memabukkan maka dia haram”. Maka keumuman hadits ini menunjukkan atas tiap-tiap yang memabukkan, baik itu pada zaman Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam atau muncul setelah zaman Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, baik dia itu cair atau padat, maka dia haram. Dan apa-apa yang tidak mempunyai sifat seperti itu maka dia halal.
Termasuk juga dalam masalah ini perkara menghisap rokok yang muncul pada zaman sekarang ini. Pembahasannya sama dengan masalah badziq di atas. Syari’at dengan keumumannya menunjukkan atas keharamannya. Hal ini terdapat dalam firman Allah ‘Azza wa jalla kepada nabi Muhammad shollallahu’alaihiwasallam,
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَآئِثَ
“Dan dia menghalalkan bagi mereka kebaikan dan mengharamkan bagi mereka keburukan.” (Al A’raaf 7: 157)
Merokok tidaklah termasuk suatu hal yang baik, akan tetapi sebaliknya ia adalah suatu hal yang buruk. Oleh karena itu, merokok merupakan sesuatu yang diharamkan. Terlebih lagi rokok dapat menyebabkan penyakit yang menghantarkan kepada kematian, dan di dalamnya juga ada unsur penghamburan harta serta menganggu orang lain dengan asapnya yang berbau busuk. Semuanya itu merupakan indikasi atas keharamannya.
Dan Abu Dzar rodiallahu’anhu berkata, “Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam meninggalkan kami dalam keadaan tidaklah ada satu burung pun yang terbang dengan kedua sayapnya melainkan kami mempunyai ilmu yang datang dari Rosul”. Dikeluarkan oleh Abu Hatim Ibn Hibban dalam Shohihnya (65) dan beliau berkata makna perkataan “kami mempunyai ilmu yang datang darinya” adalah berkaitan dengan perintahnya, larangannya, berita-beritanya, perbuatan-perbuatannya dan persetujuannya (taqrir)”. Syaikh Al Bani menshahihkannya dalam Shohih Mawarid Dzomani dalam zawaid Ibn Hibban oleh Al-Haitsam (1/119).
Diantara ilmu yang kami ketahui dari Rasulullah tentang burung, diantaranya adalah yang telah diriwayatkan Muslim dalam Shohihnya (1934) dari Ibnu Abbas rodiallahu’anhu ia berkata, “Rasululah shollallahu’alaihiwasallam melarang kami untuk (memakan) setiap binatang buas yang memiliki taring dan setiap burung yang memiliki kuku pencengkeram (cakar) untuk membunuh mangsanya.”
Hadits ini menunjukkan atas pengharaman memakan setiap burung yang memiliki cakar yang digunakan untuk memangsa dan hadits ini adalah termasuk dalam Jawami’ul Kalim Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, hal ini berkaitan dengan hukum-hukum. Adapun yang termasuk dalam berita-berita (akhbar) dari Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam adalah sabdanya shollallahu’alaihiwasallam,
لو أنَّكم توكَّلون على الله حقَّ توكله لرزقكم كما يرزق الطير، تغدو خماصاً، وتروح بطاناً
“Sekiranya kalian bertawwakal kepada Allah secara benar maka Dia akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Allah memberi rezeki pada burung. Mereka berangkat pada waktu pagi dalam keadaan sangat lapar dan pulang dalam keadaan sangat kenyang”. (Hadits riwayat Ahmad, Tirmidzi, Nasai, Ibn Majah, Ibn Hibban, dan Hakim. Tirmidzi berkata, hadist ini hasan shohih. Dan ini termasuk salah satu hadits yang dimasukkan oleh Ibn Rajab Al Hambali ke dalam Al-Arba’in An-Nawawiyah (Jami’ul ‘ulum wal hikam -pent)).
Imam Ibn Qoyyim dlm kitabnya ‘Ilam Al-Muwaqi’in (4/375 – 376) ketika menjelaskan kesempurnaan syari’at, ia berkata, “Hal ini merupakan asas yang sangat penting dan bermanfaat yang disandarkan pada satu landasan, yaitu keumuman risalah Nabi shollallahu’alaihiwasallam, yang berkaitan dengan kebutuhan setiap hamba dalam hal pengetahuan, keilmuan dan amalan mereka. Sesungguhnya Nabi shollallahu’alaihiwasallam menjadikan umatnya tidak membutuhkan seorang pun selain beliau shollallahu’alaihiwasallam. Kebutuhan mereka adalah kepada seseorang yang menyampaikan risalah yang dibawa oleh Nabi shollallahu’alaihiwasallam. Dan risalah Nabi shollallahu’alaihiwasallam memiliki dua keumuman yang tidak bisa disempitkan maknanya, yaitu :
Keumuman berkaitan dengan utusan yang diutus kepada mereka.
Keumuman berkaitan dengan setiap yang dibutuhkan oleh setiap orang yang didakwahi dalam masalah pokok agama dan cabangnya.
Maka risalah nabi shollallahu’alaihiwasallam sangat sempurna, mencukupi, umum dan tidak membutuhkan yang selainnya, dan tidak akan sempurna keimanan seseorang kepadanya kecuali dengan menetapkan keumuman risalahnya dalam berbagai hal. Maka tidak ada seorang mukallaf pun yang terbebas dari risalahnya dan tidak ada satu macam kebenaran pun yang dibutuhkan oleh umatnya kecuali telah tercakup di dalamnya, baik itu mengenai ilmu ataupun perbuatan.
Sesungguhnya Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam telah wafat dan tidaklah seekor burung yang terbang di langit, kecuali telah Beliau jelaskan hal tersebut pada umatnya, serta mengajarkan kepada mereka segala sesuatu, seperti adab buang hajat, adab jima’, tidur, berdiri dan duduk, makan dan minum, naik dan turun kendaraan, safar dan mukim, diam atau berbicara, menyendiri dan bergaul, kaya dan miskin, sehat dan sakit. Dan menjelaskan perihal kehidupan dan kematian. Dan menjelaskan kepada mereka sifat-sifat Al-‘Arsy dan Al-Kursiy, malaikat dan jin, neraka dan surga, hari kiamat dan apa yang terjadi di dalamnya, sehingga setiap mereka seakan-akan melihat dengan kedua matanya. Beliau juga memperkenalkan kepada mereka sesembahan mereka dengan pengenalan yang sempurna hingga seakan-akan mereka melihat-Nya dan menyaksikan-Nya dengan sifat-sifat kesempurnaan dan keagungan-Nya. Dan memperkenalkan kepada mereka para nabi terdahulu dan kaumnya serta kebahagiaan dan kesengsaraan yang mereka alami hingga seakan-akan mereka hidup di tengah-tengah umat tersebut.
Nabi shollallahu’alaihiwasallam juga mengajarkan kepada mereka tentang berbagai kebaikan dan keburukan, dari yang terkecil sampai yang terbesar, yang belum pernah diajarkan oleh seorang nabi pun sebelumnya kepada umatnya. Dan Nabi shollallahu’alaihiwasallam memberitahu tentang perihal kematian dan kejadian yang ada setelahnya di alam barzakh beserta kenikmatan-kenikmatan dan adzab yang akan diterima oleh ruh dan badan, yang semua ini tidak diajarkan oleh seorang nabi pun selain Nabi shollallahu’alaihiwasallam. Begitu pula, nabi shollallahu’alaihiwasallam telah mengajarkan kepada mereka dalil-dalil tauhid, kenabian dan hari akhir. Dan juga mengajarkan bagaimana cara membantah tiap-tiap kelompok dari kalangan kaum kufar dan golongan yang sesat. Dimana bagi orang yang mengetahuinya maka tidak lagi membutuhkan kepada seorangpun shollallahu’alaihiwasallam, kecuali kepada orang yang menyampaikan perkara tersebut padanya dan menerangkan serta menjelaskan perkara yang masih samar baginya (yaitu Nabi shollallahu’alaihiwasallam). Dan begitupula, Nabi shollallahu’alaihiwasallam mengajarkan kepada mereka strategi dalam peperangan dan menghadapi musuh. Dan juga memberitahukan cara untuk memperoleh pertolongan dan kemenangan, yang jika mereka mengetahuinya, memikirkannya, dan menjaga hal itu dengan sebenar-benarnya, maka musuh tidak akan pernah berjaya selamanya.
Begitu pula Nabi shollallahu’alaihiwasallam mengajarkan kepada mereka tentang tipu daya iblis dan cara-cara yang dilakukannya, serta metode untuk menyelamatkan diri dari tipu daya iblis dan makarnya, juga cara yang mampu menolak keburukan iblis, yang mana manusia tidak membutuhkan cara tambahan selain dari yang diajarkan oleh Nabi shollallahu’alaihiwasallam. Dan Nabi shollallahu’alaihiwasallam juga mengajarkan tentang keadaan dan karakter jiwa manusia serta gejolak dan ambisinya, yang mana manusia tidak membutuhkan cara tambahan selain dari yang diajarkan oleh Nabi shollallahu’alaihiwasallam. Begitu pula Nabi shollallahu’alaihiwasallam mengajarkan tentang perkara kehidupan mereka yang jika mereka mengetahuinya dan mengamalkannya, sungguh mereka akan bahagia di dunia ini.
Kesimpulannya adalah, Nabi shollallahu’alaihiwasallam datang kepada mereka dengan segenap kebaikan dunia dan akherat. Dan Allah menjadikan umat Muhammad shollallahu’alaihiwasallam tidak membutuhkan seorang pun selain kepadanya shollallahu’alaihiwasallam.
Maka bagaimana mungkin seseorang bisa beranggapan bahwa syari’at-Nya yang telah sempurna perlu disempurnakan lagi dengan sesuatu yang tidak sempurna?! Seperti masih membutuhkan politik dari luar Islam yang akan menyempurnakan politik islam, atau membutuhkan analog, kebenaran, dan metode berpikir selain islam. Maka barang siapa yang beranggapan demikian; seperti orang yang berprasangka bahwasannya manusia masih membutuhkan rasul yang lain setelah Rasul shollallahu’alaihiwasallam maka hal tersebut tidak lain dikarenakan kebodohannya dan ketidakpahamannya terhadap syari’at yang dibawa oleh Rosullah shollallahu’alaihiwasallam. Berbeda dengan para sahabat Nabi shollallahu’alaihiwasallam yang telah Allah beri taufik. Mereka mencukupkan diri dengan syari’at yang Beliau shollallahu’alaihiwasallam bawa dan tidak membutuhkan kepada selainnya. Dengan itulah mereka mampu menyinari hati yang semula dalam keadaan gelap gulita dan dengan itu pula mereka mampu menaklukkan beberapa negara, seraya mereka berkata, “Ini adalah janji Nabi kami untuk kami, ini pula sebagai janji kami untuk kalian”.
-bersambung insya Allah-

Syubhat’ Seputar Universalitas Al-Qur’an 1

Syubhat’ Seputar Universalitas Al-Qur’an


Untuk meragukan Al-Quran, Kalangan Nasrani sering mengatakan, Al-Quran bukan untuk semua umat karena Al-Quran diturunkan di Mekkah dan hanya untuk orang Arab. Benarkah? [bagian pertama]
Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi *)“Al-Qur’an hanya untuk orang-orang Arab.” Pernyataan-pernyataan seperti ini memang kerap terjadi. Kasus-kasus yang meragukan dan menyerang Al-Qur’an sampai hari ini terus terjadi dan tak pernah henti. Isu yang digulirkan biasanya berkisar bila Al-Qur’an tidak universal dan hanya cocok untuk orang-orang Arab. Jika ‘syubhat’ ini dibenarkan, maka, seolah-olah Al-Qur’an adalah “tidak benar”, dan Nabi Muhammad SAW. adalah “nabi orang Arab”, bukan nabi untuk seluruh manusia.
Tak terkecuali di Indonesia, isu itu pun bergulir. Baru-baru ini, seorang diskusan Kristen mengirim posting yang meragukan “universalitas” Al-Qur’an ke forum
www.hidayatullah.com . Isinya ingin “meragukan” keyakinan umat Islam, bahwa Al-Qur’an hanya milik orang Arab, karena: Pertama, Al-Qur’an hanya untuk penduduk Mekkah dan sekitarnya. Dalil yang dikemukakan adalah Qs. 6: 92, 27: 91, 28: 85, 42: 7, dan Qs. 43: 31 & 44.

Kedua, Al-Qur’an hanya untuk bangsa Arab dan yang berbahasa Arab. Dalil yang dikemukakan adalah: Qs. 12: 2, 14: 4, 13: 37, 16: 103, 19: 97, 20: 113, 26: 193-195, 39: 28, 41: 3, 41: 44, 43: 3, 44: 58, dan 46: 12. Jika Al-Qur’an benar-benar hanya “milik orang Arab”, dengan demikian, Islam tidak cocok sedangkan Amerika, Belanda, Jerman, Inggris, Malaysia, Filipina, Thailand, Indonesia atau negara non-Arab lainnya. Karenanya, akan ada pembelokan bahwa selain Arab tak berhak mengklaim Al-Qur’an sebagai kitab suci mereka.

Biasanya, statemen seperti ini dikeluarkan kalangan Nasrani. Marilah kita cermati ‘syubhat’ seperti ini. Memang, pada mulanya – karena Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur – dakwa Nabi SAW. dan peran beliau terkesan sederhana. Meskpun demikian, ternyata – tanpa disadari oleh beliau – misinya universal. Hal itu diakui oleh Karen Amstrong dalam “Sejarah Tuhan-nya”.
Amstrong menulis, “Ketika mulai berdakwah di Makkah, Muhammad hanya memiliki konsep yang sangat sederhana tentang perannya. Dia tidak berpikir bahwa dirinya tengah membangun sebuah agama universal, melainkan keyakinan kuno yang mengajarkan keesaan Tuhan kepada orang-orang Quraisy. Pada mulanya dia bahkan tak pernah mengira harus berdakwah kepada suku-suku Arab selain penduduk Mekkah dan sekitarnya. (Qs. As-Syûrâ [42]: 7).

Dia tak pernah bermimpi akan membangun sebuah teokrasi dan mungkin sama sekali tidak mengetahui apa teokrasi itu: dia sendiri tak mesti memiliki fungsi politik di dalam pemerintahan, kecuali sebagai seorang nadzir, pemberi peringatan. (Qs. Al-Ghâsyiah [28]: 21-22). (Lihat, Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, Mizan, cet. VII, Terj: Zaimul Am, cet. VII, hlm. 197).

Tapi, kenyataan tidak demikian. Ternyata dakwah Nabi SAW. merupakan “dakwah universal”. Sehingga, kehadiran beliau dirancang oleh Allah SWT. sebagai rahmatan li’l-‘alamin. “Tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad), melainkan sebagai “rahmat” bagi alam semesta.” (Qs. Al-Anbiyâ’ [21]: 107,
“Dan Kami mengutusmu sebagai seorang rasul kepada manusia, dan cukuplah Allah sebagai saksi.” (Qs. Al-Nisâ’ [4]: 79, dan “Tidaklah Kami mengutusmu, melaikan bagi seluruh manusia: sebagai pembawa kabar gembira (basyiran) dan pemberi peringatan (nadziran).” (Qs. Saba’ [34]: 28).
Mekkah dan ‘Syubhat’ Universalitas Al-Qur’an

Ayat-ayat yang dijadikan dalil dalam “membatalkan” universalitas Al-Qur’an di atas perlu kita paparkan lebih rinci dan detail, agar dapat dipahami dengan benar– baik orang umat Kristen maupun umat Islam sendiri. Pertama, benarkan Al-Qur’an hanya untuk penduduk Mekkah dan sekitarnya?

QS. 6: 92 yang menyatakan bahwa agar Nabi Muhammad memberikan peringatan kepada Ummu’l-Qura dan sekitarnya (wa man haulaha). Dalam hal ini, Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H) dalam tafsirnya – ketika menjelaskan firman Allah wa li tundzira Umma’l-Qura wa man haulaha –menyatakan, “Sesungguhnya Kami menurunkan Kitab ini (Al-Qur’an) kepadamu wahai Muhammad sebagai pembenar (mushaddiq, afirmator) kitab-kitab yang turun sebelumnya.

Demikian, agar engkau memberikan peringatan tentang azab Allah dan murkanya di Ummu’l-Qura – yaitu Mekkah dan siapa yang berada di sekitarnya: Timur dan Barat – yang lari dari Tuhan mereka dan beralih kepada ‘tuhan-tuhan’ dan tandingan-tandingan –Tuhan – (al-andad), dan orang-orang yang mengingkari rasul-rasul-Nya dan orang-orang kafir.”
Kemudian, al-Thabari mengutip bebarapa pendapat. Pertama, pendapat dari al-Mutsani dari Abu Shalih → Mu‘awiyah ibn Shalih → ‘Ali ibn Abi Thalah → Ibnu ‘Abbas tentang firman Allah ( wa litundzira Umma’l-Qura wa man haulaha), maksud dari Umma’l-Qura: Mekkah dan sekitarnya: kota-kota ke arah Timur dan Barat.

Kedua, pendapat dari Muhammad ibn Sa‘id → dari bapaknya → dari paman bapaknya → dari bapak paman bapaknya → Ibnu ‘Abbas – tentang ayat yang sama – Umma’l-Qura: Mekkah, dan sekitarnya: bumi seluruhnya.

Ketiga, pendapat dari Muhammad ibn ‘Abd al-A‘la → Muhammad ibn Tsaur → Ma‘mar → Qatadah – ayat yang sama – ia berkata: Mekkah. Pendapat ini juga yang dikatakan oleh Ma‘mar, dari Qatadah, ia berkata: “Sampai kepadaku – berita – bahwa bumi dibentangkan dari Mekkah.
Keempat, pendapat Basyar → Yazid → Sa‘id → Qatadah – tentang ayat yang sama – : kami membicarakan bahwa Ummu’l-Qura: Mekkah, dan kami membicarakan bahwa dari Ummu’l-Qura itulah bumi dibentangkan.

Kelima, pendapat dari Muhammad ibn al-Husain → Ahmad ibn al-Mufadhdhal → Asbath → al-Suddi – ayat yang sama – : Ummu’l-Qura itu adalah Mekkah.

Ia disebut sebagai Ummu’l-Qura, karena rumah – tempat ibadah, Ka‘bah – yang pertama kali dibangun berada di atasnya. (Lihat, Abu Ja‘far Muhammad ibn Jarir, Jâmi‘u’l-Bayân ‘an Ta’wîli Āy al-Qur’ân, Cet: Dar al-Salama, Cairo, tahqiq: Ahmad ‘Abd al-Razzaq al-Bakari, Muhammad ‘Ādil Muhammad, Muhammad ‘Abd al-Lathîf Khalaf, dan Mahmoud Mursi ‘Abd al-Hamid, jilid IV, cet. I, 2005), hlm. 3262-3263).

Jadi, disebut Ummu’l-Qura, karena Mekkah itu “induk” seluruh kota bumi yang ada. Tanah di Mekkah secara ilmiah dipastikan sebagai tanah “tertua” dan merupakan pusat bumi oleh para geolog.
Tapi, ketika dipahami kata Ummu’l-Qura sebagai “Mekkah” saja, maka maknanya akan menjadi sempit. Padahal tidak demikian, Ummu’l-Qura itu merupakan sebutan bagi kota Mekkah, yang artinya induk kota-kota (al-qura, jamak dari kata al-qaryah). Maka ayat Al-Qur’an ini benar, tidak salah.
Bunyi QS. 27: 91 banyak disalah-pahami kalangan Nasrani hanya sebatas pada kata, “Aku hanya diperintahkan menyembah Tuhan negeri ini (Mekkah)..” Sehingga tiba-tiba menyiimpulkan bahwa Al-Qur’an tidak universal. Tentu saja keliru. ayat ini benar, Nabi SAW. hanya menyembah Allah: yang memiliki Ka‘bah, bukan Tuhan yang lain. Dan Ka‘bah bukan “milik khusus” orang Arab, sehingga Tuhan itu bersifat “nasionlis”.

Harap tahu, Ka‘bah dibangun pertama kali oleh Nabi Ibrahim dan anaknya Isma‘il yang di dalam Al-Qur’an disebut bukan “Yahudi”, tidak pula Nasrani, karena Taurat dan Injil diturunkan setelah Ibrahim. (Qs. 2: 140, 3: 65 & 67, Kejadian 11: 31, 14: 13, 32: 28).
Bahkan, Musa sendiri bukanlah seorang Yahudi, karena ia bukan keturunan Yehuda, melainkan seorang suku Lewi, keturunan Lewi (Keluaran 6: 16-20). Ini sangat berbeda dengan konsep Tuhan Yahudi: Tuhan khusus bangsa Israel saja. Jadi, ketika Nabi SAW. menyatakan “Tuhan negeri ini (Mekkah), itu sangat universal, karena tempat menyembah beliau adalah Ka‘bah, yang sudah ada sejak zaman Ibrahim ‘alayhissalam.

Selain itu, QS. 28: 85 juga banyak disalahpahami kalangan Nasrani. Ayat ini benar. Ayat ini menerangkan “janji Allah” kepada Nabi Muhammad, bahwa Allah akan mengembalikan beliau ke negeri kelahirannya, setelah beliau hijrah ke Madinah. Ini terjadi pada tahun VIII Hijriyah, yakni “Fathu Makkah” (Pembebasan Kota Mekkah).

Imam Jalaluddin al-Suyuthi menyebutkan Asbab al-Nuzul ayat ini. Ibnu Abi Hatim mengeluarkan – riwayat – dari al-Dhahhak bahwa beliau berkata: “Ketika Nabi SAW. keluar dari Mekkah dan sampai ke Juhfah, beliau merasa rindu untuk kembali ke Mekkah, maka Allah SWT. menurunkan ayat, “Inna al-ladzi faradha ‘alayka al-Qur’an lardduka ila ma’adin.” (Lihat, Jalaluddin al-Suyuthi, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, (Cairo: Maktabah al-Iman, ttp, hlm. 221).

Jadi, tidak ada kaitannya dengan klaim bahwa Al-Qur’an “tidak universal”. Ini juga menunjukkan bahwa janji Allah itu benar, dan Nabi SAW. benar-benar nabi-Nya yang penuh mukjizat.
Boleh jadi karena Nasrani dan Yahudi tak mengenal ilmu sanad, sebagaimana Islam, juga tidak mengenal ‘Asbab al-Nuzul’ dalam kitab suci mereka, maka wajar saja jika banyak hal dalam Al-Quran yang disalahpahami.

Sesatnya Sufi

SUFISME DALAM ISLAM

Oleh:

Mawlana Syaikh Muhamad Hasan Sahib Najafi Marhum
Mujtahid Bombay

Daripada Buletin Bulanan Ithna ‘Asyari Bombay

EBRAHIM TRUST, INDIA.


BISMI’LLAH AL-RAHMAN AL-RAHIM


SUFISME


Al-Tasawwuf (Sufisme)

Perkataan sufi berasal daripada perkataan Arab suf yang bermaksud “bulu” dan ia dihubungkan dengan huruf ya’ untuk menjadikannya sufi sama seperti Baghdad dan Hind yang ditambahi huruf i menjadikannya Baghdadi dan Hindi. Kata kerja tasawwuf juga merujuk kepada perbuatan menjadi seorang ahli sufi atau hukum dan amalan ahli sufi. Demikian juga, tasawwuf (sufisme) adalah kata nama abstrak daripada sufi, yang bermaksud kepercayaan dan amalan ahli sufi.[1]

Sejarah tasawwuf sudah lama, tetapi sejak bila sistem tersebut wujud tidak dapat dipastikan dengan tepat, tetapi dapat dibuktikan bahawa sistem tersebut menyusup masuk disebabkan amalan pengekangan dan penyucian diri oleh ahli-ahli sufi. Para pengikut yang menggantikan mereka telah membentuk dan merangka peraturan-peraturan tertentu.

Tasawwuf (sufisme) dalam Islam tidak pernah wujud semasa hayat Rasulullah (s.a.w) malahan tiada seorang pun di kalangan umat Islam dikenali sebagai ahli sufi. Tasawwuf (sufisme) menyusup masuk di kalangan umat Islam pada abad ke-2/8 dan dalam abad ke-3/9, orang-orang yang menganuti (mempercayainya) sudah biasa dikenali sebagai ahli sufi. Nabi Muhammad (s.a.w) dikatakan pernah meramalkan kelahiran orang-orang yang seumpama itu dan angkara jahat mereka.

Orang Islam pertama yang menjadi ahli sufi dan yang cuba sedaya mungkin menjadikan peristiwa ini sesuatu yang terkenal ialah Abu Hasyim al-Kufi al-Sufi dari kota Kufah. Ahli-ahli sufi muslim dikatakan mendapat tempat atau institusi mereka yang pertama di perkampungan Ramallah, di wilayah Syria yang telah didirikan oleh seorang Kristian yang kaya.

Kemungkinan terdapat rahsia yang tersembunyi menerusi pembinaan sebuah tempat atau institusi untuk ahli-ahli sufi muslim oleh orang Kristian. Tidak lain dan tidak bukan ia bertujuan untuk menanam benih tasawwuf di kalangan umat Islam dengan memindahkan pemikiran mereka dari masjid-masjid ke tempat atau institusi berkenaan, dan dengan demikian, bebas mengamalkan pengajaran mereka di institusi tersebut.

Pada mulanya hanya terdapat sekumpulan ahli sufi sahaja yang wujud tetapi kerana cita-cita pemimpin (sufi), banyak kumpulan mulai timbul dan setiap kumpulan menggunakan nama-nama yang berbeza bagi mereka dan kemudian dikenali dengan nama tersebut. Nama-nama pelbagai aliran (tariqah) sufi di antaranya adalah:

1. Wahdatiyyah.
2. Wasiliyyah.
3. Habibiyyah.
4. Wilaytiyyah.
5. Syarkiyyah.
6. Syamrakiyyah.
7. Kalandariyyah.
8. Malamatiyyah.
9. Haliyyah.
10. Hurriyyah.
11. Waqifiyyah.
12. Taslimiyyah.
13. Talkiniyyah.
14. Kahiliyyah.
15. Alhamiyyah.
16. Nuriyyah.
17. Batiniyyah.
18. Jurriyyah.
19. Usysyakiyyah.
20. Zurrakiyyah.
21. Jamhuriyyah.

Menurut keterangan Kitab Bahr al-La‘ali,[2] dikatakan terdapat banyak bahagian sufi di antaranya empat (4) adalah yang asal, sementara yang lain-lain adalah cabang-cabangnya. Empat (4) yang asal itu adalah:

1. Hululiyyah.
2. Ittihadiyyah.
3. Wasiliyyah.
4. ‘Usysyakiyyah.

Terdapat ahli sejarah menetapkan Wahdatiyyah dan Tanasukhiyyah sebagai ganti kepada Wasiliyyah dan ‘Usysyakiyyah. Kepercayaan-kepercayaan sufi amat berlawanan dengan Usul dan Furu‘ yang merupakan tunjang, dasar dan amalan Islam. Bukan itu sahaja, bahkan terdapat hadith-hadith Nabi (s.a.w) dan para Imam (a.s) yang menentang kepercayaan-kepercayaan tersebut.

Pendapat-pendapat Pemikir Islam Mengenai al-Tasawwuf

Berikut adalah pendapat para pemikir muslim mengenai al-tasawwuf. Dalam Kitab Jami (terj. Daripada Kitab Nafi) menyebutkan sebuah aliran sufi bernama Jamhuriyyah yang mempunyai bilangan pengikut yang ramai pada masa kini. Terdapat aliran-aliran lain seperti Rafaiyyah, Bakhtisyiyyah, Nur Bakhsyiyyah, Syah Ni‘matullah Ali Syahiyyah, Syisygari, Gunabadi dan sebagainya. Ahli sufi daripada aliran ini tersebar di seluruh negara Islam. Kepercayaan mereka tentang Allah adalah berdasarkan konsepsi al-Ittihad (iaitu alam seluruhnya adalah Allah).

Nama Sufi

Dalam kitab Bahr al-La‘ali[3] menyebutkan al-Qusyairi seorang sufi yang terulung telah mengatakan: “Sehingga tahun 200H, nama sufi belum wujud di mana-mana” dan dikatakan bahawa daripada Kitab Nafhat, Mulla Jami menyebutkan: “Bahawa orang yang pertama di kalangan orang Islam yang dikenali sebagai ahli sufi ialah Abu Hasyim. Kitab-kitab Syi‘ah dan Sunni yang lain turut menyokong kenyataan itu. Namun para pengikut Abu Hasyim ‘Uthman al-Kufi yang setia cuba mengangkat martabat atau nilai perkataan sufi dengan mengatakan bahawa sufi bermaksud Ashab al-Suffah yang merujuk kepada orang-orang miskin dan faqir yang kuat beribadah pada zaman Nabi (s.a.w) yang pada kebiasaannya berada di suffah di masjid Nabawi di Madinah.

Kenyataan atau teori ini dipalsukan untuk mengembangkan kegiatan mereka dan untuk menyesatkan orang ramai, dengan cara ini mereka dapat menarik orang ramai kepada tasawwuf dan selepas perbincangan yang sia-sia, mereka menyisihkan diri ke lembah kejahilan.Walau dalam keadaan apa pun, orang pertama dari kalangan muslim digelar ahli sufi ialah Abu Hasyim (‘Uthman) al-Kufi.

Alasan istilah Sufi:

Abu Hasyim al-Kufi dinamakan sufi kerana dia memutuskan hubungannya daripada urusan duniawi seperti para paderi Kristian. Biasanya, dia memakai pakaian suf dan percaya kepada inkarnasi (hulul) dan ittihad seperti orang-orang Kristian percaya kepada Jesus Christ. Dia menetapkan kedua-dua kepercayaan itu sebagai prinsip-prinsip asas tasawwuf. Namun, dia sendiri masih keliru sepanjang hayatnya kerana kedua-dua kepercayaan tersebut. Oleh itu, tidaklah dapat dipastikan sama ada dia percaya kepada hulul (inkarnasi) atau kepada ittihad (segala sesuatu adalah Allah).

Dikatakan dalam Kitab Usul al-Diyanat bahawa Abu Hasyim secara terbuka termasuk dalam kalangan Bani Umaiyyah (Amawi) dan al-Jabariyyah. Amawi atau Bani Umaiyyah adalah keturunan Umaiyyah, musuh Islam yang paling jahat sementara al-Jabariyyah pula percaya bahawa kedua-dua perbuatan baik dan buruk yang dilakukan manusia di dalam kehendak dan kekuasaan Allah, atau dengan kata-kata lain, Allah menyebabkan mereka melakukan perbuatan baik atau buruk, tetapi sebenarnya dia adalah lebih dari sekadar itu. Abu Hasyim pada hakikatnya seorang yang jahil dan tidak beragama, dan tujuannya mewujudkan tasawwuf adalah untuk merosakkan Islam.

Para Imam yang ma‘sumun (a.s) telah menunjukkan kebencian mereka terhadap tasawwuf.

Para pengikut Abu Hasyim sama ada mereka memakai pakaian daripada bulu atau tidak, dikenali sebagai sufi, dan dalam usaha untuk menunjukkan hubungan dengan Abu Hasyim, ada kalanya mereka dikenali sebagai al-Hasymiyyah – Abu Hasymiyyah, ‘Uthmaniyyah atau Syarikiyyah.

Siapakah Ashab al-Suffah

Ashab al-Suffah terdiri daripada orang-orang yang pada sepanjang zaman Nabi (s.a.w) menghabiskan hidup mereka di masjid-masjid. Bilangan mereka mencapai 480 orang. Mereka tidak mempunyai rumah untui didiami dan oleh kerana itu mreka mendiami masjid. Para penduduk Madinah biasanya memberikan makanan kepada mereka dan juga menyediakan keperluan-keperluan lain. Kemudian dengan perintah Allah, Nabi (s.`a.w) memindahkan mereka daripada masjid dan dengan meletakkan atap di bahagian platfom, memindahkan mereka ke Suffah iaitu suatu platfom dan dengan itu, mereka dikenali sebagai Ashab al-Suffah.

Dalam Kitab Rawdat al-Jannah, Abu Nu`aim menyebutkan dalam Kitab Hilyah al-Awliya’ bahawa selepas wafat Nabi (s.`a.w) perubahan menyudup masuk dalam kehidupan Ashab al-Suffah. Sebahagian daripada mereka masih tetap dengan kepercayaan-kepercayaan mereka tetapi sebahagian yang lain tertarik kepada duniawi dan menjadi pencinta duniawi. Keterangan lengkap mengenai Asbah al-Suffah diberikan dalam Kitab bertajuk Ahkam al-Masjid.

Golongan Sufi menyeret nama Ashab al-Suffah dan mengisytiharkan hubungan mereka dengan golongan itu semata-mata dengan tujuan untuk menjadikan nama sufi sebagai mulia dan untuk membuktikan kesahihan prinsip-prinsip mereka, tetapi ahli sejarah, para ulama dan para pengkaji telah mencatatkan selepas kajian dilakukan bahawa tiada dasar atau faktra (bagi mereka) mendakwa hubungan ini dan sebaliknya mereka cuba untuk menunjukkan hubungan dengan Ashab al-Suffah hanya dengan harapan untuk melonjakkan penyebaran kepercayaan-kepercayaan mereka.

Kenyataan salah mengenai hubungan Sufi dengan tokoh-tokoh terkemuka dalam Islam

Bahar mencatatkan suatu andaian dalam Kitabnya, Tarikh Tasawwuf-e-Nasre Farsi, h.178 mengenai tasawwuf, keadaan dan kemasukannya dalam kalangan orang Islam bahawa sukar untuk mendapatkan kepastian tentang permulaan tasawwuf. Sebahagian cuba untuk mengandaikan asal-usul tasawwuf menerusi Nabi (s.a.w) manakala yang lain pula kepada Ashab al-Suffah, seterusnya kepada Khalifah Abu Bakr dan yang lain pula kepada ‘Ali (a.s).

Andaian (Asumsi) Mengenai Asal-Usul Tasawwuf

Sebahagian berpendapat Tasawwuf (Sufisme) asalnya muncul daripada Greece dan ia adalah akibat daripada Falsafah Greek. Abu Rayhan al-Biruni (m.430H) dan tokoh-tokoh yang terkemudian berpendapat tasawwuf datang dari India dan akar umbinya adalah agama atau kepercayaan yang diperlihatkan oleh para Brahmin, cendekiawan dan tokoh-tokoh agama Buddha.

Mereka mengatakan pada abad ke-3H/9M, sekumpulan ahli bid`ah (Bid`atis) termasuk Husayn bin Mansur al-Hallaj telah pergi ke India untuk mempelajari ilmu sihir (simiya’), kuasa dan ilmu ghaib dan dari situ, mereka mempelajari prinsip-prinsip sufisme dan selepas itu, sebahagian daripada mereka menyelubungi idea-idea itu dengan pakaian Islam.

Sebahagian berpendapat Tasawwuf diciplak daripada agama Mani dari Iran. Seterusnya dikatakan bahawa para pengikut Mani yang menerima Islam dari aspek luaran semata-mata, biasanya mendakyahkan idea-idea keberhalaan (wathani) mereka. Ketika umat Islam dikatakan mengetahui taktik-taktik mereka, menganggap membunuh mereka adalah halal. Maklumat mengenai niat umat Islam itu menyebabkan mereka mengubahkan kaedah (metode @ manhaj) dakyah mereka. Mereka berhenti berdakwah secara terang-terangan sebaliknya mulai menyebarkan kepercayaan mereka menerusi tasawwuf, berpakaian dengan pakaian muslim dan ketika menyediakan formula untuk prinsip-prinsip mereka, mereka telah mengisytiharkan hubungan mereka dengan Ashab al-Suffah.

Merujuk kepada Kitab Abu Rayhan al-Biruni, Bahar mencatatkan dalam Kitab Tarikh Tasawwufnya bahawa perkataan sufi diambil daripada perkataan Sufiyah dimulai dengan huruf Sin dan perkataan kedua itu bermaksud “ falsafah “ dalam bahasa Greek.

Sebahagian umat Islam berpegang kepada pendapat-pendpat seperti itu dan kemudian mereka dinamakan Sufiyah. Selanjutnya, sebahagian mereka mulai percaya perkataan Sufiyah diambil daripada Ashab al-Suffah dan lain-lain pula mulai percaya bahawa ia diambil daripada perkataan Suf.

Apa yang ditulis oleh Abu Rayhan al-Biruni tentang perkataan Suf kelihatan dapat diterima tetapi pada pendapat saya[4] bahawa Suf yang bermaksud bulu kelihatan menjadi dasar @ asas tasawwuf. Ini kerana di khalayak ramai, mereka yang mengisytiharkan diri mereka telah menyisihkan diri mereka daripada aspek duniawi, biasanya memakai pakaian daripada Suf yang bermaksud bulu. Ini menyebabkan mereka dikenali Sufi.

Kenyataan ini disokong oleh pelbagai riwayat dan dapat diringkaskan bahawa mereka dinamakan Sufi kerana mereka biasanya memakai pakaian daripada bulu.

Ramalan Nabi (s.a.w) Mengenai Tasawwuf di Kalangan Umat Islam

Disebutkan dalam Kitab Hadiqat al-Syi`ah dan `Ayn al-Hayat dan lain-lain bahawa Nabi (s.a.w) memberitahu Abu Dhar al-Ghiffari:

“ Wahai Abu Dhar, pada masa-masa berikutnya akan ada suatu kelompok manusia yang memakai pakaian daripada bulu pada musim sejuk dan juga musim panas, dan yang menganggap diri mereka lebih mulia berbanding yang lain. Malaikat di bumi dan di langit akan melaknat manusia seperti itu.”

Hadith Nabi (s.a.w) ini menyebutkan perkataan Sufiyah telah dibentuk berdasarkan kalimah sufi (bulu). Terdapat hadith-hadith Nabi (s.a.w) yang lain membuktikan bahawa kalimah sufiyah mempunyai akar umbinya daripada suf (bulu).

Dalam Kitab Sawa’ al-Sabil[5] Sayyid Abu al-Hasan Sahib Mujtahid memetik hadith riwayat oleh Syaikh Baha’ al-Din Muhammad al-‘Amili @ ‘Allamah Syaikh Bahai yang wafat pada tahun 1030H dalam kitabnya, Jami ‘Abbasi (Punjabi).

Kebencian Rasulullah (s.a.w) Terhadap Ahli Sufi

Nabi (s.a.w) bersabda: “ Hari Qiyamat tidak akan datang hingga masa @ mendekati masa itu terdapat sekumpulan dari kalangan umatku muncul dikenali sufiyah.Sesungguhnya orang-orang dalam kumpulan itu adalah Yahudi di kalangan umatku. Oleh itu, mereka bukanlah daripada umatku, bahkan mereka lebih jauh berbanding orang yang kufur daripada agama dan mereka ditaqdirkan ke neraka.”

Kalimah sufiyah dalam hadith ini tida dimulai dengan huruf Sin tetapi dengan huruf sad, dan kalimah sufiyah bermula dengan huruf sad terbentuk daripada Suf yang bermaksud “bulu.” Oleh itu, dapatlah disimpulkan bahawa sekumpulan manusia di kalangan umat Islam dikenali sufiyah dikatakan demikian kerana pakaian bulu yang mereka pakai.

Celaan (Sabb @ ‘Itab) dan kata-kata kebencian yang digunakan oleh Nabi (s.a.w) kepada ahli Sufi dalam hadith tersebut, alasan yang kelihatan adalah kerana kekuatannya memahami peristiwa-peristiwa masa hadapan yang akan berlaku, baginda (s.a.w) mengetahui kelahiran ahli Sufi dan Tasawwuf di kalangan umat Islam, kepercayaan mereka tentang perkara-perkara haram sebagai halal, di samping pengabaian mereka terhadap syariah juga diketahui oleh baginda (s.a.w).

Ahli Sufi Membelakangi Syariah Islam

Sikap ahli-ahli Sufi yang mengabaikan syariah dapat dilihat daripada beberapa contoh. Dalam kitab Risalah[6] mencatatkan mengenai Mawlana Syams al-Din bahawa: “Mawlana Syams al-Din mengabaikan syariat dan bukanlah orang yang taat sama sekali. Kata-kata tersebut yang disebutkan kepada Mawlana Syams al-Din kelihatan digunakan kerana dalam suatu insiden diceritakan dalam kitab yang sama yang menjelaskan bahawa: “Mawlana Syams al-Din bertanyakan soalan berikut kepada Avhad al-Din al-Kirmani yang ingin menjadi muridnya, sama ada dia sanggup minum arak (nabiz) di hadapan khalayak ramai di pasar Baghdad? Kirmani menolaknya.

Mawlana Syams al-Din kemudian bertanya lagi sama ada dia akan membawa arak untuknya? Kirmani sekali lagi menolaknya. Akhirnya Mawlana Syams al-Din menanyakannya sama ada dia sanggup duduk di sebelahnya ketika dia minum arak? Soalan ini juga ditolak olehnya. Kemudian Syams al-Din dengan lantang memberitahunya supaya beredar.

Dicatatkan dalam Kitab Bahr al-La`ali bahawa dalam Kitab al-Mizan[7] oleh al-Ghazali, pengarang mencatatkan bahawa dia sendiri pernah bertanya salah seorang syaikh (Pir) Sufi bahawa dia ingin mengamalkan kepercayaannya menurut al-Qur’an sepenuhnya, tetapi dia melarangnya berbuat demikian.[8]

Tidak syak lagi bahawa di kalangan Sufi, kedudukan seumpama itu adalah biasa, yang pada kenyataannya jelas bercanggah dengan syariah sama sekali. Setiap orang Islam mengetahuinya dengan baik bahawa menentang syariah adalah menentang kehendak Allah dan kerana itu, Nabi (s.a.w) dan para Imam (a.s) menentang atau menyanggahi ahli-ahli Sufi.

Perbezaan Di antara Sufi dan ‘Arif

Sebahagian orang yang tidak memahami perbezaan di antara Sufi dengan ‘Arif. Mereka mengakui Sufi sebagai ‘Arif dan sebaliknya. Bagaimanapun terdapat perbezaan yang agak ketara di antara Sufi dan ‘Arif.

Sufi adalah seseorang yang dari segi luarannya memperlihatkan (sikap) meninggalkan duniawi, tidak mempedulikan hukum-hukum syariah dan percaya kepada doktrin Ittihad dan Hulul, sedangkan ‘Arif pula mempunyai ilmu tentang Allah (s.w.t), menjalani hidup menurut perintah Allah seperti ditetapkan oleh syariah. Orang yang tidak mentaati perintah Allah dalam syariah tidak dikatakan sebagai ‘arif.

‘Ali (a.s) berkata: “Syi‘ah (sahabat-sahabat)ku adalah ‘Arif (iaitu mengakui Allah, mereka bertindak mengikut perintah Allah), ‘Arif adalah orang yang mula dan berbicara perkara-perkara yang baik.”[9]

Definisi ‘Arif

Ahli falsafah ulung Islam, Bu ‘Ali Sina (Avicenna) (m.428H) membuat catatan dalam kitabnya, Isyarat bahawa: “‘Arif percaya kepada Allah tanpa sifat tamak sama sekali dan tidak mengharap kerana takut @ tamak tetapi melakukannya kerana dia menganggap Dia (Allah) layak disembah dan mempunyai pengetahuan mengenai-Nya.”

Berbicara tentang hubungan di antara ilmu Allah dan menyembah-Nya, telah dinyatakan dengan jelas oleh Amir al-Mu’minin (a.s) ketika beliau mengatakan: “Ya Allah, aku tidak menyembah-Mu kerana mendapatkan syurga-Mu tetapi menyembah-Mu kerana aku mengenali-Mu dan Engkau sahaja yang layak disembah.”

Seorang ‘Arif tidak memberikan perhatian kepada sesuatu selain daripada Pencipta (Khaliq) alam iaitu Allah, dan apa sahaja yang dilakukannya, dilakukannya kerana Allah semata-mata dan tidak mempedulikan makhluq yang berlawanan dengan Khaliq sama sekali dan tidak mencintai makhluq tetapi dia memberikan perhatian dan menyayangi makhluk dalam ketaatannya kepada perintah-perintah Allah.

Sebagai contoh, suatu hari Bibi Zaynab (a.s) bertanya kepada bapanya, ‘Ali (a.s): “Wahai bapaku! Adakah engkau mencintaiku dalam hatimu? Dijawab: Ya, anakku. Bibi Zaynab (a.s) bertanya lagi: Adakah engkau mencintai Allah? Dijawab: Ya, dan kini beralih kepada soalan seterusnya oleh Bibi Zaynab (a.s): “Bapaku! Bolehkah cinta kepada dua perkara berada dalam satu hati? ‘Ali (a.s) menjawab: Cinta yang hakiki adalah kepada Allah dan bagimu, cinta itu adalah dengan mengikut perintah-Nya.”

Keadaan mental seseorang ‘arif adalah seperti itu dan kini marilah kita melihat keadaan seorang sufi.

Dalam Kitab Mir’at al-‘Arifin[10] dicatatkan berkaitan dengan penyembahan Pir bahawa: “Bahkan sekiranya seseorang murid sedang bersalat, dia patut memberhentikan salatnya dan menghadirkan dirinya kepada Pir sekiranya dia memanggilnya. Sekiranya dia tidak memberhentikan salatnya, bererti dia telah memutuskan kedudukannya sebagai murid.”

Dalam Kitab Jami Tarjuma-e-Nafe[11] dicatatkan berhubung dengan kepercayaan ahli sufi bahawa: “Adalah wajar pada masa bersalat, murid menumpukan perhatiannya kepada Pir dan meniatkannya kepada Pir pada masa membaca kalimah-kalimah Iyyaka na‘bukudu wa iyyaka nasta‘in dalam salat.

Oleh itu, orang-orang yang berakal akan memahami perbezaan di antara Sufi dan ‘Arif iaitu perhatian ahli Sufi adalah terhadap makhluq manakala perhatian ‘Arif adalah terhadap Khaliq.

Ada ketika sebahagian ahli Sufi dilihat menghormati hukum-hukum syarak tetapi dari segi batinnya, mereka merupakan para penentang agama seperti disebutkan dalam kitab Mir’at al-‘Arifin,[12] para murid dinasihatkan bahawa: “Adalah mustahak bagi murid-murid tidak terikat dengan mana-mana agama kerana ia bukanlah tanda keilmuan, sebaliknya ia adalah sia-sia.”

Islam memerintahkan keterikatan kepada agama sedangkan ahli sufi bertindak berlawanan dengannya. Sesiapa sahaja melarang seseorang mengikut hukum-hukum agama adalah melawan Islam itu sendiri. Bagi orang-orang yang berkenaan, Allah mengeluarkan perintah dalam al-Qur’an: “Barang siapa mengingini agama selain daripada Islam tidak akan sama sekali diterima.” (Man yurid ghayr al-Islam dinan lan yuqbalah).

Hukum @ syariah Islam mengenai haram dan halal adalah berdasarkan apa yang disampaikan kepada Nabi (s.a.w) dan ia wajib diterima sebagai sebahagian daripada Imam. Nabi (s.a.w) menetapkan bahawa “apa sahaja yang dihalalkan oleh Muhammad (s.a.w) akan tetap halal sampai Hari Qiyamat dan apa sahaja yang dianggap haram akan tetap haram sampai Hari Qiyamat.”

Untuk melakukan sesuatu yang berlawanan dengan perintah-perintah Nabi (s.a.w) dengan secara sedar, tidak mahu patuh kepada syariah dan perundangan tentang halal dan haram boleh menyebabkan seseorang menjadi kafir. Mengubahkan pemikiran (minda) ke arah manusia tertentu pada masa mereka membaca Iyyaka na‘budu wa iyyaka nasta‘in juga secara mutlak berlawanan dengan ajaran Islam dan bahkan syirik. Ia dengan maksud menganggap seseorang sebagai sekutu Allah dan dengan berbuat demikian, salat tidak sah dan pelakunya menjadi musyrik.

Ma‘rifah – Salahfaham oleh Ahli Sufi

Perkara yang paling mendukacitakan adalah ma‘rifah (Allah) mengambil bentuk yang berbeza dalam tasawwuf dan akibatnya orang-orang yang jahil diselewengkan dari jalan yang benar. Ramai orang menyebutkan kalimah tasawwuf di bibir mereka iaitu mereka berbicara banyak mengenai tasawwuf tetapi jahil tentang perinciannya.

Hubungan Ahli Sufi Dengan Para Pengikut Semua Agama

Tida ragu-ragu lagi bahawa tasawwuf amat membingungkan kerana ia diperlihatkan dalam pelbagai bentuk dan walaupun ahli sufi secaa luaran bercampurgaul dengan para pengikut pelbagai agama namun orang-orang yang jahil dalam setiap agama tetap tidak sedar mengenai rahsia tasawwuf.

Dalam kitab berhubung dengan sejarah Iran, h.206, Sir John Malcolm memetik kata-kata tokoh Mujtahid Syi‘ah yang ulung dalam abad yang lepas iaitu Aqa Muhamad ‘Ali Kirman Syahi (a.r) dengan kata-kata: “Ahli Sufi menggunakan taktik-taktik penipuan mereka dengan memuji ‘Ali (a.s) ketika bercakap dengan golongan Syi‘ah dan memuji-muji para khalifah ketika bercakap dengan golongan Sunni.”

Mereka menjadi Syi‘ah ketika bersama dengan Syi‘ah dan menjadi Sunni ketika bersama-sama Sunni, tetapi pada hakikatnya mereka tidak beragama dan tidak syak lagi bahawa seseorang yang tidak mempunyai agama boleh bercampurgaul dengan para pengikut agama mana-mana sekalipun.

John Malcolm selanjutnya mencatatkan: “Aqa Muhammad ‘Ali Kirman Syahi telah membuat catatan dalam kitabnya tentang beberapa gambaran pelbagai kumpulan ahli sufi yang memperlihatkan kejahilan.

Ahli Sufi dibenci para Pengikut Semua Agama

Rasyid Yasmi yang menterjemahkan (Kitab Sejarah tulisan Mr. Edwards Brown ke Bahasa Parsi sebagai Tarikh Adabiate, mencatatkan pada h.272, kitab tersebut bahawa “kerana ahli percaya kepada prinsip Wahdat al-Wujud (segala-galanya adalah Allah), “para pengikut semua agama sama ada Syi‘ah, Sunni, Syaikhis, Babi @ Bahai, semua kejahatan mereka dan kerana itu Mr. Henry Martin mengumumkan bahawa dia dapat mengadakan hubungan dengan para mulla Syiraz yang kuat lebih mudah berbanding dengan ahli sufi kerana ahli sufi luaran (yang mabuk) tidak mempedulikan agama.

Mr. Martin mengatakan seseorang penganut agama selain Islam, tidak suka duduk bersama-sama dengan ahli sufi kerana menganggap mereka tidak layak untuk dijadikan kawan. Akibatnya orang-orang yang bijaksana harus berhati-hati dan menjauhkan diri mereka daripada dijadikan hamba oleh para musuh agama dan orang-orang yang mengenepikan ilmu yang hakiki dan juga harus cuba memahami apa sebenar ilmu itu, dan apakah bezanya di antara ahli sufi dan ‘arif dan bagaimana kepercayaan–kepercayaan ahli sufi berlawanan dengan agama.

“Keanehan kepercayaan dan pemikiran ahli sufi diperlihatkan dalam Kitab Bahr al-La`ali yang menyebutkan bahawa: “Apabila ahli sufi mencapai suatu peringkat kitab mengenai wisalat iaitu apabila dia menjadi ahli sufi yang sempurna menurut pengakuannya, dia bebas daripada semua peraturan dan hukum-hukum biasa dan apa sahaja yang dilakukannya, dianggap baik dan semua perbuatan-perbuatan dosa yang (diharamkan) seperti minum arak, berzina dan sebagainya dikatakan halal baginya.”

Pada h.72, Kitab Jame Tarjume Nafe, dicatatkan bahawa dengan latihan konsentrasi minda harian terhadap Pir pada masa membaca ayat Iyyaka na‘budu wa iyyaka nasta‘in, menjadikan seseorang sebagai ahli sufi yang sempurna dan selepas itu, dia tidak lagi perlu bersalat, dan tiada yang tersembunyi baginya dan dia sendiri (na‘uzu bi-Llah) menjadi tuhan dan menjadi objek penyembahan oleh makhluk.

Bukankah ajaran ini berlawanan dengan hadith Nabi (s.a.w), apa sahaja yang dikatakan halal oleh Muhammad (s.a.w) akan kekal hingga Hari Qiyamat dan lain-lain. Ia untuk menjelaskan hakikat tasawwuf.

Kritikan Bukan Tulisan Tetapi Ancaman semata-mata

Apa sahaja tulisan dengan rujukan kepada kitab-kitab yang muktabar bukanlah ditulis untuk mengkritik ahli sufi, tetapi adalah dengan niat mengemukakan jawapan untuk kepuasan hati para penanya dan untuk mencerahkan (pemikiran) orang ramai yang tidak sedar fakta (hakikat) sebenar tentang tasawwuf dan dengan itu dapat menyelamatkan mereka daripada kesesatan.

Berdasarkan keterangan sesetengah orang pada hari ini terdapat 4000 atau lebih agama yang wujud di dunia ini dan para pengikut setiap agama dikehendaki bertindak berdasarkan perintah-perintah agama mereka. Kita tidak memperhatikan hal itu, tetapi apabila didapati seseorang bertindak menyimpang daripada perintah-perintah mana-mana agama di dunia, atas nama agama dan dengan cara itu, menipu orang-orang yang jahil dan menyesatkan mereka, kita terpaksa ke depan sebagai suatu tanggungjawab untuk menjelaskan fakta-fakta sebenar di khalayak ramai dengan harapan orang ramai dapat memahami yang benar dan yang salah.

Tambahan lagi, Allah (s.w.t) telah menetapkan kewajipan ulama di kalangan ummah untuk menceritakan fakta-fakta sebenar kepada orang ramai (massa) dan dengan itu dapat menyelamatkan mereka daripada kehancuran. Mereka harus cuba melaksanakan tugas mereka, sama ada orang ramai sampai ke jalan yang benar atau tetap pada jalan yang salah akan bergantung kepada pilihan mereka masing-masing.

Perintah Nabi (s.a.w) Kepada Ulama Ummah Ini

Nabi (s.a.w) telah mengeluarkan perintah dan dicatatkan dalam Usul al-Kafi: “Apabila sahaja sesuatu yang bertentangan dengan peraturan dan hukum agama timbul, adalah menjadi tanggungjawab ulama untuk memperlihatkan keilmuan mereka, seandainya mereka gagal melakukannya, laknat Allah akan menimpa mereka.

Hadith lain pula menyebutkan: “Sesiapa yang mengetahui atau sedar akan sesuatu ilmu tertentu tetapi menyembunyikannya, akan dihukum pada Hari Qiyamat dengan hujanan api di mulutnya.”

Ahli Sufi Diakui Musuh Ulama Ummah Ini

Apabila tokoh pemikir menemui perkara-perkara yang bertentangan dengan hukum dan peraturan agama menyusup masuk, mereka wajib menyatakan fakta-fakta sebenar kepada orang ramai, biarpun para penentang agama menjadi marah.

Dalam dunia ini, terdapat banyak musuh kepada ulama daripada yang lain. Alasannya adalah kerana ulama secara berdepan menghadapi serangan para penyerang agama dan mendedahkan musuh tersembunyi kepada agama itu kepada orang ramai, dan mencela mereka. Begitulah juga metode Sufi. Mereka cuba sedaya upaya untuk memperlekehkan para ilmuan (ulama) bertujuan menghapuskan kesan dan pengaruh ulama dan untuk menyebarkan kepercayaan mereka di kalangan manusia.

Ahli Sufi cuba memperendahkan kedudukan ulama dengan memberitahu orang ramai bahawa: “Ulama adalah orang yang mengambil zahir hukum syarak sebagai penekanan mereka sedangkan mereka pula adalah Ahl al-Batin (iaitu orang yang mengetahui rahsia-rahsia yang tersembunyi). Namun adalah jelas bahawa hukum dan peraturan dalam Islam wujud adalah untuk kebaikan orang ramai dan ia terbahagi kepada dua bahagian:

i) Halal.
ii) Haram.

Halal adalah hukum yang dengannya perintah-perintah dikeluarkan untuk melakukan ibadah-ibadah tertentu seperti salat, puasa, zakat dan lain-lain. Haram pula adalah hukum dengannya perintah-perintah dilarang seperti zina, minum arak, mencuri dan sebagainya.

Kemanusiaan sebenar seseorang itu diketahui hanya daripada tindakan atau perbuatan yang dilakukannya. Seandainya baik, seseorang itu dianggap baik dan seandainya perbuatannya buruk, seseorang itu dikatakan jahat.

Ulama (dalam bidang) syariah menarik orang ramai ke arah kemanusiaan yang sebenar, mendedahkan diri mereka dengan menjadikan mereka para pengikut syariah dari segi amali, dan menggalakkan mereka untuk memperbaiki tingkahlaku dan perbuatan dan bertindak berdasarkan perintah-perintah Allah dan Nabi (s.a.w).

Sudah menjadi rahsia yang telah diketahui umum bahawa sesiapa yang melakukan sesuatu berdasarkan perintah Allah dan Nabi (s.a.w) biasanya menjadi manusia yang baik tetapi ia tidaklah mungkin demikian kepada orang yang dalam dirinya kelihatan jujur dan bersih tetapi luarannya jahat. Seandainya perbuatan luaran itu jahat, tindakan dalamannya pasti jahat. Oleh itu dikatakan: “Apa yang zahir itu adalah menjadi gambaran yang batin (tersembunyi).”

Secara ringkas, para pemikir (ulama) agama hanya mendakwahkan perkara-perkara seperti itu yang ditetapkan syariah. Namun, adalah menghairankan bahawa ahli sufi menjadikan diri mereka seperti tuhan menurut kepercayaan mereka, menganggap semua yang haram adalah halal bagi mereka.

Kepercayaan dan Amalan Ahli Sufi Yang Dibenci

Dalam Kitab Bahr al-La‘ali[13] menyebutkan: “Terdapat sekumpulan ahli sufi diberi nama Wasiliyyah yang percaya apabila mereka mencapai Allah, mereka menjadi ma‘rifah @ Ahl al-Ma‘rifah (ahli Ilmu Allah) dan kewajipan-kewajipan syariah seperti salat, puasa dan lain-lain tidak lagi mengikat mereka. Apa sahaja yang mereka lakukan dianggap baik.

Sekiranya mereka mengadakan hubungan haram dengan ibu @ nenek, adik perempuan, anak-anak perempuan atau budak-budak lelaki mereka sendiri, semuanya dianggap halal. Sekiranya mereka melakukan perbuatan-perbuatan jahat tidak adalah orang yang layak mengkritik mereka dan jika mereka menyebabkan orang lain berbuat demikian, ia juga dikatakan halal. Sekiranya Pir hendak mengadakan hubungan haram dengan mana-mana wasil dan wasil itu menolak, dia tidak lagi dikatakan sebagai wasil dan penolakan itu menjadikannya kufur dan sekiranya mana-mana wanita atau kanak-kanak yang bukan wasil menerima pelawaan untuk mengadakan hubungan haram, dia (wanita @ lelaki) mencapai kedudukan wilayah dan menjadi wali besar kerana dia (wanita @ lelaki) telah memuaskan (hati) wasil.

Orang-orang inilah yang tidak mempunyai Iman terhadap soaljawab dalam kubur selepas mati, pada hari Qiyamat atau pada hari Hasyr.

Apabila ulama ummah ini mengetahui kepercayaan mereka, adalah menjadi kewajipan mereka untuk memberikan amaran kepada orang ramai terhadap mereka dan menyampaikan perintah @ hukum syarak . Adakah mereka patut dipersalahkan kerana itu? Tidak, itu sudah menjadi tanggungjawab mereka berbuat demikian.

Penyamaran Ahli Sufi Untuk Menyesatkan Orang ramai

Sebahagian ahli sufi menyamar sebagai orang yang kuat beribadat dan memakai pakaian orang zahid tetapi dari segi batinnya, mereka adalah pencabul syariah yang amat menakutkan. Seandainya ulama dan pengarang Islam tidak mencatatkan salah laku mereka, orang yang jahil yang melihat aspek luaran mereka akan sesat daripada agama. Allah telah menetapkan ulama dengan kewajipan sebagai pemberi petunjuk semasa ketiadaan Nabi atau Imam untuk memimpin orang ramai ke jalan yang benar dan untuk menyelamatkan mereka daripada jalan yang salah.

Bumi tidak pernah ketandusan Ulama pada sebarang Masa

Dalam kitab Usul al-Kafi,[14] Abu Basir mencatatkan hadith Imam (a.s): “Allah tidak akan membiarkan bumi ini tanpa ulama (‘alim). Seandainya mereka tidak ada, tiadalah orang yang dapat membezakan yang benar dan yang jahat.”

Dalam kitab Mustadrak,[15] dicatatkan petikan daripada kitab Sahifah al-Rida bahawa “Suatu masa Nabi (s.a.w) mengulangi (perkataan berikut) sebanyak 3 kali: “Ya Allah, limpahkanlah rahmat-Mu kepada para khalifah-Ku. Orang ramai bertanya siapakah khalifah baginda. Baginda (s.a.w) lalu menjawab bahawa mereka akan menggantikanku. Mereka akan menceritakan sunnah dan hadithku dan dengan demikian, menyampaikan ajaranku kepada ummahku.”

Kedudukan para Ulama Dalam Islam

Dalam kitab Mustadrak,[16] oleh ‘Allamah Nuri, diceritakan bahawa Nabi (s.a.w) mengatakan: “Para ulama adalah pewaris Nabi.” Dalam h.52 pula hadith lain menyebutkan: “Ulama ummahku seperti para nabi Bani Isra’il.”

Pada h.188, diceritakan pula: “Ulama yang adil dan jujur pada setiap masa memikul tanggungjawab mengajarkan agama, menghalang penambahan dan pindaan oleh orang-orang jahil, mendedahkan dan menempatkan ide-ide yang salah yang menyusup masuk dalam agama di kalangan orang ramai yang telah disalahtafsirkan.”

Dikatakan Imam Muhammad al-Baqir (a.s) dalam Usul al-Kafi mengatakan: “Ulama dengan ilmu mereka yang orang ramai boleh mendapat manfaat adalah lebih mulia daripada 70 000 orang ahli ibadat yang berterusan.” Allah (s.w.t) melantik para ulama Syi‘ah Ithna-‘Asyariah untuk tujuan menyampaikan perintah dan hukum syarak, dan untuk mendedahkan perkara-perkara yang berlawanan dengan syariah yang menyerap masuk dalam agama.

Penyusupan Tasawwuf dalam Setiap Agama

Tasawwuf bukanlah menyusup masuk dalam Syi‘ah tetapi dalam setiap agama. Sebelum diperlihatkan bahawa tasawwuf telah berlangsung untuk suatu jangkamasa yang lama dahulu dalam suatu bentuk atau yang lain dan perkataan ahli sufi muncul di kalangan kaum muslim pada abad ke-2H/8M. Apa yang dimaksudkan adalah Tasawwuf muncul dengan pakaian Islam merupakan amalan-amalan yang dilarang oleh Islam seperti menari, menyanyi, Qawwali dan lain-lain yang diterima atas nama agama.

Dalam keadaan-keadaan tertentu, adalah menjadi kewajipan para ulama untuk mengingatkan golongan muslimin bahawa Nabi (s.a.w) tidak membenarkan (mereka) terlibat sama sekali dalam tarian, nyanyian @ Qawwali. Amalan atau perbuatan itu dilarang atas perintah Allah (s.w.t) dan bertentangan dengan amalan dan ajaran Nabi (s.a.w) dan para Imam (a.s).

Perbuatan @ Amalan bertentangan dengan agama oleh ahli Sufi

Perkataan dan akhlak luaran ahli sufi kelihatan menarik kepada orang yang jahil dan dengan sebab itu, mereka mudah tertarik kepada ahli-ahli sufi. Ahli sufi menggunakan kata-kata seperti ‘Asyiq ‘Ali (Pencinta ‘Ali), Muhibb Mawla (Pencinta tuan) @ kata-kata lain yang lebih disenangi, dan dengan cara itu mereka dapat menarik orang ramai yang mudah terpedaya dan terperangkap kepada mereka.

Sebahagian ahli sufi menarik orang ramai terhadap mereka dengan melagukan puji-pujian kepada Nabi (s.a.w) dan Panjatan Pak (a.s) dan mereka percaya bahawa Qawwali adalah suatu bentuk doa walaupun ia diharamkan oleh Islam.[17] Patut juga difahami bahawa perbuatan yang haram tidak boleh dijadikan halal dengan cara melakukannya untuk tujuan-tujuan yang baik, Sebagai contoh: Walaupun untuk tujuan kebajikan, duit yang diperolehi menerusi pelacuran tidak dibenarkan.

Begitu juga puji-pujian kepada Nabi (s.a.w) dan Panjatan Pak (a.s) menerusi Qawwali tidak dibenarkan. Berlawanan dengan keadaan itu juga, dilarang sama sekali menyebutkan nama Nabi (s.a.w) dan Panjatan Pak (a.s) dalam nyanyian @ Qawwali.[18] Tidak ragu-ragu lagi, lagu puji-pujian dan Qawwali adalah sesuatu yang menyeronokkan, yang dapat menarik hati tetapi punca menyebabkan tarikan adalah suara yang lunak dan sebutan yang baik dan bukanlah apa yang dilagukan itu. Oleh kerana tarian, nyanyian dan Qawwali bercanggah dengan perintah agama @ hukum syarak, untuk terlibat di dalamnya adalah haram dan ia samalah seperti suatu protes terhadap agama itu sendiri.

Pentafsir Sunni yang ulung, Jar-Allah al-Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya, al-Kasysyaf,[19] menyebutkan: “Orang yang mendakwa mencintai Allah dan bertindak atau berbuat sesuatu yang bercanggah dengan sunnah Nabi (s.a.w) adalah pendusta. Al-Qur’an juga turut mengumumkannya sebagai pembohong, ramai orang mungkin mendakwa cinta – Allah tetapi pada masa yang sama, dia kelihatan berpeluk tangan dengan gembira, dan juga mengulangi: Allah! Allah! Dengan suara yang kuat. Orang seperti itu tidak patut dikatakan mempunyai ma‘rifah Allah, bahkan lebih dari itu, dia tidak megetahui apa yang dikatakan hubb-Allah. Alasan di sebalik tepukan menunjukkan keseronokan dan suara yang kuat adalah untuk menunjukkan gambaran yang indah dengan kesedaran jahatnya dan menerusi kejahilannya telah memberikannya atas nama Allah.

Inilah alasan menyebabkan dia menjerit dengan kuat dan seronok! Kadang kala pada masa menjerit keseronokan itu, dia terlupa akan dirinya. Apabila orang jahil melihatnya dalam keadaan tersebut, mereka menjadi bersemangat dan air mata pun mengalir keluar.

Pada masa ini, parti-parti, nyanyian dan Qawwali diadakan pada banyak tempat, dengan lelaki dan wanita menyanyikan lagu. Wanita yang terlibat pula kebanyakannya terdiri daripada penyanyi profesional. Lelaki yang terlibat pula memukul tabla, “sarangees”, harmonium dan sebagainya untuk mengeluarkan bunyi.

Tidak ragu-ragu lagi, dari segi logik akal, etika (akhlak) dan pandang agama, amalan menyanyi dan Qawwali adalah bercanggah dengan agama. Kesan ini yang tercipta dalam hati manusia yang awam adalah disebabkan kejahilan. Mereka hanya dapat melihat kedudukan (posisi) luaran. Biasanya nyanyian dan muzik membangkitkan syahwat @ nafsu dan keinginan yang buruk dalam hati dan dengan demikian, perkara-perkara yang buruk tidak boleh menjadi benar walaupun ia dikemukakan atas nama kebenaran.

Sebahagian ahli sufi adalah Syi‘ah. Mereka terlibat adalam majlis ratapan Imam al-Husayn (a.s) dan berkelakuan seperti Syi‘ah tetapi adalah sesuatu yang memeranjatkan, mereka menganggap menyanyi dan parti (majlis) muzik lebih baik daripada majlis meratapi Imam al-Husayn (a.s).[20]

Asal-Usul Muzik:

Nyanyian @ muzik adalah ciptaan orang Yahudi dan Samiri telah memperkenalkannya. Samiri telah membuat patung anak lembu. Orang ramai lalu menari dan menyanyi apabila suara keluar daripada patung lembu itu. Oleh itu, bolehlah dikatakan bahawa parti-parti nyanyian muzik atau Qawwali pada masa kini adalah berbentuk ciplakan @ peniruan daripada Samiri.[21] Ia tidak menepati syariah Islam. Aku benar-benar melihat dengan mataku orang-orang mengamalkan (amalan) menurut syariah Islam di khalayak ramai tetapi semasa bersendirian, melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan agama dan terlibat dalam nyanyian, parti muzik @ Qawwali.

Parti seperti itu tidak boleh menjadi halal dengan menyanyikan pujian kepada Allah, Nabi (s.a.w), ‘Ali (a.s) dan Ahl al-Bayt (a.s) @ tokoh-tokoh personaliti yang terlibat. Orang-orang yang terlibat dalam nyanyian dan parti muzik berada di luar kawalan dan haram.

Dalam nyanyian @ muzik, apabila nama Ahl al-Bayt (a.s) @ mana-mana orang lain digunakan, ia tidaklah menyebabkan kesan yang baik tetapi seperti sawab tidak menjadi kenyataan dengan membina masjid dengan menggunakan duit yang diperolehi melalui curian, rampasan @ cara-cara yang tidak halal. Begitu juga menggunakan nama-nama tokoh @ personaliti yang bertaqwa, sesuatu yang salah tidak akan menjadikannya benar, benda yang haram tidak akan boleh menjadi halal.

Oleh itu, orang muslim dan Syi‘ah yang mendakwa diri sebagai orang yang beriman kepada Allah (s.w.t) dan para pengikut Nabi (s.a.w) serta para Imam ma‘sumun dan sepatutnya hendaklah mematuhi peraturan, hukum dan amaran yang ditetapkan Allah menerusi Nabi (s.a.w) dan para Imam dan tidaklah patut bertindak berdasarkan dorongan nafsu yang jahat.

Mereka patut tidak cuba menghebahkan perbuatan buruk mereka sendiri sebagai perintah @ hukum syarak. Mereka tidak boleh melanggar peraturan dengan menyanyikan puji-pujian kepada Ahl al-Bayt (a.s) dan orang-orang yang mulia dalam agama. Begitu juga amalan itu tidak dianggapkan sebagai halal.

Dalam ingatkan, bahawa anggapan perbuatan-perbuatan yang haram dikatakan halal @ memaksa yang lain-lain dan cuba untuk mengubahsuaikan syariah dengan cara itu berhak menyebabkannya menjadi sia-sia.

Ulama Sunni yang terkenal, Syaikh Ahmad Faruqi Naqsyabandi, seorang sufi dalam Kitabnya, Maktubate Rabbani,[22] melarang upacara nyanyian, parti-parti muzik atau melibatkan diri. Beliau mencatatkan bahawa: “Tokoh-tokoh cendikiawan Greece, bijakpandai, Brahmin Hind sangat terkesan dengan nyanyian dan muzik, tetapi tanda-tanda jalan yang benar adalah bahawa kita hendaklah mengikut peraturan hukum syarak, menjauhkan diri daripada perkara-perkara yang haram dan juga pada ketika seseorang berada dalam keraguan tentang perkara-perkara yang haram. Jelaslah, muzik dan Qawwali termasuk dalam lahw la`b (permainan yang melalaikan).

Keterangan al-Qur’an berikut mengharamkan muzik:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ(6)

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahw al-hadith) untukmenyesatkan (manusia) daripada jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu memperolehi azab yang menghinakan.”[23]

Dalam kitab yang sama dicatatkan bahawa Mujahid, seorang murid kepada Ibn ‘Abbas adalah salah seorang Tabi‘in yang dihormati menyatakan: “ Maksud (ayat itu) adalah nyanyian lagu-lagu dan juga bermain alat-alat muzik. Kemudian ketika meriwayatkan hadith dikatakan: “ Berhubung dengan nyanyian lagu-lagu dan bermain alat-alat muzik, terdapat banyak hadith yang menganggapnya sebagai haram. Tidak mungkin dapat dikemukakan semuanya di sini tetapi memadailah dikatakan tiada seorang ulama Kalam (teologi) dalam mana-mana zaman atau keadaan, memberikan pendapat @ fatwa bahawa nyanyian dan Qawwali @ sebarang bentuk muzik dihalalkan.

Dalam kitab yang sama, beliau dikatakan mencatatkan: “ Perbuatan atau amalan kaum sufi bukanlah mengesahkan (sesuatu) halal atau haram. Amalan atau perbuatan Abu Bakr al-Syibli, ahli sufi dan Abu al-Hasan al-Nuri, seorang lagi ahli sufi tidak boleh diterima sama sekali. Orang-orang yang dikatakan ahli-ahli sufi menjadikan amalan-amalan Pir mereka sebagai pedinding diri mereka dan mendakwa nyanyian dan muzik sama seperti agama dan mereka menganggapkannya sebagai suatu bentuk ibadah.

Al-Qur’an menjelaskan:

وَذَرِ الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَهُمْ لَعِبًا وَلَهْوًا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَذَكِّرْ بِهِ
أَنْ تُبْسَلَ نَفْسٌ بِمَا كَسَبَتْ لَيْسَ لَهَا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيٌّ وَلَا شَفِيعٌ

“ Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia. Peringatkanlah (mereka) dengan al-Qur’an itu agar masing-masing diri tidak dijerumuskan ke dalam neraka kerana perbuatannya sendiri. Tidak akan ada baginya pelindung dan tidak (pula) pemberi syafaat selain daripada Allah.”[24]

Dalam hadith dijelaskan: “Sesiapa yang menganggap amalan-amalan yang haram sebagai baik adalah kufr. Oleh itu, perlulah diketahui dengan sebenar-benarnya bahawa majlis nyanyian, Qawwali dan muzik dianggap sebagai faktor penyebab majlis Qawwali muzik dikatakan sebagai bentuk-bentuk ibadat pastilah ia membuktikan bahawa “ia boleh merosakkan” dan kacau-bilau sementara orang-orang yang menganggapkan aktiviti-aktiviti ini sebagai haram namun terlibat di dalam menjadi para pendosa.

Oleh itu, dinasihatkan agar mematuhi hukum syarak, tidak mentaati keinginan jahat dan tidak menghadirkan diri dalam majlis atau pertemuan dengan menganggapkan amalan itu sebagai haram.

Nyanyian dan Muzik memudaratkan

Nyanyian, muzik, Qawwali dan sebagainya diharamkan oleh syarak. Semuanya dikatakan memudaratkan ditinjau dari perspektif akal. Catatan ini bukanlah dengan maksud untuk menyerang mana-mana amal ibadat dalam agama tetapi sebagai jawapan kepada persoalan yang sering ditanyakan. Jawapan yang diberikan menurut hukum syarak dan menurut pandangan Syi‘ah Ithna ‘Asyariah.

Titik Perbezaan Di antara Mu’min dan Sufi

Tidak ragu-ragu lagi dalam dunia ini orang yang berkelakuan baik dan adil, memperbaiki hidup secara persendirian ataupun di khalayak umum adalah menjadi tanda-tanda “ kemanusiaan “ seseorang. Semuanya adalah daripada ajaran Islam. Islam mengajar kebersihan dalam segala tindakan secara terbuka mahupun tertutup, dan juga mengamalkan sifat taqwa.

Islam mengurniakan gelaran muslim kepada penerima agama dan menamakan orang-orang yang suci dan kuat beribadat yang mengikuti ajaran-ajarannya sebagai mu’min. Apalah pentingnya mengenepikan nama ini dan memanggil seseorang sebagai sufi? Seandainya tasawwuf dikira sebagai berdasarkan Islam dan hukum-hukumnya, ia harus dikatakan sebagai Islam.

Tidak perlu bagi seseorang murid dikenali sebagai ahli sufi muslim tetapi seandainya tasawwuf adalah jalan yang berbeza daripada Islam, murid-murid kepada perkara atau jalan itu biasanya dianggap sebagai penentang agama dan bukannya “salah seorang di antara dua atau lebih yang menganuti agama yang sama.”

Ahli Sufi – Wabak Penyakit Batin

Ramai yang dikenali sebagai ahli sufi dan Islam secara serentak, tetapi mereka didapati bertindak berlawanan dengan ajaran-ajaran Islam dan kerana itu, ulama Sunni dan Syi‘ah mengkritik mereka dan mendedahkan fakta-fakta mengenai mereka.

Ibn al-Jawzi dalam kitab Sifat al-Safwah[25] menyebutkan bahawa Abu Nu‘aim menuliskan kitabnya, dengan suatu bab tentang al-Syafi‘i:

“ Akar umbi tasawwuf adalah malas. Sesiapa yang menjadi ahli sufi pada awal hari, pada pagi akan menjadi si jahil sebelum tengahari.”

Beliau selanjutnya mengatakan: “ Saya banyak menulis mengenai tasawwuf dalam kitab saya, Talbis Iblis. Ibn al-Jawzi mengekalkan nama kitabnya tentang tasawwuf sebagai Talbis Iblis kerana kebanyakan ajaran dan amalan itu bertentangan dengan Islam. Atas alasan ini, para Imam (a.s) menasihati para pengikutnya menjauhi ahli sufi.

Dalam kitab Sawa’ al-Sabil[26] diriwayatkan bahawa seseorang menanyakan Imam Ja‘far al-Sadiq (a.s) mengenai pendapatnya tentang sekumpulan manusia yang menggelarkan diri mereka sebagai ahli sufi. Beliau mengatakan:

“ Mereka musuh kita, dan sesiapa yang menghubungkan diri mereka dengan orang-orang tersebut adalah bersama-sama dengan mereka dan akan bersama-sama mereka pada Hari Qiyamat.”

Mereka akan digantikan dengan orang-orang seperti itu yang mendakwa mencintai kami tetapi menghubungkan diri kepada mereka (ahli sufi). Mereka menjadikan diri mereka seperti ahli sufi dan memilih nama dan stail mereka (ahli sufi) bagi diri mereka dan cuba mempertahankan perbuatan-perbuatan mereka yang bukan berbentuk Islam. Selanjutnya, para Imam (a.s) menambah:

“ Perhatikanlah, awasilah sesiapa yang menghubungkan diri kepada mereka, bukanlah daripada kalangan kami, dan kami akan menyisihkan diri daripada mereka dan sesiapa yang enggan berhubung dengan mereka, penolakan mereka bolehlah diumpamakan seperti Jihad terhadap orang-orang kafir pada zaman Nabi (s.a.w).”

Hadith yang sama diriwayatkan oleh Muqaddas Ardabili dalam Hadiqat al-Syi‘ah, dicatatkan dengan rujukan kepada Isma‘il bin Buzaiq bahawa Imam al-Rida (a.s) berkata:

“ Seandainya ahli sufi disebutkan di hadapan seseorang dan dia tidak menyatakan penentangnya, dia bukanlah daripada kami, dan sesiapa yang menentang melantik mereka seperti seseorang dalam Jihad dengan orang-orang kafir pada zaman Nabi (s.a.w).”

Hadith riwayat oleh Imam al-Rida (a.s)[27] ditulis dalam Kitab Safinah Bihar al-Anwar dengan ‘Allamah al-Majlisi (a.r) mengatakan:

“Tiada seorang pun menerima tasawwuf kecuali untuk menipu dan menyesatkan orang ramai.”

Hadith riwayat Imam ‘Ali al-Naqi (a.s),[28] katanya:

“ Semua ahli sufi adalah musuh kami dan amalan mereka bercanggah dengan amalan kami dan mereka adalah orang-orang Kristian dan Yahudi umat ini.”

Banyak hadith lain turut mengatakan bahawa:

“ Amalan-amalan ahli sufi berlawanan dengan hukum Islam dan bertentangan dengan ajaran Syi‘ah. Amalan-amalan mereka bukan berbentuk Islam kerana sejarah mencatatkan mereka telah wujud beberapa ribu tahun sebelum Islam.”

Walaupun faktor utama kewujudan tasawwuf adalah disebabkan penolakan yang kuat terhadap diri dan kehidupan sebagai orang yang bertapa (petapa) namun kemudian para pengikut ajaran itu menerima ide-ide Greek, Mani, Mazdak, laku perbuatan golongan Yogis,” ajaran-ajaran orang Kaldaen, Mesir dan Syria, dan semuanya telah menyebabkan kelahiran “amalan” sufi.

Sistem ibadat ini menyusup masuk di kalangan orang Islam menerusi Abu Hasyim al-Kufi dan memakai jubah (khil‘ah) secara beransur-ansur tersebar di kalangan mazhab-mazhab yang berlainan yang menerimanya dan menerusi madhhab tersebut mereka pula menyebarkannya.

Sebahagian Syi‘ah menerima tasawwuf, menyebarkannya dengan nama Syi‘isme dan melakukannya kerana kepentingan duniawi dan hidup gembira atas dasar zuhud dan sebagai amalan fana. Mereka menjadi para pejalan (salik) di jalan fana dan jalan yang dikatakan hanya untuk orang yang meninggalkan dunia namun mereka bertentangan sesama mereka. Akibatnya, lahirlah banyak aliran dan aliran-aliran lebih kecil (sub-sekte) di kalangan mereka, yang juga menjadi penentang sesama mereka. Semua aliran itu menentang ulama Syi‘ah yang mendedahkan kelemahan dan memperlihatkan pemikiran mereka yang buruk. Mereka cuba menjatuhkan ulama dengan tuduhan-tuduhan palsu terhadap tentangan mereka kepada ajaran Nabi (s.a.w) dan para Imam. Oleh itu, mereka memerangkap murid-murid di dalam lingkungan dan persekitaran mereka.

Namun sebarang tindakan berhati-hati para Imam (a.s) (ma‘sum) telah menarik perhatian umat muslim dan menasihatkan mereka agar menyelamatkan diri daripada perangkap sufi. Dengan adanya, mereka akan mendapati setiap aliran bertentangan dengan yang lain dan amalan-amalan mereka berlawanan dengan Islam. Dalam Kitab Jame-Tarjuma-e-Nafe,[29] dicatatkan bahawa:

“ Kepercayaan ahli sufi biasa adalah ada tuhan selain Tuhan dalam setiap dasar dan dalam segala sesuatu. Dengan itu, mereka mengatakan kufr dan Islam, Ibrahim dan Namrud, Musa dan Fir‘aun, Muhammad dan Abu Jahl, ‘Ali dan Ibn Muljim, Husayn dan Yazid, mu’min dan kafir, semuanya adalah baik. Mereka menganggap anjing dan babi yang najis sebagai bersih yang jelas bertentangan dengan hukum syarak. Ada ahli sufi menganggap orang-orang kafir juga adalah bersih seperti orang-orang mu’min dan menganggapkannya halal untuk membeli barangan daripada mereka. Mereka tidak menganggap mana-mana orang yang muhram (diharamkan berkahwin) daripada seseorang.”

Kepercayaan lain adalah manusia bukanlah bebas melakukan sesuatu, mereka percaya Allah mempunyai jisim dan wajah. Mereka menamakan cinta Allah sebagai ‘Isyq dan mendakwa mempunyai ilmu batin untuk diri mereka. Mereka menganggap hukum-hukum syarak oleh Nabi (s.a.w) dan segala perintahnya sebagai ilmu zahir. Rahsia di sebalik penyebaran ide-ide itu adalah apa sahaja perbuatan jahat mereka sendiri melakukannya bolehlah diselindungkan sebagai berdasarkan ilmu batin. Mereka benar-benar mencela ajaran-ajaran agama dengan menamakan diri mereka sebagai ‘Ilm al-Zahir.

Mereka percaya kepada konsep Wahdat al-Wujud (setiap sesuatu itu Allah dan dengan itu, menganggap Fir‘aun, Namrud, Ibn Muljim dan lain-lain satu dengan Allah dan menganggap mencintai orang kafir adalah mencintai Allah, yang jelas berlawanan dengan ajaran al-Qur’an daripada Allah dan Abu Yazid al-Bistami tidak mati sebelum seluruh al-Qur’an diwahyukan kepadanya.

Mengenai al-Nubuwwah pula, kepercayaan ahli sufi adalah Nubuwwah ‘Ammah tidak terhenti, ia berterusan untuk semua dan sehingga Hari Qiyamah. Nubuwwah yang telah terhenti dan sempurna adalah Nubuwwah Tasyri‘iyyah iaitu kenabian membawa syariah.[30]

Pendapat Ahli Sufi Mengenai al-Nubuwwah

Secara umumnya, ahli sufi tidak menggunakan perkataan nabi tetapi menggunakan perkataan yang merujuk kepada pengertian nubuwwah dan mereka mengkritik orang yang mematuhi syariah dengan kata-kata: “Kamu menerima peraturan dan hukum daripada orang yang telah mati.” Suatu hari, beberapa orang ulama meriwayatkan beberapa buah hadith. Ahli sufi yang besar, Syams Tabriz mengkritik mereka: “Kamu orang ramai meriwayatkan hadith yang diucapkan oleh orang yang telah mati tetapi meriwayatkan menerusi Allah, dalam keadaan seperti ia dikatakan oleh satu hati.”

Inilah alasan mereka mengenai syariah dan amalan Ahl al-Bayt (a.s) dan ketua ahli sufi Abu Yazid berkata: “ Bendera kami lebih tinggi daripada Muhammad (s.a.w)”[31] dan juga Syams Tabriz mengatakan Syaikh Abu Yazid lebih mulia daripada Nabi Muhammad (s.a.w). Ketika Jalal al-Din al-Rumi bertanyakan Syams Tabriz, bagaimana dia boleh mengatakan Syaikh Abu Yazid lebih mulia daripada Nabi Muhammad (s.a.w) dijawab: Muhammad mengatakan: “ Ya Tuhanku! Kami tidak mengenali (ma‘rifah) Engkau sampai ke suatu tahap yang kami patut lakukan,” sedangkan Abu Yazid mengatakan: “Alangkah besarnya kedudukanku.”[32]

Persoalannya adakah syariah berdasarkan ajaran dan amalan Nabi (s.a.w), para khalifah dan Imam (a.s), atau syariah Islam hanyalah sebuah syariah dalam bentuk kata-kata, dan sama ada frasa yang diulangi dalam al-Qur’an iaitu Khatam al-Nabiyyin benar-benar membawa maksud atau ia hanyalah kata-kata semata-mata, atau sama ada orang-orang yang beriman kepada kepada doktrin “segala-galanya jelmaan Allah.” Proses Nubuwwah adalah berterusan, al-Qur’an diwahyukan kepada Abu Yazid, hukum dan peraturan diterima oleh ahli sufi secara langsung daripada Allah dan perbuatan mereka menentang syariah menerusi kasyf adalah benar (sahih), anggapan wasil (ahli sufi yang telah bersebati dengan Allah agar setipa sesuatu adalah untuknya, Allah) dapat dihormati sebaik-baiknya ataupun benar-benar murid-murid Ahl al-Bayt (a.s) dan para pengikut al-Qur’an?

Setiap orang yang rasional mengetahui Nubuwwah telah tamat, al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi (s.a.w) dan bukan kepada orang lain, perkara halal dan haram yang diperkatakan oleh Nabi Muhammad (s.a.w) akan kekal sehingga ke Hari Qiyamah tiada penambahan dan pindaan mungkin berlaku, Allah Maha Esa, Wahid dan Ahad, iaitu Wahid, Qadir, Mukhtar, Murid, Mudrik dan Mumit (Yang Mematikan). Hanya Dia sahaja menyampaikan perintah-Nya kepada para nabi dan memerintahkan manusia mengikuti mereka dengan firman-Nya:



وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ(7)

“ Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”[33]

Musaylamah al-Kadhdhab mendakwa menjadi nabi tetapi pernah berlaku orang-orang tertentu tidak mendakwa menjadi nabi secara zahir tetapi secara tidak langsung mereka mendakwa diri mereka menjadi tuhan atau nabi dan sebagainya. Oleh itu, para pencinta kebenaran tidak wajar menjadi hamba kepada kata-kata tetapi perlu menyelidiki bertujuan untuk mencari fakta. Orang yang meninggalkan penyembahan berhala, menerima Islam sebagai muslim, dan sekiranya dia menerima dasar-dasar Islam dan Iman dengan sepenuh hati, dia menjadi seorang mu’min. Apabila orang mu’min memperolehi sifat-sifat baik dan meninggalkan yang buruk, dia dikatakan muttaqi dan apabila dia melakukan tanggungjawab agamanya kerana Allah dia menjadi seorang mukhlis. Di manakah perlunya untuk dikenali sebagai sufi? Apakah kekurangan Islam menyebabkan orang ramai perlu bergantung kepada tasawwuf?

Islam memerintahkan segala amalan yang baik seperti persaudaraan, keadilan, cinta, berfikir dengan benar, zikr Allah, taqwa, ibadah, berani, takut kepada Allah, kasihan, pemaaf, simpati dan lain-lain. Islam melarang perbuatan-perbuatan tidak baik seperti iri hati, tamak, bangga diri, mencuri, berzina, berjudi, malas, menipu, zalim, mencela, meminta sedekah (mengemis), menari, menyanyi dan lain-lain. Dengan cara ini, Islam memerintah kepada kebaikan dan melarang keburukan, seseorang itu tidaklah perlu bergantung kepada amalan ibadah seperti tasawwuf.

Konsep-konsep Sufi berlawanan dengan Islam

Para Imam yang ma‘sum (a.s) sebagai pemberi petunjuk kepada kejujuran dan kemanusiaan, telah mengkritik ajaran dan amalan sufi yang bertentangan dengan Islam. Dalam bab “temubual ahli sufi dengan Imam Ja‘far al-Sadiq (a.s) dalam kitab al-Kafi, terdapat hadith yang menjelaskan bahawa sufi adalah berlawanan dengan Islam. Ahli sufi biasanya berbicara perkara-perkara yang berlawanan dengan kebenaran dan Imam (a.s) biasanya menjawab dan menerangkannya tetapi kejahilan menguasai hati dan mereka tidak dapat melalui jalan yang lurus.

Ahli sufi memperolehi zauq bagi menarik orang ramai terhadap mereka. Mereka bergaul dengan para pengikut agama lain, menjauhkan diri mereka daripada salat dan sebagainya dengan menjadikan mereka (orang ramai) percaya dengan cara meninggalkan hal-hal duniawi, cinta dan lain-lain sebagai perkara yang baik, dan menarik orang ramai ke arah diri mereka atas nama tafakkur (meditasi) dan zikr dan kemudian menyesatkan orangramai.

Islam juga memerintahkan meditasi dan zikr, cinta (‘isyq), taqwa, fikrah yang suci dan lain-lain tetapi ahli sufi melampaui batas. Mereka menjauhkan orang ramai daripada salat dan kewajipan-kewajipan lain. Biasanya orang-orang yang mencari keseronokan dan yang malas serta bebas secara khusus mengharapkan agar perbuatan-perbuatan buruk dijadikan halal oleh syariah. Mereka suka kepada ide-ide sufi dan tertarik terhadap tasawwuf yang jelas bercanggah dengan dasar Iman dan Syariah. Mereka gembira dengan idea-idea sufi dan tertarik kepada tasawuf yang jelas berlawanan dengan akidah dan syariah. Kaum Muslimin tersebut yang taat, melakukan amalan-amalan mereka dengan baik merupakan para pembaca al-Qur’an yang tetap dan mahir dengan hukum syarak, mengetahui sistem, kepercayaan dan akidah sufi adalah bertentangan dengan ajaran Islam.

Dalam surah al-Mu’minun pada 11 ayat yang awal dalam al-Qur’an, Allah (s.w.t) menggambarkan sifat orang mu’min yang berjaya iaitu:

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ(1)الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ(2)وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ(3)
وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ(4)وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ(5)
إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ(6)
فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ(7)وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ(8)
وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ(9)
أُولَئِكَ هُمُ الْوَارِثُونَ(10)الَّذِينَ يَرِثُونَ الْفِرْدَوْسَ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ(11)

“ Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (iaitu) orang-orang yang khusyuk dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri daripada (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas, dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.”[34]

Bagaimanapun, aneh sekali keadaan golongan sufi yang percaya setiap sesuatu dan setiap perbuatan sebagai baik, dan dengan kenyataan seumpama itu, mereka menarik orang ramai ke arah mereka. Terdapat suatu riwayat tokoh sufi[35] oleh Sayyid Syahrastani Mujtahid Karbala’i iaitu:

“Golongan sufi berpegang kepada bahawa tiada sesuatu harus dianggap buruk kerana setiap sesuatu mengandungi sebahagian Allah dan keadaan yang sama kepada kufur dan Islam; Ibrahim dan Namrud; Musa dan Fir‘aun; Muhammad (s.a.w) dan Abu Jahl; ‘Ali (a.s) dan Mu‘awiyah; Husayn (a.s) dan Yazid; orang beriman dan orang berdosa dan penzalim dan kena zalim dan berpendapat mereka semuanya sama sahaja.”

Kenyataan golongan sufi tersebut ternyata berlawanan sama sekali dengan logik akal dan terbukti bahawa tasawuf bukanlah sama sekali suatu jalan yang layak dan patut diikuti. Sekiranya kajian dilakukan daripada pelbagai mazhab sufi, didapati bahawa terdapat banyak sekali isu dan persoalan mereka itu berlawanan dengan Islam dan hukum syarak. Contoh: Malamatiyyah daripada Malamiyyah merupakan sebuah aliran sufi yang terkenal dan dihormati aliran-aliran sufi yang lain, percaya bahawa adalah amat wajar melakukan dosa seperti mengundang celaan dan cacian orang awam.

Dalam Kitab Jami Tarjumah-e-Nafs,[36] dinyatakan bahawa tokoh sufi Malamiyyah beranggapan berbuat dosa begitu penting hingga mereka mengatakan sekiranya arak tidak boleh diperolehi, jus perahan buah-buahan (pome-granates) boleh diisikan dalam botol dan hendaklah diminum di khalayak ramai, membenarkan orangramai mengambilnya sebagai arak, diikuti celaan dan tempelakan. Mereka mengatakan perbuatan baik dan buruk adalah disebabkan kehendak Allah dan kedudukan para pelaku dosa lebih tinggi berbanding ahli ibadat. Mereka berhujah bahawa khalayak ramai mungkin mencela dan menempelak mereka dan mengatakan bahawa ini adalah keadaan yang tidak boleh dicapai mana-mana ahli ibadat dan pengamal salat secara tetap. Semua tokoh sufi menghormati ahli-ahli sufi daripada mazhab ini, dan menganggapkan mereka sebagai tokoh-tokoh terkemuka di kalangan sufi.

Dengan memperlihatkan perbuatan buruk kaum sufi, tokoh sejarah terkenal, Nazir Jamalu’l-Din al-Qifti (m.646)[37] mencatatkan dalam kitab Akhbar al-Hukama’ bahawa “ Ahli falsafah Greek Reverend Jons telah memberikan latihan seperti ini kepada para murid atau pelajarnya iaitu mereka tidak akan terikat kepada mana-mana peraturan atau undang-undang apa pun, tetapi mereka boleh melakukan apa sahaja yang dikehendaki hati mereka…perbuatan-perbuatan tersebut sebagai sangat dibenci sebagaimana ……mengadakan jalan sebagai W.C.S mereka atau mengadakan hubungan dengan wanita secara terbuka atau mencium wanita yang telah menjadi isteri orang lain. Mereka dibenar melakukannya, dan kerana dengan perbuatan buruk itulah, maka mereka dikenali sebagai Kilabiyyah (pemilik sifat anjing). Sekumpulan orang tersebut wujud pada zaman kita dan mereka menamakan diri mereka Malamiyyah.

Apakah sesuatu dalam diri seseorang yang menyesatkannya

Para pembaca budiman sudah pasti mengetahui kini dengan sebenar-benarnya bahawa amalan-amalan sufi sama sekali berlawanan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Pada hakikatnya, mereka telah menanamkan kejahatan, kebebasan dan hawa nafsu sebagai tuhan mereka. Allah (s.w.t) telah berfirman mengenai golongan tersebut:

أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا(43)

“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?”[38]

Golongan tersebut tidak mengatakan dengan pemikiran mereka bahawa mereka menentang Islam, tetapi perbuatan dan amalan mereka ternyata bertentangan dengan Islam, dan bertindak berlawanan dengan Islam adalah polisi mereka, dan justeru itu, para Imam yang ma‘sum telah mengkritik mereka. Bukan itu sahaja, malahan mereka telah menasihatkan agar tidak menemui golongan itu. Imam ‘Ali al-Hadi (Imam ke-10) (a.s) telah memberikan penjelasan bahawa: “Berjumpa ahli sufi ketika mereka masih hidup dan menziarahi kubur mereka ketika mereka mati adalah sama dengan berjumpa syaitan dan menziarahi berhala. Sesiapa sahaja membantu mereka bererti membantu Yazid. Semua tokoh sufi adalah musuh kami dan amalan mereka berlawanan dengan amalan kami, bercanggah dengan ajaran kami. Mereka golongan Nasrani dan Majusi umat ini. Mereka cuba padamkan cahaya yang diterangi Allah (s.w.t), tetapi Allah (s.w.t) sentiasa menjadi pelindung cahaya-Nya dan menjadinya sempurna.
Usaha-usaha golongan sufi memadamkan cahaya Allah

Terdapat banyak usaha untuk memadamkan cahaya Allah. Salah satu yang termasuk dalam agama adalah mengisytiharkan perkara-perkara yang berlawanan dengan agama sebagai harus dan menjadikan sesuatu perkara atas nama (sebahagian) daripada agama, menyebarkan (ajaran itu) di kalangan orang ramai dan menamakannya sebagai amal salih dan suci, dan dengan demikian, mereka mencela khalayak ramai. Sesungguhnya orang-orang seperti itu menyamar atas nama agama dengan cuba memadamkan cahaya Allah (s.w.t) tetapi Allah (s.w.t) telah berjanji dalam al-Qur’an untuk menjaga agama universal untuk manusia iaitu Islam.

Islam telah mengajar keesaan Allah (s.w.t) dengan cara ini: “Allah Maha Esa, Esa bahawa tiada dua selepasnya. Dia bebas daripada sebarang pertanggungjawaban. Dia tidak mempunyai teman, isteri atau isu-isu. Dia telah menciptakan semua perkara dan Dia Maha Berkuasa dan tidaklah halal untuk menyembah sesiapa yang lain selain Dia sendiri sahaja.” Namun, kaum sufi menganggap seluruh dunia sebagai penjelmaan Tuhan. Dicatatkan dalam kitab Fath al-Mubin,[39] bahawa “ahli-ahli sufi menyatakan Tuhan bukanlah wujud yang berbeza daripada alam dan oleh itu, mereka menganggap menyembah sesuatu dan setiap benda sama seperti menyembah Tuhan.”

Dalam kitab yang sama,[40] diceritakan menerusi Syaikh Muhyi’l-Din ‘Arabi bahawa “sesiapa sahaja menyembah berhala menyembah Tuhan.” Kepercayaan ini dan kepercayaan-kepercayaan Hindu adalah satu dan sama dan tiada bezanya. Kepercayaan Hindu telah disebutkan dalam kitab Tuhfat al-Hind[41] tetapi orang-orang yang menarik orang ramai ke arah tasawuf menerusi sistem berpengikut tidak pula mendedahkan fakta ini.

Bahkan kanak-kanak muslim mengetahuinya dengan jelas bahawa kenabian berakhir dengan Nabi Muhammad (s.a.w). Baginda (s.a.w) merupakan nabi terakhir daripada sekalian nabi, dan justeru tiada seorang jua pun diiktiraf sebagai nabi selepas baginda (s.a.w), tetapi ahli-ahli sufi percaya bahawa kenabian masih berterusan dan mereka menamakannya sebagai Nubuwwah ‘Ammah iaitu kenabian umum, manakala kenabian yang berakhir dengan Nabi Muhammad (s.a.w) dinamakan oleh mereka sebagai Nubuwwah Tasyri‘iyyah (kenabian dengan syariah).[42]

Sujud (sajdah) ahli-ahli Sufi kepada orang mati ataupun hidup

Untuk memenuhi matlamat mereka, ahli-ahli sufi menggunakan perkataan-perkataan tertentu dengan berhati-hati untuk mengelakkan kritikan orang ramai terhadap mereka. Disepakati umum bahawa menurut ajaran Islam, melakukan sajdah (sujud) hanyalah kepada Allah (s.w.t) dan tiada seorang pun layak mendapat penghormatan. Diceritakan bahawa pada bahagian 2 kitab Majma‘ al-Bayan, yang merupakan tafsiran al-Qur’an bahawa “seorang Arab berhasrat melakukan sajdah kepada Nabi (s.a.w) tetapi baginda (s.a.w) menghalanginya sambil memberitahunya bahawa sajdah hanya dibenarkan kepada Allah (s.w.t) dan untuk Allah (s.w.t) semata-mata. Ia tidak dibenarkan kepada selain Allah (s.w.t) tetapi ahli-ahli sufi menganggap sajdah kepada Pir (pemimpin agama) mereka dibenarkan (lihat kitab Mir’at al-‘Arifin) tetapi untuk menghindari kritikan, mereka mengatakan sajdah kepada Pir itu adalah sajdah ta‘zim (kerana penghormatan semata-mata).

Amalan ahli sufi menuntut seseorang agar mengingati Pir mereka atau bahkan dalam akal fikiran mereka pada masa membacakan ayat:

“Iyyaka na‘budu wa iyyaka nasta‘in” نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ إِيَّاك

“iaitu hanya Engkau kami sembah dan kepada Engkau kami meminta pertolongan.[43]

Dicatatkan dalam kitab Jami Tarjumae Nafe[44] bahawa “seseorang murid (pengikut) hendaklah menumpukan perhatiannya terhadap Pirnya pada masa membawa “Iyyaka na‘budu wa iyyaka nasta‘in” dengan mengucapkan perkataan tersebut kepada Pir.

Bersujud di hadapan seseorang selain daripada Allah (s.w.t) atau menumpukan perhatian adalah “syirik” dan menjadi tanda dan bukti penyembahan berhala. Oleh itu, sesiapa sahaja yang memujuk orang ramai bersujud kepada sesuatu selain Allah (s.w.t) atau menumpukan perhatian kepada sesuatu yang lain daripada Allah (s.w.t) semasa bersalat, tidak berkaitan sama sekali dengan Islam dan menganuti agama berhala kerana perbuatan seumpama itu bertentangan dengan perintah Allah (s.w.t) dan Rasulullah (s.a.w). Dalam al-Qur’an, Allah (s.w.t) berfirman:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“ Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”[45]

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ(45)

“ Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”[46]

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ(47)

“ Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq.”[47]

Ahli-ahli sufi percaya sujud (sajdah) kepada Pir adalah dibenarkan. Demikianlah selanjutnya, kepada apa sahaja perintah yang dikeluarkan ……………

Sa‘adi, Firdawsi, Hafiz Shirazi, Shakespeare, Tagore, Iqbal dan lain-lain telah menuliskan hasil sastera penuh dengan nasihat dalam bentuk prosa dan puisi. Untuk memperlihatkan nasihat-nasihat yang bijaksana dalam bentuk prosa atau puisi tidaklah boleh diambil sebagai bukti kenabian.

Tanpa ragu-ragu lagi, kita boleh mengatakan bahawa musuh-musuh Islam menentang Islam dengan pelbagai cara, sebahagian menerusi perang dan pertempuran, sebahagian menerusi hadith-hadith salah dan menyebarkannya sebagai benar, sebahagian seperti Ibn Muqaffa‘, Ibn Abi Awja dan lain-lain yang menentang al-Qur’an dan menyediakan Qur’an baru ciptaan mereka sendiri tetapi tidak berjaya.

Dengan cara yang sama, untuk menimbulkan huru-hara dan kelam-kabut dalam Islam, ahli-ahli sufi memperlihatkan isu-isu yang jelas berlawanan dengan Islam sebagai Islam dan menyebarkannya. Seseorang muslim seharusnya cuba membezakan kebenaran dan kepalsuan dan menjauhkan diri daripada para pendusta dan menghindarkan diri daripada terlibat dalam permainan kata-kata. Allah (s.w.t) telah menetapkan ketaatan kepada Rasulullah (s.a.w) sebagai tangga kepada cinta-Nya. Dia telah firmankan:

يَوْمَ تَجِدُ كُلُّ نَفْسٍ مَا عَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ مُحْضَرًا وَمَا عَمِلَتْ مِنْ سُوءٍ تَوَدُّ لَوْ أَنَّ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ أَمَدًا بَعِيدًا وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ(30)

“ Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebaikan dihadapkan (ke hadapannya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya, dia ingin kalau kiranya antara dia dengan hari itu ada masa yang jauh, dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa-Nya), dan Allah sangat penyayang kepada hamba-hamba-Nya.”[48]

Pendapat ahli-ahli sufi mengenai Hajj

Haji di Ka‘bah adalah salah satu rukun Islam dan menentangnya menyebabkan seseorang muslim boleh menjadi kafir. Nabi (s.a.w) telah memerintahkan kaum muslimin dengan peringatan supaya menunaikan haji bagi yang berkemampuan, berkebolehan dan yang berkuasa. Jelas dalam hadith-hadith bahawa jika sesiapa sahaja yang mampu (istita‘ah) tetapi tidak menunaikan haji, dia akan dipanggil pada akhir hayatnya: “ Wahai engkau (yang tidak menunaikan haji), matilah seperti mati orang Yahudi, Nasrani atau Majusi.”

Walaupun terdapat amaran seperti itu, tasawuf mengajarkan sesuatu yang berlawanan dengannya, dan dalam pelbagai keadaan atau cara, ahli sufi cuba melemahkan dasar-dasar haji.

Sayyid Murtada Dai Razi dalam kitabnya, Tabsir al-‘Awwam,[49] mencatatkan bahawa: “Abu Yazid al-Bistami (m.261H) selalu mengatakan bahawa dia bermusafir ke langit tetapi tidak melihat sesuatu di sana. Ahli sufi yang sedang duduk di sebelahnya berkata, dia pergi pada setiap hari ke Ka‘bah atau melakukan tawaf. Dia bahkan mengulanginya dua atau tiga kali. Apabila mendengarnya, Abu Yazid al-Bistami berkata: “Orang yang berziarah ke Ka‘bah secara bersendirian pada setiap malam adalah lebih baik daripada dirinya (ahli sufi). Alangkah sesatnya!”

Maksud kata-kata Abu Yazid al-Bistami adalah cukup jelas iaitu adalah tidak wajar untuk menunaikan haji bagi seseorang yang Ka‘bah itu sendiri menziarahi dirinya. Mereka menyelewengkan orang jahil dengan kata-kata yang salah dan tidak berguna.

Nabi (s.a.w), para Imam dan ulama terkemuka selalu menunaikan haji, ‘umrah dan sebagainya dan biasanya mereka menasihati orang lain dengan kuat agar menunaikannya, sedangkan ahli sufi pula, jelas berlawanan dengan hadith-hadith, telah mengisytiharkan diri mereka pula sebagai mazur (objek ziarah) dan menganggap Ka‘bah sebagai za’ir (penziarah). Kita menjadi bingung untuk memahami apa sebenarnya tanggapan mereka mengenai Ka‘bah? Adakah ia hanya dinding, batu, pintu dan atmosfera atau apa? Sesungguhnya Ka‘bah adalah tempat suci yang kerananya, diwahyukan dalam al-Qur’an:

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ(96)

“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkati dan menjadi petunjuk kepada semua manusia.”[50]

Ka‘bah merupakan suatu pusat dan dirancangkan untuk tujuan ini iaitu orang ramai boleh menziarahinya dan mengingati Allah (s.w.t) dan memperlihatkan tanda-tanda kesatuan dan persaudaraan seperti Nabi Ibrahim, Isma‘il dan para nabi lain telah lakukan, namun ahli sufi, Abu Yazid al-Bistami dengan perasaan angkuh telah mengucapkan kata-kata yang tidak berguna dalam bentuk penghinaan terhadap Ka‘bah yang dalam apa-apa keadaan sekalipun tidak boleh dimaafkan. Dengan menyatakan Ka‘bah sebagai za’ir (penziarah), dia ingin menjelaskan kepada murid-muridnya agar bertawaf di sekelilingnya dengan menganggapkan dirinya sendiri sebagai Ka‘bah yang sebenar, yang dalam mana-mana keadaan sekalipun tidak dapat diterima. Dengan cara ini, dia cuba membuat mereka faham bahawa bukan Ka‘bah yang sebenar itu yang patut diziarahi kerana Ka‘bah itu sendiri sebenarnya selalu datang menziarahinya (ma‘aza’Llah).

Abu Sa‘id Abu Khayr (meninggal di Nishapur, tahun 440H) seringkali menasihatkan murid-muridnya melakukan tawaf ke maqam Pir mereka dan menghalangi mereka daripada berziarah ke Ka‘bah.

Nicholson[51] dalam kitabnya, Islamic Mysticism mencatatkan: “Pada suatu ketika, Abu Sa‘id Abu Khayr pergi ke Sarakhs (sebuah kampung) bersama-sama murid-muridnya untuk menziarahi maqam Pirnya, Abu al-Fadl Hasan al-Sarakhsi. Di sana, dia memerintahkan para penyanyi melagukan kata-kata berikut: “Inilah tempat bergembira. Inilah tempat bergembira. Inilah tempat pengampunan dan sumber (ilham). Semua mata melihat ke arah Ka‘bah, tetapi mata-mata kami melihat ke arah yang tersayang.”

Pada masa itu, Abu Sa‘id dan lain-lain sedang berpusing (bertawaf) di sekeliling maqam (kubur) dengan kepala terdedah dan tanpa alas kaki. Ketika mereka menyelesaikan tugas, Abu Sa‘id memberitahu mereka supaya mengingati hari tersebut. Dia memberitahu mereka bahawa hari yang baik seperti itu tidak akan datang lagi. Selepas itu, sekiranya mana-mana murid ingin pergi menunaikan haji, dia selalu menasihati mereka supaya bertawaf mengelilingi maqam Abu Fadl. Pada suatu ketika, anaknya sendiri ingin menunaikan haji. Dia melarangnya. Ringkasnya, terdapat perbezaan yang begitu ketara di antara ajaran Sufisme dan Islam, dan menentang Islam samalah seperti menjadi kafir.

Terdapat ramai orang muslim yang jujur dari kalangan pelbagai aliran mazhab, didapati mengingkari nikmat duniawi, makanan mewah dan bahkan pakaian yang mahal untuk diri mereka. Mereka dikenali dengan sufi oleh orang awam tetapi apabila kami memperhatikan kehidupan mereka dengan mendalam, kami dapati mereka tekun dalam salat, berpuasa setiap hari pada bulan Ramadan, menyimpan wang untuk menunaikan haji daripada pendapatan halal yang mereka perolehi, menyedekahkan sebanyak mana yang ada, sentiasa berusaha menjelaskan khums 1/5 daripada hasil pendapatan bersih yang didapati, sentiasa bersedia untuk melakukan jihad apabila sahaja dikehendaki melaksanakan tugas, sentiasa mendorong orang lain ke arah jalan yang lurus dan melarang perkara-perkara yang haram, menyintai Nabi (s.a.w) dan Ahl al-Bayt (a.s) dan sentiasa ingin menjauhi musuh-musuh Nabi (s.a.w) dan Ahl al-Bayt (a.s).

Secara jujur, mereka merupakan golongan muslim yang sebenarnya (hakiki) dan itulah golongan muslim yang datang bersama-sama para penakluk muslim India dan dengan sikap zuhud mereka telah memenangi hati penduduk Hindu di India untuk menerima dan beriman kepada Islam. Mereka menghadapi kehidupan penuh dengan amalan baikdan selepas mati, mereka dikenangi kerana kesalihan mereka. Para penakluk muslim datang dan pergi seterusnya dilupakan. Sebahagian menjadikan wilayah India sebagai kediaman mereka, dengan tinggal, menetap dan meninggal dunia sebagai raja, maharaja, golongan nawab dan sebagainya.

Dari kalangan mereka, hanya orang-orang yang menjalani kehidupan seperti mereka yang benar-benar mengikuti syariah sahaja dikenangi dan diingati sehingga kini sebagai raja yang adil. Golongan Hindu dan Muslim dan hampir semua masyarakat di sub-kontinen mengingati dan memuji mereka kerana kezuhudan dan bahkan raja-raja tersebut dikenali umum sebagai ahli sufi oleh khalayak ramai. Sekiranya mereka yang dikenali ahli sufi mempunyai sikap dan sifat seperti itu dan sekiranya mereka tidak menerima doktrin al-Ittihad dan al-hulul, tentulah tidak timbul persoalan menggelarkan mereka sebagai ahli sufi sebagai ganti kepada Muslim. Perkataan Muslim sudah tentu memadai untuk menjelaskan kedudukan penganut Islam. Oleh kerana permusuhan mereka terhadap Islam, ahli-ahli sufi membentuk kumpulan berasingan dan menamakan diri mereka sebagai ahli sufi.

Golongan muslim hakiki yang digelar ahli sufi, sebahagian besarnya telah cuba mengemukakan fakta-fakta yang benar kepada umat Islam tentang golongan muslim lepas yang sebenar-benarnya dan dengan itu, mereka menasihati orang ramai agar menjauhi kesalahan-kesalahan seperti itu sebagaimana yang telah dilakukan oleh golongan muslim masa lampau. Mereka meletakkan amalan-amalan ‘Ali (a.s) di hadapan akal fikiran mereka yang sepenuhnya selari dengan ajaran Nabi (s.a.w), Islam dan al-Qur’an.

Mereka memberikan kefahaman kepada golongan massa atau orang ramai bahawa golongan bukan muslim (non-muslim) dalam Islam telah memilih personaliti atau peribadi ‘Ali (a.s) dari sekalian muslim masa lampau sebagai simbol atau lambang muslim yang sebenar. Contohnya: Profesor Faved Ifram Bastani, sasterawan Kristian, seorang pencari kebenaran dan ahli sejarah yang menjadi professor di kolej St. Joseph, Beirut dalam tahun-tahun 20-an pada abad ini telah membuat catatan dalam kitabnya Muntakhab Nahj al-Balaghah. Kami mengambil peluang ini memulakan penyebaran Nahj al-Balaghah, kitab yang disusun oleh tokoh falsafah muslim pertama dan utama, iaitu ‘Ali bin Abi Talib (a.s).

Pada ketika tokoh besar dan terkemuka dalam keilmuan Nabi (s.a.w) wafat dan meninggalkan dunia, masjid Nabi (s.a.w) di Madinah terhenti daripada menjadi pusat keilmuan. Namun demikian, ‘Ali (a.s) biarpun dilucutkan daripada kedudukan Khilafah, telah memulakan penyebaran ilmu mengikut ajaran Nabi (s.a.w). Al-Suyuti menerusi kitabnya, Tarikh al-Khulafa’ telah memberikan penjelasan dan pemahaman kepada kita bahawa koleksi tulisan ‘Ali (a.s) telah tidak dibenarkan untuk diedar dan disebar oleh kerajaan dan pemerintah pada masa itu.

Tokoh kepimpinan dalam masyarakat Sunni, Muhammad ibn Sirin seringkali menyebutkan kata-kata ini dengan penuh kekesalan: “Alangkah baik sekiranya koleksi kata-kata ‘Ali (a.s) sampai kepada kita, tentulah kita menjadi pemilik sebuah khazanah ilmu yang besar.”

Ameer Ali, pakar sejarah moden membuat kenyataan dalam kitabnya, Ruh al-Islam @ Spirit of Islam dengan nada penuh kecewa: “Kuliah dan syarahan ‘Ali (a.s) di suatu sudut masjid Nabi (s.a.w) atau di sebahagian taman di kota Madinah semasa waktu bekerja, tidak ada bersama-sama kita.”

Kemungkinan bahawa polisi khalifah kedua pasti datang dalam penulisan syarahan mereka. Perintahnya bahawa: “Tidak perlu kepada kitab-kitab yang lain selain daripada kitab Allah,” merupakan suatu perkara yang benar-benar memeranjatkan, dan bahawa pada sepanjang zaman tersebut, menulis dan mencatat sesuatu hadith Nabi (s.a.w) dianggap sebagai suatu kesalahan yang boleh dikenakan hukuman.

Siapalah yang mempunyai keberanian untuk memberikan perhatian kepada kata-kata ‘Ali (a.s) di hadapan perintah ‘Umar yang benar-benar dikuatkuasakan. Perhatikanlah kata-kata yang kekal dalam sejarah tentang keadaan atau situasi waktu itu: “Kami biasanya menganggap mencatat sesuatu berkaitan dengan ilmu sebagai kesalahan.”

Keadaan tersebut benar-benar berubah pada ketika ‘Ali (a.s) menjawat jawatan khalifah. Perintah: “Tulislah sesuatu berkenaan dengan ilmu” telah melahirkan sekumpulan penulis. Dalam kitab Syarh Nahj al-Balaghah,[52] Ibn Abi al-Hadid telah menulis bahawa “Dunia Islam telah mempelajari seni syarahan dan tulisan daripada ‘Ali (a.s).”



[1] _________, Sufism, PeerMohamed Ebrahim Trust, Karachi, t.t, h.168. ( Petikan daripada tulisan Mawlana Syaikh Muhammad Hasan Sahib Najafi Marhum, Mujtahid dari Bombay).
[2] Kitab Bahr al-La‘ali, h.183
[3] Kitab Bahr al-La`ali, h.179
[4] Pendapat Syaikh Hasan al-Najafi sendiri.
[5] Kitab Sawa’ al-Sabil, India, t.t., h.92.
[6] Jalal al-Din Mawlana Badi` al-Zaman, Kitab Risalah-e Tahkike Ahwale,
[7] Al-Ghazali, Kitab al-Mizan (al-`Amal).
[8] Sufism, h.179.
[9] Bukan itu sahaja, bahkan kepercayaan ahli sufi adalah seperti mentaati perintah Pir (yang digelar Syaikh) dalam semua perkara, bahkan yang berlawanan dengan syariah dan bertindak berlawanan dengan printah-perintah Pir, hukuman juga turut ditetapkan.
Dicatatkan dalam Kitab Maratib al-Wusul, h.5, bahawa Syaikh hendaklah dihormati dan perintahnya harus dianggap lebih utama daripada nyawa (sendiri). Lebih-lebih lagi, apa sahaja perintah yang diberikannya dianggap wahy (ilham) dan seseorang hendaklah melakukannya walaupun ia berlawanan dengan hukum @ syariah ataupun dasar-dasar agama. Ahli sufi hendaklah menghadirkan diri kepada Syaikh seperti mayat yang diserahkan kepada orang yang akan memandikannya dan tidak patut dikritik idea-idea, kata-kata ataupun tindakan Syaikh.
Dalam Kitab Mir`at al-`Arifin, h.137 oleh Mas`ud Beg dicatatkan bahawa “ murid-murid melihat wajah Allah pada Syiakh dan hendaklah merahu kepadanya tentang hakikat, rahsia dan keajaiban-keajaiban. Sekiranya perbuatan Syaikh didapati berlawanan dengan hukum-hukum seperti yang diterangkan ulama’, murid-murid tidak wajar mengubahkan perbuatan-perbuatan mereka dan tidak juga tidak patut menunjukkan sikap benci (mereka).
Bahkan orang-orang tidak melihat sesuatu yang lain kecuali Pir dan mereka menganggapkannya adalah segala-galanya dan membinasakan diri mereka untuk berkhidmat kepada Pir. Mereka menganggap ketaatan kepada Pir seumpama kewajipan agama walaupun menyembah seseorang selain Allah adalah dosa besar.
Dalam Kitab Mir`at al-`Arifin, h.141 juga dicatatkan bahawa menyembah Pir bukanlah suatu yang mudah tetapi ia adalah kerja seseorang yang melakukan dua dunia?alam dan tidak kekal diri mereka iaitu murid tidak boleh berbuat sesuatu berlawanan dengan kehendak Pir dan untuk tujuan itu, dia tidak perlu memberikan perhatian termasuk kepada hukum-hukum agama.”
Dalam kitab yang sama, h.142 dicatatkan bahawa adalah wajar bgai murid-murid tidak mempunyai kepercayaan (iman) kepada mana-mana agama kerana agama berkembang dan utnuk mentaati agama bukanlah ma`rifah tetapi sia-sia belaka. Murid-murid tidak dapat mencapai matlamat yang diharapkan tanpa membebaskan diri daripada ikatan-ikatan keagamaan.
[10] Kitab Mir`at al-`Arifin, h.141, 142.
[11] Kitab Jami Tarjuma-e-Nafe, h.72.
[12] Lihat: Kitab Mir`at al-`Arifin, h.142.
[13] Bahr al-La‘ali, h.185
[14] Usul al-Kafi, h.104
[15] Mustadrak, Bhg. III, h.182
[16] Mustadrak, Bhg.III, h.189
[17] Ibid, h.194.
[18] Lihat: Music and Qawwali, PMET, Karachi, t.t.
[19] al-Kasysyaf, I, h.301
[20] Ibid.
[21] Ibid, h.197.
[22] Maktubate Rabbani, h.334
[23] Al-Qur’an, surah Luqman (31): 6 (Kalimah Lahw al-hadith).
[24] Al-Qur’an, surah al-An`am (6): 70.
[25] Ibn al-Jawzi, Sifat al-Safwah, bhg. I, h.4
[26] Sawa’ al-Sabil, h.92.
[27] Lihat: `Allamah al-Majlisi, Kitab Safinah Bihar al-Anwar, bhg.II, h.58.
[28] Lihat: Sawa’ al-Sabil, h.92.
[29] Lihat: Kitab Jame-Tarjuma-e-Nafe, h.90
[30] Lihat: Al-Futuhat, Bhg.II, h.3-9.
[31] Lihat: Maktubate Rabbani, Bhg. I, h.102.
[32] Lihat: Risalah Mawlana Jalal al-Din, h.61
[33] Al-Qur’an, surah al-Hasyr (59): 7

[34] Al-Qur’an, surah al-Mu’minun (23): 1-11
[35] Kitab Jami, h.90
[36] Kitab Jami Tarjumah-e-Nafs, h.84.
[37] Kitab Akhbar al-Hukama’, h.125.
[38] Al-Qur’an, surah al-Furqan (25): 43.
[39] Kitab Fath al-Mubin, h.21.
[40] Ibid, h.21.
[41] Kitab Tuhfat al-Hind, h.58
[42] Lihat: Futuhat Ibn ‘Arabi.
[43] Al-Qur’an, surah al-Baqarah (1): 5.
[44] Kitab Jami Tarjumae Nafe, h.72.
[45] Al-Qur’an, surah al-Ma’idah (5): 44
[46] Al-Qur’an, surah al-Ma’idah (5): 45
[47] Al-Qur’an, surah al-Ma’idah (5): 47
[48] Al-Qur’an, surah Ali ‘Imran (3): 30
[49] Kitab Tabsir al-‘Awwam, h.127.
[50] Al-Qur’an, surah Ali ‘Imran (3): 96.
[51] Nicholson, Islamic Mysticism, Cambridge.
[52] Ibn Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, Vol. I, h.8.